Pergeseran ini juga tercermin dalam opini publik yang lebih kritis terhadap kepemimpinan Jokowi menjelang akhir masa jabatan. Misalnya, meskipun Jokowi telah berhasil melakukan banyak pembangunan infrastruktur, banyak kalangan mengkritik ketimpangan ekonomi yang masih terjadi, dan bahkan peningkatan utang negara yang terus membengkak. Ketidakpuasan ini bisa menyebabkan penurunan aura kebintangan Jokowi, yang sebelumnya didorong oleh citra sebagai sosok yang membawa perubahan positif.
Teori sosial-politik yang relevan untuk menganalisis fenomena ini adalah teori "Public Opinion" dari Walter Lippmann (1922) yang menyatakan bahwa opini publik sangat dipengaruhi oleh persepsi, informasi yang diterima masyarakat, dan bagaimana informasi tersebut diproses melalui media massa. Di era digital dan media sosial seperti sekarang, informasi bisa dengan cepat tersebar dan membentuk opini yang lebih terfragmentasi. Masyarakat yang sebelumnya mendukung Jokowi karena citra positifnya kini bisa lebih kritis dan lebih mudah terpengaruh oleh isu-isu yang beredar menjelang 20 Oktober.
Dinamika Politik dan Pengaruh Pasca-Jokowi
Setelah 20 Oktober 2024, kita akan memasuki periode transisi politik yang krusial, dengan calon pemimpin baru yang akan memimpin Indonesia. Salah satu faktor yang berpotensi mempengaruhi aura kebintangan Jokowi adalah peranannya dalam mendukung atau memilih calon presiden berikutnya.Â
Jika Jokowi memilih untuk terlibat aktif dalam mendukung salah satu calon presiden, maka pengaruhnya dalam politik Indonesia bisa tetap bertahan, meskipun karismanya mungkin tidak sekuat saat dia masih menjabat sebagai presiden.
Namun, jika Jokowi memilih untuk tidak terlibat dalam politik pasca-presidensi, maka kemungkinan besar pengaruhnya akan berkurang dengan cepat. Pengaruh politik setelah menjabat presiden sangat tergantung pada kemampuan seorang pemimpin untuk tetap relevan dalam wacana politik yang sedang berkembang.Â
Dalam hal ini, teori "political legacy" yang dikemukakan oleh David R. Mayhew dalam bukunya "Congress: The Electoral Connection" (1974) menunjukkan bahwa pengaruh politik seorang pemimpin tidak hanya bergantung pada pencapaian selama menjabat, tetapi juga pada kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan setelah masa jabatannya berakhir. Jika Jokowi mampu menjaga relevansi pasca-jabatannya, misalnya dengan menjadi mentor politik bagi generasi pemimpin selanjutnya, maka aura kebintangan tersebut bisa bertahan lebih lama.
Kharisma Jokowi yang mulai luntur pasca-20 Oktober 2024 tidak sepenuhnya mengindikasikan kegagalan kepemimpinan. Namun, ini mencerminkan dinamika politik yang alami dalam setiap transisi kekuasaan.Â
Ketika seorang pemimpin mendekati akhir masa jabatannya, persepsi publik dan loyalitas politik cenderung berubah, dengan masyarakat mulai lebih kritis terhadap kebijakan dan capaian yang telah dibuat. Ini adalah tantangan besar bagi Jokowi untuk memastikan bahwa warisan kepemimpinannya tetap dihargai meskipun ia tidak lagi berkuasa.
Penting untuk diingat bahwa karisma dalam kepemimpinan bersifat sementara dan bergantung pada situasi politik serta persepsi masyarakat. Oleh karena itu, untuk menjaga relevansi, seorang pemimpin pasca-masa jabatan harus dapat memanfaatkan pengaruhnya secara bijaksana dan tetap terlibat dalam proses politik, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian, aura kebintangan Jokowi mungkin bisa luntur, namun warisan kepemimpinan dan kontribusinya terhadap Indonesia tetap akan dikenang.
Okza Hendrian., M.A