Ini juga saya kira yang dimaksud Abdulbari dalam paragraf berikut: Tidak semua orang punya kesempatan untuk memahami, dan memang tidak semua juga harus memahami. Justru salah satu tugas dan etika sejarawan untuk mengomunikasikannya kepada publik dengan media dan bahasa yang mudah dipahami. Selain kudu terus mengonsumsi terus bahan bacaan (mau tidak mau), kegiatan lain seperti; merenung, berdiskusi, berdebat dengan sejawat, berlatih menulis di luar kewajiban akademik, dan mengikuti terus perkembangan di luar tembok-tembok akademik merupakan hal krusial yang kudu di-istiqamahi.Â
Sayangnya, kegiatan-kegiatan tersebut saya pikir dan rasa semakin menurun intensitasnya. Gak tahu juga, enggak ada survei dari lembaga kredibel tentang hal tersebut. Berapa banyak juga sekarang pemilik kanal YouTube -bukan sejarawan- yang mem-branding "tokonya" tersebut sebagai media pembelajaran sejarah? Saya pernah nonton satu konten dari Guru Gembul tentang gerakan DI/TII yang menjadi calon kajian saya juga, doi menggunakan sumber sekunder krebibel sebagai bahan untuk pembuatan konten. See? Di akhir paragraf ini saya ingin menekankan bahwa semua orang yang belajar dan menekuni sejarah di ranah akademik memiliki tantangan tersendiri sekarang dalam mengomunikasikan hasil "semedinya". Di kelas, di kafe, di warkop, di sisi jalan, di manapun itu, sejarawan harus bisa berbicara. Rendah hati, ya, ahlul syajarah~Â
*Lagi Es.2 di Departemen Sejarah FIB UGM
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H