Gerimis turun perlahan saat Batuhampar berangsur disungkup kelam. Rona jingga masih sedikit tersisa. Senja kian temeram. Aku masih duduk di dalam dangau. Pondok kecil yang lebih sering kugunakan untuk melepas lelah setelah kesawah. Selang sesaat, adzan maghrib dikumandangkan dari mesjid Syeikh Abdurrahman. Sayup terdengar suara seorang penghulu yang lebih banyak menghabiskan waktunya disana. Perlahan, aku berjalan menapaki pematang sawah yang mulai licin. Gerimis membasuhnya.
Surpra tahun 2002 yang kuparkir di komplek Pondok pesantren Al-Manaar terlihat basah menungguku. Sebuah institusi pendidikan islam yang setingkat dengan sekolah menengah. Ada yang setingkat SMP dan SMU. Walaupun kebanyakan masyarakat dikampungku sekarang lebih banyak menyekolahkan anaknya ke MTs atau SMU Negeri di kota Payakumbuh yang berjarak tigabelas kilometer itu. Entah kenapa.
Padahal, bangunan Pondok pesantren ini begitu megah. Selain itu. lulusan nya banyak yang menjadi orang sukses. Baik sebagai pendakwah, dosen, bahkan aparat pemerintah. Entah sistem pendidikan di Payakumbuh lebih baik, mungkin juga Menara yang tinggi untuk tempat azan dulunya itu, kini kurang lantang suaranya. Atau Gobah, yang merupakan makam Syekh Abdurrahman dan keturunannya kurang menarik sekarang. Yang jelas, Sebagian besar murid yang sekolah di Pondok pesantren ini adalah masyarakat yang taraf ekonominya menengah. Mesjid Syek Abdurrahman yang memanggilku tadi terlihat bisu dalam gerimis.
Teh seduhan ibuku tidak habis separo, ketika sebuah pesan singkat masuk ke inbox ponselku.
“ Uda, tolong jemput ke simpang Batuhampar”. Sebuah nama tertera disana. Gea. Aku tahu dia dari Padang. Kota Bengkoang, tempat dimana Gea bersitungkin dibangku kuliah sebuah Universitas ternama. Langsung kuhabiskan teh di gelas. Ku sambar jaket dan topi pemberian adikku. Sedikit parfum tanpa alkohol, lalu dengan sedikit bergegas kuhidupkan sepeda motorku. Maghrib telah habis waktu kutebas gerimis.
Perjalanan ke simpang Batuhampar mengingatkanku pada gerimis beberapa tahun lalu. Di Yogyakarta, kota dimana aku pernah kuliah, dan tak pernah ditamatkan. Disana jua ku betemu Nisa. Gadis desa yang sangat menyukai gerimis. Senandung kecil kerap terdengar dari mulut mungilnya kala gerimis mulai menyapa. Dan tidak jarang pula Nisa menengadah, meresapi tetes demi tetes air yang membasahi wajahnya. Dia terlihat bersatu dengan gerimis. Tersenyum, kadang menangis.
Aku semakin tertarik pada Nisa. Menantikan dirinya dalam gerimis senja. Atau mencuri pandang kearahnya ketika awan mulai mendung. Ada sebentuk cerita dirona wajahnya. Dan semakin lama ku semakin menyukai gerimis, karena Nisa. Sampai ku kembali ke Batuhampar ini, gerimis selalu ku nanti.
Tak menghabiskan waktu lama untuk sampai di simpang Batuhampar. Jaraknya sekitar dua kilometer dari rumahku. Setiba disana, langsung kumatikan motor dan melihat inbox di ponselku. Kulihat satu pesan tertera disana.
“ Uda, tolong jemput ke simpang Batuhampar”. Ternyata, masih pesan dengan nada sama yang masuk lagi. Jadi kutunggu saja, di bangku warung yang telah ditutup pemiliknya.
Gerimis masih membelai kampungku. Kurasa di Koto tingga telah sunyi. Ya, “Kota yang ditinggalkan” menurut tutur orang-orang tua. Karena dulu, disanalah nenek moyang kami berada sebelum pindah ke arah hilir dan membangun Nagari yang sekarang kami tempati. Sekarang telah banyak rumah masyarakat disana. Walaupun cuma sekelompok kecil saja. Tetapi, puskesmas dan sekolah dasar juga terdapat disana. Di penghujung barat laut kampungku.
Pernah pula kunikmati kopi pagi di lepau kecil dekat Koto tingga ini. Sebagian besar pengunjungnya adalah masyarakat yang sengaja minum pagi sebelum kesawah. Penganan pendamping kopi beragam dan lebih murah. Sementara kopi dihidangkan, goreng pisang juga disiapkan. Goreng ubi juga ada, lepat dan godok, bahkan pinukuik yang tak kalah enak dengan bika di lepau Uwa yang berada di ujung lainnya. Di luar komplek Pondok pesantren Al-Manaar. Walaupun bika lebih laris manis, tapi pinukuik punya nuansa yang berbeda. Mungkin karena keduanya dimasak masih dengan tungku dan kayu, pikirku.
Pukul delapan malam. Gerimis merinai jua. Bau martabak dan nasi goreng seakan ingin menawarkan sedikit kehangatan. Mataku menangkap gadis yang baru turun ari sebuah bus antar kota. Semampai tubuhnya berjalan gontai kearahku. Balutan busana indahnya memaksaku tertegun.Rambut hitam yang sedikit basah, begitu purna dengan wajah putih yang dihiasi tonjolan tulang pipi dan bibir tipisnya. Tentu saja, hidung yang mempesona dibingkai alis tipis dan tajam matanya. Dagu dan rahang kokoh serasi dengan leher jenjang yang mengenakan kalung bertuliskan namanya. Gea. Wajah oriental nan eksotik.
Kenapa dengan matanya? Apakah juga gerimis disana? Sedikit sebak sekilas tergores. Aku berdiri menyambutnya. Meski terbersit tanya, namun senyum kupaksakan setulusnya. “Kita pulang sekarang?” Tanyaku sambil menatap ke sendu wajahnya. Tanpa menunggu lama, kunaiki motor keluaran jepangku. “Baiklah, uda”. Wajah datar mempesona Gea merangkai senyum terpaksa.
Malam beringsut bisu. Deru motorku membelah kelam dan rintik rapat gerimis. Tak ada suara Gea. Bulan tak muncul. Mungkin segan karena tak penuh bentuknya, atau tirai gerimis mencegah sinarnya. Gigilku mulai terasa. Waktu begitu pelan dalam diam. Kembaraku kemata Gea.
Tepat pada bengkolan kedua, ketika motorku tak bisa menghindari lobang ditengah jalan. Sedikit goncangan diiringi pekikan parau Gea “Uda...!”. Kerikil jalan itu memang tak mampu menjatuhkanku. Tapi pelukan dan setetes hangat di tengkuk cukup berhasil menurunkan laju kendaraanku. Tentu saja, parau tak seperti biasa yang menabuh telinga.
Motorku berjalan pelan. Gerimis terasa miris. Perlahan kubelokkan setangnya memasuki penggilingan padi yang sepi. Mungkin tak dihuni pemiliknya malam ini. Kuhentikan agak kedalam, agar tak tampak dari jalan. “Kita berhenti sebentar” ucapku dalam kelam. Pelan. Kemudian Gea melepaskan pelukan sambil menahan segukan. Tangan dilingkar pinggangku bergerak. Tetesan hangat terasa mengalir di pundak.
Kuraih tangannya pelan, ku bawa ke bangku di luar penggilingan yang menunggu tuan. Tangan yang memakai cincin belah rotan itu kulepaskan. Kami duduk. Diam. Gerimis semakin merapat. Mungkin kan berganti hujan lebat. Semburat kilat menyapa wajahnya yang agak pucat. Masih diam. Sayup senandung jangkrik membelah malam.
“Ada apa, Gea?’ aku membuka suara. Hanya tolehan kepala jawabnya. Sesegukan telah berhenti.
“Kamu kenapa?” lanjutku hati hati.
Gelengan kepala itu menebarkan elegi. Aroma rambut Gea masih sama ketika dulu kami menghabiskan senja di dangau tua. Kenangan ganjil dalam gigil. Ingatan berkelebatan. Bungkam.
“Mama menjodohkan Gea” akhirnya bibir manis itu bicara. Serak. Dadaku sedikit sesak. Temaram neon rusak memperlihatkan matanya yang sebak.
Aku berusaha bijak.
“Gea tau kalau PNS itu baik, Uda!” lanjutnya
“Dia baik kepada mama. Pada Gea. Tapi Gea tidak mencintainya Uda” Kali ini berurai air mata.
