Mohon tunggu...
Oktiani Endarwati
Oktiani Endarwati Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pencerita Cerita perjalanan, kunjungi Instagram @oktiwul Blog: http://kicauanoktiwul.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Resensi Buku “Burung-Burung Cakrawala” Karya Mochtar Pabottingi

4 Agustus 2013   22:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:37 6093
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13756292861094799919

Cakrawala Perjalanan Hidup

Data Buku:

  • Judul               : Burung-Burung Cakrawala
  • Penulis             : Mochtar Pabottingi
  • Penyunting      : Andi Tarigan
  • Penerbit           : PT Gramedia Pustaka Utama
  • Cetakan           : Jakarta 2013
  • Tebal               : xi + 386 halaman
  • ISBN               : 978-979-22-9164-3

Beruntung saya bisa memiliki buku ini karena mengikuti OPMI (Opini Media Indonesia) yang diadakan satu bulan sekali di koran Media Indonesia. Awalnya saya mengetahui ini dari teman saya dan langsung saya saya mendaftarkannya dan akhirnya bisa mendapatkan buku ini dan undangan untuk bedah buku ini. Untuk itu saya membuatkan resensi “Burung-Burung Cakrawala” karena menurut saya buku ini bisa menambah motivasi dari perjalan hidup Mochtar Pabottingi.

Perjalanan adalah sebuah penemuan. Itulah pesan tersirat dalam buku “Burung-Burung Cakrawala” karya Mochtar Pabottinggi. Bagi Anda yang sudah membaca tulisan Mochtar berjudul “Dari Rumah Karakter, Dari Buku Cakrawala” yang dimuat pada kumpulan tulisan “Bukuku Kakiku” (PT. Gramedia Pustaka Utama 2004) tentu tidak asing dengan kisah yang dinarasikan dalam novel ini. Novel otobiografis ini adalah “versi panjang” dari tulisan tersebut. Tentu dalam buku “Burung-Burung Cakrawala” jauh lebih detail dalam tiap-tiap penggalan episode kehidupan yang dilalui Mochtar Pabottingi bersama keluarganya.

Novel ini merupakan otobioggrafis dalam perjalanan panjang dari rajutan cerita masa kecil. Irama yang indah dari buku serta kata-kata yang dibaluti sastra membuat kita tersentuh. Bahkan cerita polosnya ketika masih kecil menggambarkan betapa indahnya orang kampung di Indonesia. Dimulai dari kesederhanaan masa kecil di Bulukumba sampai pengembaraan intelektual di Honolulu.

Mochtar menceritakan keteduhan desa tempat kelahirannya yang berperan besar dalam kuatnya ingatan tentang buku-buku yang ia baca. Mochtar kecil bermimpi bisa terbang bagai burung dan bercinta dengan bidadari. Dari perjalanan masa kecilnya membuat Mochtar terdampar sebagai manusia dewasa yang berintelektualitas dengan spiritualitas. Kegemarannya melahap berbagai buku membuat dia cerdas dengan buah-buah pikiran seperti tingginya integritas penulisannya sebagai seorang intelektual.

Sebagai pembaca kita seperti ikut menjelajahi perjalanan hidup penulis yang dari kecil memang sudah “kaya akan hidup”. Artinya Mochtar bisa menikmati masa kecilnya dengan alam-alam Indonesia yang bersahabat dan luar biasa indah. Selain itu kekayaan pengalaman hidupnya senantiasa terproyeksikan pada cakrawala Indonesia yang berlapis-lapis.

Lahir di sebuah desa di Sulawesi Selatan pada malam setelah proklamasi kemerdekaan, penulis menuturkan hidupnya yang seolah-olah mengalir dari derap langkah bangsa dan negerinya. Tidak hanya itu, Mochtar tumbuh menjadi seseorang yang dapat memberi pencerahan perihal arti perjuangan, pemikiran, dan idealism. Mochtar menyukai dunia buku, tak heran jika sejak kecil sudah melahap beberapa buku seperti sastra dan jurnal. Kegemaran dalam membaca juga diiringi dengan kemampuan menulis. Melalui tulisannya Mochtar berharap bisa menyampaikan keindahan-keindahan Indonesia dari dunia sastra. Kesempatan kuliah di luar negeri tidak disia-siakan. Hingga akhirnya kepulangannya kembali ke tanah air Indonesia setelah meraih gelar doktor dengan tingkat “magna cum laude” dari sebuah perguruan tinggi di Amerika.

Mochtar Pabottingi dikenal sebagai seorang ahli ilmu politik dan cendekiawan terkemuka di negeri ini. Dalam novel otobiografinya dia mengisahkan setiap episode kehidupan dengan penuh kejujuran dan keindahan puitisnya.

Mochtar mengatakan bahwa sentuhan keteduhan desa tempat lahirnya berperan besar dalam kuatnya ingatan tentang buku yang dia baca ketika kecil. Puluhan tahun silam, kalimat-kalimat “Ini si Didi. Si Didi sakit gigi. Ini si Minah. Si Minah sakit selesma.” Seperti tidak pernah lapuk di makan zaman. Perpindahan tempat tinggal selalu menandai loncatan-loncatan cakrawala.

Di suatu pagi pada tahun 1953, Mochtar bertolak ke Makassar. Kembang api cakrawala meledak berpendar mengisi lorong-lorong batin Mochtar di Makassar. Di kota ini. pendaran cakrawala tersebut hadir melalui bacaan-bacaan seperti Arjuna Wiwaha, Mahabrata, Hikayat Hang Tuah, sampai Abu Nawas.

