Mohon tunggu...
Okus Zulkaidi
Okus Zulkaidi Mohon Tunggu... -

Seorang pendidik dan turut dididik

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tangisan Langit

17 Januari 2011   12:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:28 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Serpihan sinar mentari menyapu indahnya pantai,deru ombak mengalun, menghmpas diikuti camar putih yg seakan tak prnah lelah mengpakan syapx,angin bertiup santai,meneduhkan hati yang panas dalam keseharian,sore ini aku akan menghabiskan waktu q sekedr mencari angin segar, kususuri jalan lurus yg mmbntang dispanjang bibir pantai.dalam kecamuk hati serta kegundahan yg mliputi diri.  Bulan depan adalah penentuan kemana aku akan mlngkah.?skilas kulihat desiran air menyapu bibir pantai,nun jauh disana segerombol elang terbng rndah menunggu ikan2 kecil yg mnjd santapannya, hati q bergetar,aq ingin mjd elang yg mnunjukan kperkasaanx mnjelajah dunia,  Aqingin trbang sejauh langit membentang.khayalku sama seperti mereka Orang-org yg berada dluar sana,sahabat2 ku,ygmenghbiskan waktu mreka untuk meneruskan angan hinggakesekolah tinggi.,aku mengingat Ali teman sebangkuku ketika kami di SMA dulu,Ia telah mngajukan pesyaratan untuk mlanjutkan sekolahnya ke PTN(prguruan tinggi negri) di Ibukota Provinsi Pekanbaru sejak2 bulan lalu,, Hatiku milis,tercabik-cabik,impian kusirna ditelan ombak pantai yg mnghempas,Aku juga ingin seperti mereka menggapai Anganku, memakai baju jas sembari membawa koper yg berisi berkas2 pntg, memakai sepatu hitam mengkilap dg tangan agak ditenteng,layaknya org kantoran, itulah impianku sejak dulu sejak pertama kali aku mengenal Ilmu Ekonomi dg prinsip2 nya,impianku mengakar kuat setiap aku melihat tetesan air hujan yg selalu membanjiri rumah kami dikarenakan atap daunnya yg tak lagi mampu menahan lajunya tetes air hujan,,masih membekas diingatanku Pada suatu malam yglarut ketika angin,hujan serta petir yg menyambar seakan bersekongkol menyerang kami,, rumahku yg hanya berdnding kayu, berderit-derit dihantam angin musiman itu,belum lagi kami kedinginan diguyur hujan karena tak ada tmpat berlndung dari atap daun yg telah bolong2,,jiwa ku menangis terbayang olehku suara lembut ibu yg berbisik pelan ditelingaku “sabar ya Nak”seraya mncium kening penuh takzim.

By:anak desa yg terlupakan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun