SURABAYA - 'Nobody wanted war', ungkapan tegas yang diterangkan oleh Ralph K White, merupakan kalimat penting bahwa tidak ada satupun dari kita sebagai makhluk sosial, yang menyukai peperangan (konflik). Begitupun dalam setiap aktivitas yang lekat dengan suasana euphoria, tentu tidak ada sama sekali keinginan dari setiap manusia atas timbulnya konflik sosial.
Namun kemudian terjadi peristiwa yang tidak bisa tidak, untuk menjadi atensi dan pembelajaran semua pihak. Adalah tragedi pesepakbolaan di stadion Kanjuruhan Malang, yang menewaskan ratusan korban tewas, menjadi catatan kelam dalam persepakbolaan di negeri yang kita cintai ini.
Meski jumlah korban secara pasti masih simpang siur, yaitu antara 125, 131, 153, hingga 174 korban tewas, namun yang pasti peristiwa Sabtu (1/1/22) tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara kedua setelah Peru, yang pada pada 24 Mei 1964 silam, terjadi perkelahian antar supporter di tengah Laga Timnas Peru vs Argentina sehingga menewaskan 328 korban jiwa.
Tragedi di tengah suasana yang seharusnya dipenuhi dengan nuansa suka cita sang pecinta bola, kemudian justru menghadirkan nuansa duka cita.
Hal ini kemudian menjadi atensi publik, yang mana potret euforia masyarakat usai dua tahun mengalami pandemi dengan segala keterbatasan kegiatan berkumpul saat itu, harus disikapi bijak oleh kita semua
.Kembali kepada tragedi pesepakbolaan di Malang 1/10/22 kemarin, maka kita pun tertampar bahwa pembangunan mental bangsa yang berkarakter modal sosial, belum berhasil sepenuhnya. Negeri ini butuh karakter bangsa yang kuat, dan karakter utama adalah dengan kuatnya sportifitas di berbagai momen kehidupan, tak terkecuali di sebuah kompetisi.
Dalam sejarah persepakbolaan misalnya, beberapa tragedi yang ditengarai akibat lunturnya sportifitas, menjadi alasan turunnya sanksi berat bagi negara terkait. Sebelumnya, FIFA pernah menjatuhkan sanksi berat terhadap klub Inggris ketika terjadi tragedi Heysel pada 29 Mei 1985. Saat itu, setidaknya ada 39 orang tewas dan 600 orang lainnya terluka  sehingga menyebabkan pada 2 April 1985, UEFA memberikan hukuman larangan bermain untuk klub-klub Inggris di kompetisi Eropa untuk jangka waktu yang tidak ditentukan. Meski kemudian, pada Desember 1985, FIFA mengumumkan bahwa klub Inggris bisa memainkan laga persahabatan di Eropa.
Namun, sportifitas yang ditekankan pada tulisan ini bukanlah sekedar etika memiliki sikap legowo di dalam sebuah kompetisi pertandingan, melainkan sikap legowo dalam setiap situasi yang dihadapi. Mengingat, usainya pandemi telah membuka kran masifnya kegiatan berkumpul di tengah masyarakat. Sebut saja euforia konser musik. Berkumpulnya masyarakat di dalamnya tidak memiliki relevansi sebuah pertandingan antar yang didukung dengan lawannya, melainkan sepenuhnya potret masyarakat yang merindukan nuansa hiburan bersama masyarakat lainnya.