Perpindahan berikutnya adalah ke Yogyakarta. Dengan beasiswa Caltex, Mochtar melanjutkan kuliah di Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Gajah Mada. Di kota ini Mochtar berada di masa yang sama ketika tokoh-tokoh seperti WS Rendra, Kuntowidjojo, Sartono Kartodirdjo tengah berada dalam puncak-puncak kreativitas dan produktivitasnya.

Tinggal dan belajar di Yogya selama enam tahun telah memberi Mochtar loncatan cakrawala yang sangat berarti. Salah satu bentuk loncatan itu adalah senantiasa tersedianya dalam diri Mochtar seperangkat nilai-nilai Jawa untuk menjadi cermin atau timbangan bagi sistem nilai Bugis yang terlanjur tergurat dalam jiwanya. (Hal. 128)

Loncatan berikutnya adalah Jakarta. Di Jakarta Mochtar tidak menemukan bacaan-bacaan yang berkualitas. Menurutnya buku bacaan di Jakarta kalah jauh kualitasnya dibanding ketika masih di Yogya. Sehingga sebagian besar waktunya tersita untuk mencari nafkah. Pelajaran langsung dari ilmuwan, seniman, budayawan, termasuk agamawan membuat cakrawala Mochtar mengalami peningkatan kualitas dan semakin berpendar seperti kembang api di setiap malam tahun baru. Modal berharga itulah menjadi kerangka kokoh untuk menghadapi fase-fase selanjutnya di Jakarta, Honolulu, Buffalo, Amherst, dan Massachusetts.

Di usia 35 tahun, Mochtar mendapatkan beasiswa melanjutkan kuliah di Amerika tahun 1980. Meskipun terpaut 5-10 tahun dari rekan-rekan seangkatannya tidak menurunkan semangatnya yang tetap menggebu.

Kesempatan belajar di Amerika tidak sia-siakan. Membaca buku menjadi prioritas utamanya. Ia menghabiskan banyak waktu dengan buku-buku di perpustakaan. Tidak ada hal menarik dari perbuatannya itu. Sebuah kewajaran bagi seorang intelektual yang dituntut untuk mengarungi jalur sunyi. Di Amerika, Mochtar mengalami kegalauan batinnya pasca kelulusan. Ia bimbang akan memilih melanjutkan kehidupannya di Amerika atau kembali pulang ke Indonesia tepat ketika otoritarianisme sedang keras-kerasnya. Mochtar tidak ingin seperti Malin Kundang sebab dirinya berkata bahwa kesadaran seorang pribadi tidak pernah lepas dari akar yang setiap saat pulang.

Meninggalkan istri dan anak-anaknya yang masih kecil tentu membuatnya berat. Namun karena istrinya mendukung dengan sepenuh hati, Mochtar ikhlas jauh dari keluarga dan menimba ilmu di Amerika. Tetapi ia pernah “tergelincir” dan meninggalkan luka pada diri Nahdia, istrinya. Dengan jujur ia menceritakan pernah menyaksikan penari strip-tease bersama rekan-rekannya. Meskipun ia lebih sibuk memberikan tafsiran makna atas mata sendu sang penari dalam tulisannya.

Cerita menarik dituturkan Mochtar ketika istri berserta ketiga anaknya pergi ke Boston untuk menyusul Mochtar. Kisah mengharukan itu terjadi karena istrinya ingin mempertemukan ketiga anaknya yang jauh terpisah dari ayahnya. Berpindah-pindah pesawat selama kurang lebih 30 jam, hampir pingsan di bandara, Nahdia sempat meminum susu dari botol anaknya yang paling kecil. Tentu itu menunjukkan pengorbanan seorang ibu yang luar biasa agar anak-anaknya bisa dekat dengan ayahnya. Bahkan Nahdia sempat kerepotan mengisi formulir di bandara karena ketiga anaknya rewel. Ketika sampai di bandara dan bertemu dengan Mochtar ternyata koper-koper mereka tertinggal di pesawat lain karena harus berganti-ganti pesawat dan repot dengan anaknya, Nahdia lupa akan itu. Akhirnya Mochtar membelikan baju di sebuah toko karena baju yang dipakai Nahdia sudah lusuh dan bau pesing. Ternyata baju yang dibelikan Mochtar kepada Nahdia adalah daster. Tetapi apa boleh buat karena tidak ada baju lagi Nahdia memakai daster tersebut hingga koper-kopernya tiba.

Meski ditulis dengan bahasa yang mengalir, kita harus pelan-pelan memahami tulisan-tulisan Mochtar. Sebab, selain berkisah tentang kehidupannya sejak kecil, Mochtar juga menuliskan pandangan-pandangan tentang berbagai fenomena. Tidak terkecuali dengan kesepakatan atau ketidaksetujuan pendapatnya mengenai pemikiran banyak ilmuwan.

Novel otobiografis yang ilmiah dan populer memberikan kita pengetahuan tentang perjalanan hidup sekaligus gagasan-gagasan yang bersemayam di benak Mochtar. Tidak hanya itu, kejujuran dalam bercerita membawa kita pada pandangan yang baru. Dari perjalanannya kita belajar untuk tidak sekadar mencintai Indonesia, tapi mencintai dengan jujur dan dalam kejujuran. Ibarat burung-burung flamingo, betapa tinggi pun mereka tiap kali terbang menjelajah cakrawala, tiap kali itu pula mereka tetap rindu dan perlu pulang untuk menyiangi sarang. Dan Indonesia menjadi sarang tempatnya rindu berpusat. “Indonesia tak pernah bisa dipisahkan dari ketercerahan cakrawala.”


Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun