Pernyataan Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Hashim Djojohadikusumo menyebut Prabowo akan meniru gaya kepemimpinan Deng Xiaoping di China.Â
Hal ini menuai diskusi publik yang mendalam berkaitan dengan kebijakan yang akan diambil oleh pemegang estafet kepemimpinan Pasca Jokowi ini ke depannya.Â
Mantan Jendral Kopassus itu telah menyatakan kekagumannya terhadap Deng Xiaoping, pemimpin Tiongkok yang dianggap sebagai arsitek utama reformasi ekonomi besar-besaran di negara tersebut. Prabowo, ingin mengadopsi gaya kepemimpinan pragmatis Deng dalam mengatasi tantangan ekonomi Indonesia.Â
Pendekatan Deng, yang berhasil mengubah Tiongkok dari negara agraris menjadi salah satu kekuatan ekonomi global, menawarkan banyak pelajaran. Namun, apakah kebijakan Deng dapat secara efektif diterapkan di Indonesia?Â
Tulisan ini akan mengeksplorasi relevansi kebijakan Deng Xiaoping bagi Indonesia, apakah adaptasi ini sesuai dengan konteks sosial-ekonomi negara, atau justru menghadirkan tantangan yang berbeda.
Deng Xiaoping: Arsitek Reformasi Ekonomi Tiongkok
Deng Xiaoping menjadi pemimpin Tiongkok setelah Revolusi Kebudayaan yang dipimpin oleh Mao Zedong, yang meninggalkan ekonomi negara dalam kondisi terpuruk. Deng berusaha membawa perubahan radikal melalui pendekatan yang dikenal sebagai "sosialis dengan karakteristik Tiongkok" yang menggabungkan unsur-unsur kapitalisme dalam kerangka sistem sosialis. Deng terkenal dengan kebijakan pragmatisnya yang dijuluki "tidak peduli apakah kucing itu hitam atau putih, yang penting dapat menangkap tikus," yang menegaskan bahwa efisiensi dan hasil lebih penting daripada ideologi.
Beberapa kebijakan utama yang diterapkan Deng adalah liberalisasi pasar melalui penciptaan Zona Ekonomi Khusus (SEZ), di mana Shenzhen menjadi salah satu contoh keberhasilan.Â
Melalui reformasi ini, Deng membuka pintu bagi investasi asing dan mendorong pertumbuhan sektor swasta yang pesat, yang membawa Tiongkok pada jalur transformasi ekonomi global. Hasil dari kebijakan ini luar biasa: dalam beberapa dekade, Tiongkok menjadi ekonomi terbesar kedua di dunia, dengan tingkat pertumbuhan yang konsisten di atas 6% selama bertahun-tahun.
Relevansi untuk Indonesia: Kebutuhan Adaptasi atau Tantangan?