Mohon tunggu...
Oky Nugraha Putra
Oky Nugraha Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Seorang manusia yang terus belajar, belajar, belajar pada siapapun.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan, Sebuah Pekerjaan Kemanusiaan

1 Agustus 2016   08:09 Diperbarui: 1 Agustus 2016   08:21 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Undang-undang 1945 sebagai kitab hukum tertinggi di negara Indonesia mencantumkan dalam bab pembukaannya bahwa salah satu tujuan diselenggarakannya negara Indonesia merdeka adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal tersebut tercantum dalam alinea keempat Bab Pembukaan UUD 1945 yang salah satu poinnya ialah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini diperkuat oleh pasal 31 ayat 1 UUD 1945 dimana setiap individu berhak mendapatkan pengajaran. Berdasarkan pasal tersebut Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi, dan masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. Tapi secara faktual, di lapangan hal ini masih kontras terasa.

Pendidikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat ialah “proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik; jika pengertian pendidikan tersebut ditambahkan diksi kata universal, maka pengertiannya akan menjadi “sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua anak untuk memperoleh pendidikan tanpa menghiraukan suku, jenis kelamin, kepercayaan, dan kemampuan”. Jadi pendidikan yang universal adalah pendidikan yang humanistis. Tanpa mempertanyakan latar belakang dari masing-masing peserta didik. Pendidikan yang egaliter. Sama rata.

Jika kita menilik sebentar ke belakang, padahal semenjak diberlakukannya Politik Etis oleh pemerintah kolonial Belanda atas prakarsa tokoh liberal negeri kincir angin itu yakni Mr. C. Th Van Deventer pada dekade akhir abad 19, edukasi menjadi salah satu usaha balas budi Belanda dalam memajukan Hindia-Belanda ( saat itu penyebutan wilayah geografis yang sekarang bernama NKRI ini belum ada. Kata “Indonesia” sendiri baru muncul pada 1883 dan digagas oleh seorang sarjana antropologi berkebangsaan Jerman, Adolf Bastian ) disamping irigasi dan transmigrasi. Dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid V disebutkan bahwa berbagai lembaga bermunculan pada saat penerapan Politik Etis ini. Departemen Pertanian, Industri, dan Perdagangan pada 1914, Departemen Pekerjaan Umum pada 1908, dan Departemen Pendidikan pada 1908.

Guna mengatur  pendidikan di Hindia-Belanda, pemerintah kolonial mengeluarkan Indische Staatsblad 1893 Nomor 125yang menetapkan pembagian sekolah bumiputra menjadi dua kelas. Sekolah dasar kelas satu diperuntukkan untuk kaum priayi dan kaum terkemuka. Lulusannya diproyeksikan untuk bekerja di bidang birokrasi, perdagangan, dan perusahaan. Mereka diajarkan untuk membaca, menulis, menghitung, ilmu bumi, sejarah, pengetahuan umum, dan ilmu ukur tanah. Lama belajarnya 5 tahun. Pengajarnya merupakan lulusan Kweekschool( Sekolah Guru ). Bahasa pengantar pengajaran adalah bahasa daerah.

 Adapun seklah dasar kelas dua diperuntukkan untuk anak rakyat biasa. Lulusannya diproyeksikan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan rakyat secara umum. Lama pendidikannya 3 tahun. Mereka diajarkan untuk membaca, menulis, dan berhitung. Pengajar tidak dituntut memiliki kualifikasi khusus. Bahasa pengantarnya bahasa Melayu atau daerah. Bisa kita lihat bagaimana adanya diskriminasi fasilitas pendidikan bagi anak-anak pribumi yang bersekolah di kelas dua pada masa itu. Selain itu pemerintah kolonial membagi fasilitas pendidikan berdasarkan ras. Mereka mengadakan sekolah khusus orang Eropa, Europesche Lagere School( ELS ), lalu ada sekolah khusus orang Tionghoa Hollandsch Chineesche School( HCS ), dan juga ada Hogere Burger School.Sekolah kejuruan dengan jurusan perdagangan dan kelautan, dan jurusan teknik. Lama pendidikannya 3 tahun. HBS diperuntukkan untuk pribumi.

Terkait dengan fakta sosio-historis diatas, pada saat inipun ketimpangan pendidikan masih sangat terasa. Apalagi antara sekolah yang berada di pusat pemerintahan dengan di daerah. Kurikulum 2013 yang diwacanakan untuk diterapkan menggantikan KTSP 2006 ternyata belum sepenuhnya diterapkan oleh sekolah-sekolah yang ada di daerah. Penulis mendapati di daerah penulis sendiri di Kabupaten Cianjur, hanya ada beberapa sekolah yang berani berkomitmen untuk menerapkan peraturan tersebut. Sedangkan untuk daerah pelosok belum berani menerapkan kurikulum 2013 karena masalah fasilitas dan SDM dari sekolah itu sendiri. Belum lagi tenaga pengajar antara sekolah negeri dan sekolah swasta yang masih terasa kesenjangannya.

