Dalam buku Panggil Aku Kartini Saja,Pramoedya Ananta Toer pun mengangkat tokoh emansipasi wanita Indonesia yakni RA Kartini yang sangat haus akan ilmu, walaupun ia tidak meneruskan pendidikannya karena permasalahan feodalisme klasik saat itu dimana wanita akan dipingit sebelum ia dinikahkan, tetapi Kartini sering melakukan diskusi berkorespondensi dengan teman-temannya di Eropa. Kartini pun mengakui bahwa pendidikan merupakan alat yang sangat penting untuk menerangi di saat gelap. Door duisternis tot licht, habis gelap terbitlah terang.
Sebagian besar masyarakat kita pun ketika membicarakan masalah perkuliahan pasti mengalami masalah yang serius. Yakni masalah sosial-ekonomi. Mereka masih berpikiran konservatif bahwa pendidikan tinggi hanya diperuntukkan bagi mereka orang-orang yang memiliki dompet tebal. Stratifikasi sosial yang sangat nyata. Tetapi jika kita mengacu pada UUD 1945, dan pada peraturan perundang-undangan yang mendasari pemberian bantuan pendidikan seperti Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 96 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Bantuan Biaya Pendidikan Bidikmisi, lalu ada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Pasal 53A,
 selain itu ada dua lagi yakni Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan Bagian Kelima Pasal 27 ayat (1), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Pasal 76 (1), masyarakat yang kurang mampu secara sosial-ekonomi berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak untuk memperbaiki taraf hidup mereka.
Â
*Penulis, mahasiswa semester IV jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H