Pikiranku tak menentu. Bayang tangisan Amak menghiasi pelupuk mataku. Lalu suara lembut yang membangunkanku ketika subuh datang yang kadang membuatku bermalas-malasan. Bukan apa-apa. Aku ingin lebih menikmati subuh itu dan subuh selanjutnya dalam alunan merdu panggilan Amak. Wanita yang begitu mencintaiku. Walau kadang sikap malas dan manjaku itu membuat suaranya meninggi dan ketokan di pintu kamar makin keras. Aku tersenyum. Lalu wanita yang kupuja cintanya itu berlalu. Memenuhi panggilan cinta Tuhan semesta.
Beliau bergegas ke Surau Darek. Surau yang mulai lengang karena kehilangan jamaah. Ya, semenjak Datuak Dura, panggilan dari Abdul Rahman sang pendiri surau tersebut terkubur jasadnya. Kadang cuma sepuluh orang, dan itupun hanya dengan seorang laki-laki sebagai muadzin dan imam. Selebihnya jama’ah perempuan. Sesekali jama’ah laki-laki bertiga atau berempat dengan imam. Sedangkan Imam di surau yang lotengnya mulai bocor itu masih terhitung mamak bagiku. Kesetiaan yang sulit ditandingi dalam memimpin jamaah dicondongnya kubah.
Aku mencoba menenangkan Gea. Merangkul tubuhnya yang mulai rebah ke tubuhku yang rapuh. Dekapan erat nan hangat. Gea memelukku kuat. Wajahnya membenam di pundakku. Ku elus punggungnya. Aroma rambut itu masih sama. Ketika Gea kupeluk dipematang sawah. Saat senja merekah dalam sepoi angin basah. Pelangi melengkung manis ditemani turunnya gerimis. Lalu kamipun berjalan. Kubiarkan dia tetap di depan. Bukan karena aku tak tahu jalan, tetapi kuingin terus menikmati aroma rambutnya yang dibelai angin. Aroma yang membuatku selalu menikmati gerimis senja.
Entah berapa lama Gea menangis dalam pelukanku. Aku hanya diam. Biarlah Gea menumpahkan rasa yang membebaninya. Walau dadaku sebenarnya tak mampu jua menanggung beban dalam air matanya. Isakan berhenti perlahan. Cuma sedikit sesegukan masih kudengar tertahan. Pelukan Gea merenggang dan perlahan kulepaskan.
Aku cuma menatap Gea di remang cahaya. Seharusnya aku berterimakasih kepada pemilik penggilingan ini. Neon yang dihidupkannya semenjak sore membantuku menikmati wajah yang menghiasi hampir di setiap mimpiku. Neon rusak yang sangat membantu. Tisu yang dikeluarkan Gea dari tas cokelat bermerek menghapus mata sembabnya. Sedikit memerah. Sisir hitam dikeluarkan untuk merapikan rambut bergelombangnya yang sedikit basah. Kemudian Gea tersenyum. Manis melebihi gerimis.
Aku dan Gea kembali bisa bercanda. Seperti setiap kami bertemu sebelumnya. Mencair dan mengalir. Seperti air yang mengalir keselokan dari penggilingan padi ini. Gerimis merinai. Genit menari dalam tawa berderai. Hujan lebat tak jadi turun. Mungkin awan kelam dibawa angin. Mungkin juga pindah ke kampung lain. Atau malu karena wajah cerah Gea yang kembali bercahaya.
Hampir pukul sepuluh ketika kami melangkah. Motorku sedikit basah. Ku keringkan joknya dengan tisu yang dikeluarkan Gea. Senyumnya menggoda.
“Antarkan Gea kerumah ya, Uda” katanya manja.
“Tentu dong, Gea” seulas senyuman juga kububuhkan dalam jawaban. “Kemanapun kau akan kubawa” bisikku mengalun dijiwa.
“Makasih Uda...” Sambung Gea. Masih manja.
Motorku melaju. Waktu begitu cepat berlalu. Malam semakin membisu.
Ketika pelukan Gea terasa lebih erat di kelok sikumbang, lapau tempat biasa aku bercengkrama itu masih penuh. Sebuah warung kopi yang terletak di Kelok Sikumbang. Sampai sekarang pun aku tak tahu kenapa dinamakan Kelok Sikumbang. Mungkin karena jalan yang menikung atau berbelok itu terletak di tanah yang dipunyai suku Sikumbang, salah satu suku di “Nagari Langkok” ini. Kata para tetua, “Nagari Langkok” itu Negeri yang Lengkap. Di Minangkabau, penganut sistem mtrilineal ini, yang mendapat julukan “Nagari Langkok” adalah Pandai Sikek dan kampungku. Lengkap dari sisi apa, aku tak tahu. Tapi ada cerita dari para tetua kampungku, kalau Batuhampar melalui proses yang lengkap untuk menjadi Nagari. Lengkap dengan semua sukunya, dan struktur yang membangunnya. Mungkin saja. Tapi sekarang yang terlihat adalah lengkap dengan segala permasalahannya. Sosial kultural, nilai dan moral. Semua dengan tetek bengeknya. Seperti pelukan Gea yang lengkap kurasa.
