Bagi mbah Ledjar, wayang itu tidak semata-mata sebagai media hiburan saja, malah seharusnya wayang bisa menjadi media penyampai pesan atau sarana pendidikan. Hal inilah yang terjadi di luar negeri. Seperti di Belanda misalnya, wayang kancil malah dijadikan media pendidikan, malah pesannya mudah diterima oleh anak-anak disana. Selama ini banyak mahasiswa atau peneliti yang berasal dari luar negeri yang belajar tentang filosofi dan seluk beluk tentang dunia wayang kancil dengan Mbah Ledjar. "Mereka itu tidak hanya belajar, lalu melupakan, mereka malah mempraktekkan seni wayang di negerinya. Saya tahu karena dikirimi bukti berupa laporan dan foto-foto dari mereka," ujar Ki Ledjar Subroto dengan antusias.
Banyaknya karya mbah Ledjar yang disimpan di luar negeri, malah tidak membuatnya takut jika karyanya wayang akan "direbut" oleh bangsa lain. Menurutnya asal karyanya itu dihargai dan didata sesuai dengan nama pemiliknya dengan benar, maka ia justru merasa bangga. Sebenarnya Mbah Ledjar menyimpan kekecewaan yang cukup mendalam terhadap bangsa sendiri. Hal ini bermula saat ia menemukan adanya katalog wayang Indonesia yang berjudul The Development Of Wayang Indonesia as a Humanistic Cultural Heritage dimana terdapat karya wayang kancil buatan Ki Ledjar, hanya saja nama penciptanya adalah orang lain yaitu Li Boo Liem. "Lha aneh sekali kok orang Indonesia ini, jelas-jelas di wayang itu ada goresan nama saya, tapi kok bisa-bisanya dicap sebagai karya orang lain yang tidak jelas juntrungannya," ungkap Ki Ledjar dengan gusar.
Mbah Lejar menduga, pengalihan nama pencipta terjadi karena ada unsur kepentingan beberapa pihak untuk mendapatkan keuntungan. Dimana ketika ada karya yang penciptanya sudah lama meninggal, maka karya tersebut akan dinyatakan sebagai karya seni bernilai tinggi. Jadi ketika ada pihak-pihak yang ingin menjual wayang kancil, maka akan mendapatkan keuntungan berlimpah. Bersama cucunya yang mewarisi darah seni dari dirinya, mbah Ledjar terus berjuang untuk menunjukkan bukti-bukti bahwa karya tersebut adalah karyanya. Ia juga telah melakukan konferensi pers untuk meluruskan kepada publik. "Ini kan tentang sejarah, kalau sudah dibelok-belokan, kasian anak cucu kita yang akan menerima informasi yang salah," ucap mbah Ledjar berapi-api.
Adanya kasus tersebut, tidak membuat semangat mbah Ledjar surut untuk memainkan wayang kancil. Walaupun ia merasa dikhianati oleh bangsanya sendiri, tetapi ia tetap merasa masih ada yang menghargai karyanya. Terbukti masih ada orang-orang yang antusias dan menyaksikan pementasan wayangnya. Selain itu, beberapa waktu yang lalu, ia sempat diundang Sultan untuk bermain wayang dalam rangka hari lingkungan hidup. Sultan tertarik dengan wayang Kancil, karena Kancil hidup di hutan dan hutan itu lekat dengan kehidupan kita. Menurut cerita mbah Ledjar, sultan juga berpesan bahwa kita bisa belaja dari kepemimpinan kancil Amongprojo dimana ada konsep Hamemayu Hayuning Bawana yang artinya kearifan lokal yang menjadi dasar sekaligus pola pembangunan dimana alam adalah bagian dari pemahaman yang ada didalamnya.
Belum terlambat untuk Melestarikan
Ki Ledjar Subroto sadar bahwa seni wayang kancil bisa saja punah ketika ia sudah tiada. Akan tetapi ia tidak pernah putus asa untuk mencari penerus-penerus wayang kancil. Ia terus semangat jika dipanggil untuk melakukan pentas wayang. Harapannya dengan sering melakukan pentas, secara perlahan bisa mempengaruhi masyarakat untuk lebih mengenal seni wayang kancil dan tertarik untuk mempelajari dan melestarikannya.
Ketika ditanya tentang pengalaman yang paling menarik selama 30 tahun berkarya dalam dunia pentas wayang kancil, dengan mantap ia menjawab ketika menjadi relawan dan menghibur para pengungsi merapi. Hal ini berkesan bagi mbah Ledjar karena ia melakukan pentas selama 14 hari di 15 titik pengungsian, yaitu dari Klaten sampai Muntilan. "Ya, walaupun tubuh saya sudah renta seperti ini, saya berusaha untuk menghibur sekaligus memberikan pesan-pesan melalui karya saya," ujar mbah Ledjar.
Sebagai seniman lokal, mbah Ledjar memiliki harapan untuk kelestarian budaya bangsa. Apalagi melihat kondisi masyarakat dewasa ini, menurutnya masyarakat itu harus memiliki sadar budaya, sadar wisata dan sadar lingkungan. Karena untuk melestarikan budaya asli daerah tidak bisa dibebankan terhadap para senimannya, melainkan juga seluruh pihak termasuk pemerintah dan masyarakat harus ambil bagian. Sejauh ini, ia merasa belum terlambat jika masyarakat mau berubah dan serius untuk melestarikan dan mengembangkan budaya lokal. Mbah Ledjar juga berpesan ada khaidah 5M yang harus kita miliki ketika ingin melestarikan budaya bangsa, yaitu Menghargai, Mengakui, Menikmati, Mempelajari dan Menggunakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H