 Baik dari gaji, tunjangan, fasilitas dan lainnya. Fasilitas sarana dan pra-sarana pun, seperti kelas siswa, kantor sekolah, kantin, kamar mandi, pos pengamanan, laboratorium penunjang seperti ruang komputer, dan ruang praktikum sains pun lebih layak sekolah negeri daripada swasta. Ini bisa kita analogikan dengan apa yang terjadi pada masa Hindia-Belanda dulu. Dimana sekolah negeri memang lebih diperhatikan pemerintah daripada swasta. Padahal keberadaan sekolah swasta merupakan pelengkap bagi sekolah  negeri. Yang seharusnya mereka pun diberi atensi yang memadai untuk mencetak anak didik mereka yang berkualitas.

Sebagai salah satu dari ribuan orang yang dibebani amanah sebagai insan pendidikan tinggi, pada saat libur semester ganjil kemarin, penulis berkesempatan untuk mengamalkan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya Pengabdian Kepada Masyarakat. Penulis bersama rekan-rekan mahasiswa lainnya mengunjungi adik-adik kelas XII di 41 sekolah SMA/SMK/MA di Kabupaten Cianjur. Pada momen kali ini, penulis berkesempatan untuk menginformasikan informasi penting mengenai perguruan tinggi ke sekolah-sekolah yang notabene berada di daerah pelosok. Relatif jauh dari pusat kota Cianjur. Benar saja. 

Siswa-siswi, bahkan staff pengajar di beberapa sekolah yang penulis kunjungi masih belum paham betul tentang bagaimana cara mendaftarkan anak didiknya untuk bisa melanjutkan ke jenjang selanjutnya. Tentang SNMPTN ( Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri ), SBMPTN ( Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri ), dan fasilitas beasiswa dari pemerintah yakni Bidikmisi. Berbeda ketika kita mengunjungi sekolah-sekolah yang ada berada di pusat kota. Mayoritas dari mereka baik itu staff pengajar maupun siswa-siswi sudah paham betul tentang mekanisme pendaftaran ke perguruan tinggi maupun untuk mendaftar mendapatkan fasilitas beasiswa.

Menurut Prof. Dr. S. Nasution, di sekolah, guru sangat berperan penting untuk memainkan peran ganda. Disamping harus memiliki wibawa sebagai seorang pengajar, gurupun berperan sebagai orang tua “sementara” murid. Seorang orang tua pasti ingin yang terbaik bagi kebutuhan anaknya. Seharusnya guru pun harus paham betul tentang potensi yang dimiliki oleh masing-masing siswa-siswinya. Dalam hal ini kita bisa tarik garis pemahaman bahwa guru harus paham betul tentang mekanisme pendaftaran ke jenjang perguruan tinggi dan serba-serbinya.

 Jangan sampai istilah “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari” akan tetap lestari dalam khasanah pendidikan di negara kita. Selain guru itu sendiri sebagai bagian dalam sistem pendidikan, institusi yang menaungi seperti dalam hal ini Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur harus mengupayakan kemerataan informasi pendidikan di daerah pelosok. Agar tercipta penyebaran arus informasi yang tidak hanya berputar di atas ( pusat ). Tetapi menyebar sampai ke bawah ( daerah ).

Dalam buku Panggil Aku Kartini Saja,Pramoedya Ananta Toer pun mengangkat tokoh emansipasi wanita Indonesia yakni RA Kartini yang sangat haus akan ilmu, walaupun ia tidak meneruskan pendidikannya karena permasalahan feodalisme klasik saat itu dimana wanita akan dipingit sebelum ia dinikahkan, tetapi Kartini sering melakukan diskusi berkorespondensi dengan teman-temannya di Eropa. Kartini pun mengakui bahwa pendidikan merupakan alat yang sangat penting untuk menerangi di saat gelap. Door duisternis tot licht, habis gelap terbitlah terang.

Sebagian besar masyarakat kita pun ketika membicarakan masalah perkuliahan pasti mengalami masalah yang serius. Yakni masalah sosial-ekonomi. Mereka masih berpikiran konservatif bahwa pendidikan tinggi hanya diperuntukkan bagi mereka orang-orang yang memiliki dompet tebal. Stratifikasi sosial yang sangat nyata. Tetapi jika kita mengacu pada UUD 1945, dan pada peraturan perundang-undangan yang mendasari pemberian bantuan pendidikan seperti Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 96 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Bantuan Biaya Pendidikan Bidikmisi, lalu ada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Pasal 53A,

 selain itu ada dua lagi yakni Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan Bagian Kelima Pasal 27 ayat (1), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Pasal 76 (1), masyarakat yang kurang mampu secara sosial-ekonomi berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak untuk memperbaiki taraf hidup mereka.

 

*Penulis, mahasiswa semester IV jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun