Interaksi
Dalam interaksi yang sangat dinamis antara remaja (usia 10 -- 19 tahun : UNESCO) dan orang dewasa, tindakan pengamatan melampaui jalan satu arah yang sederhana. Kalau hubungan ini hanya searah, tentunya tidak banyak hal yang dapat dipersoalkan. Orang dewasa sering dipandang sebagai mentor, pengawas, pembimbing, dan penilai
perilaku remaja. Remaja sendiri adalah pengamat yang tajam dari orang dewasa di sekitar mereka. Bahkan tidak jarang remaja menirukan persis perilaku orang dewasa. Pengamatan ganda ini menimbulkan pertanyaan yang menarik: siapa yang benar-benar belajar dari siapa dalam hubungan yang rumit ini?Â
Remaja, di tahun-tahun perkembangan mereka, secara alami melihat orang dewasa untuk isyarat tentang perilaku, pengambilan keputusan, dan respons spiritual maupun emosional. Orang tua, guru, dan tokoh lainnya (yang  memiliki otoritas bagi dia) sering menjadi panutan.Â
Remaja mengamati bagaimana orang dewasa menangani konflik, mengelola tanggung jawab, dan mengekspresikan perasaan dan nilai-nilai yang mereka pegang. Pengamatan ini membentuk generasi muda yang mungkin secara tidak langsung atau tidak disadari bagi beberapa orang dewasa.
Pengamatan timbal balik antara remaja dan orang dewasa menyoroti pentingnya saling menghormati dan komunikasi terbuka. Alih-alih hubungan hierarkis, dinamika ini harus dilihat sebagai kemitraan di mana kedua belah pihak berkontribusi pada pertumbuhan dan pemahaman (Khan, 2020). Ketika orang dewasa dan remaja mengakui nilai mengamati dan belajar dari satu sama lain, mereka dapat membangun hubungan yang lebih kuat dan lebih empati yang bermanfaat bagi individu dan masyarakat secara keseluruhan.
Kritik sosial dalam pengamatan antar generasi
Hubungan antara remaja dan dewasa sering kali diwarnai oleh kritik sosial, terutama terkait cara kedua pihak saling mengamati. Orang dewasa cenderung menilai remaja melalui kerangka nilai-nilai tradisional, yang kadang dianggap tidak relevan dengan zaman modern.Â
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Twenge et al. (2017), ditemukan bahwa generasi muda---khususnya Gen Z---sering dianggap "kurang berkomitmen" atau "terlalu individualistis" oleh orang dewasa. Namun, perspektif ini sering kali bias karena tidak mempertimbangkan perubahan konteks sosial dan teknologi yang membentuk perilaku remaja masa kini. Penilaian sepihak seperti ini berisiko menciptakan jarak emosional dan memperkuat labelling antar generasi.
Di sisi lain, remaja semakin kritis terhadap nilai-nilai moral yang diajarkan oleh generasi sebelumnya. Mereka sering kali mempertanyakan keotentikan prinsip-prinsip yang dianggap sakral oleh orang dewasa, terutama ketika menemukan kontradiksi dalam praktik sehari-hari.Â
Penelitian oleh Arnett (2022) menunjukkan bahwa remaja sering merasa kecewa ketika orang dewasa, seperti guru atau orang tua, menuntut kedisiplinan dan tanggung jawab tetapi menunjukkan perilaku yang tidak konsisten, seperti ketidakjujuran atau pelanggaran aturan. Hal ini mempertegas bahwa pengamatan remaja terhadap orang dewasa bukan sekadar pasif, melainkan disertai analisis kritis yang memengaruhi hubungan emosional di antara mereka.