Jalanan lengang. Pendudukpun tak nampak berseliweran. Cuma sepeda motor terlihat parkir di depan sebuah warnet di seberang Mesjid Jami’ Batuhampar. Mesjid yang jadi kebanggaan kampungku. Mesjid yang lumayan besar. Lebih besar dari mesjid Syekh Abdurrahman. Di mesjid ini jualah aku pernah di tertawakan ketika ceramah ramadhan diatas mimbar. Mesjid yang mengajarkanku mengaji.
Sekarang setiap sore, mesjid ini dipenuhi oleh anak anak yang belajar mengaji. Ratusan murid yang diajar oleh belasan guru. Sering aku merasa kasihan pada mereka. Karena sistem yang ada seperti merampas waktu main dan istirahat mereka. Anak anak yang rata- rata masih ditingkat Sekolah Dasar, yang dunianya belajar sambil bermain.. Karena dilihat setelah sekolah usai dan makan siang, mereka harus siap-siap lagi untuk berangkat ke mesjid. Setelah sholat ashar dan pulang, mereka punya waktu yang sedikit untuk berbenah menjelang maghrib. Belum lagi tugas sekolah yang harus dikerjakan dirumah. Mengurut dada adalah hal yang terbaik kalau kita tidak bisa berbuat apa-apa.
Mama Gea membukakan pintu ketika motorku berhenti di tepat depan rumahnya. Seperti biasa, senyuman itu menyambutku. Aku dipersilakan duduk di sofa yang biasanya. Lalu perempuan paruh baya itu membuatkan segelas teh manis untukku. Seperti biasa. Gea telah berada dikamarnya ketika ku sangkutkan jaket hitam basah yang kukenakan. Dingin menyapaku. Menembus sampai kebalik kulit. Untunglah kepulan asap dari seduhan teh mama Gea perlahan mengusirnya. Perempuan yang menurunkan kecantikannya pada Gea. Kecantikan masa mudanya belum sirna. Cuma kulit putihnya yang agak mengendur. Teh hangat itu disiguhkan padaku dengan senyum tulusnya.
“Minumlah ” katanya pelan. Seperti biasa.
Hampir pukul sebelas malam. Gea belum juga muncul dari kamarnya. Aku terus berbincang dengan perempuan yang menjodohkannya. Diselingi helaan nafas adik Gea yang tertidur diruang tengah. Mungkin menunggu kakaknya tercinta. Seruputan terakhirku dari gelas kaca itu sungguh berbeda. Mungkin karena Gea nampak di dalamnya. Ku letakkan gelas bekas minumanku dimeja kaca. Gea juga terlihat disana. Perlahan ku bangkit. Mohon pamit. Mama Gea mengantarku sampai ke pintu. Gea terlihat berdiri di depan kamarnya. Walau sekilas, senyum nya selalu membekas. Lain dari biasa.
Ponselku berbunyi dua kali ketika aku mulai merebahkan diri di kamar belakang. Kamar yang tak begitu tertata. Bahkan lebih pantas dikatakan semerawut.
“Terima kasih, Uda” Pernyataan singkat dari Gea.
Bagiku, itu lebih dari cukup dan sarat akan makna. Tergambar wajah dengan senyum yang tak kan kulupa. Senyum manis disela gerimis. Ah, tiba tiba ku menjadi sedikit melankolis.
“Sama-sama, Gea...” Kubalas segera. Asaku berharapkan makna. Suara jangkrik yang dendangkan tidur, menyuguhkan tarian Gea dalam pentas mimpiku.
Gerimis tak turun sore ini. Pelangi tak tampak. Satu purnama pun berlalu semenjak terakhir kali aku melihat Gea dirumahnya. Senyum Gea didepan kamarnya begitu mesra. Lengkung bibirnya yang membawa semburat pelangi kepadaku, lihatkan. Ah, tiba-tiba kurindu aroma rambutnya. Kurindu Gea.
“Uda, Gea gugurkan juga akhirnya. Buah cinta yang dilarang agama dan adat kita”kuterima pesan pendek dari Gea. Anak etek, adik mama yang sesuku denganku. Tiba-tiba gerimis dan pelangi bersatu, merinai di mataku.
Batuhampar, 12 Desember 2012.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI