Mohon tunggu...
Oktiana Paramasanti
Oktiana Paramasanti Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Dasar di Kudus

Pembelajar yang terus belajar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Moralitas Anak di Masa Pembelajaran Jarak Jauh

11 Juli 2021   22:59 Diperbarui: 11 Juli 2021   23:51 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Moralitas Anak di Masa Pembelajaran Jarak Jauh

Pendidikan merupakan hak sekaligus kewajiban bagi setiap anak. Pada masa lalu, beberapa orang tua masih menganggap pendidikan bukanlah prioritas dalam kehidupan terlebih lagi bagi anak perempuan. Namun, dengan seiring berjalannya waktu setiap orang tua menginginkan pendidikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Mereka saling berlomba untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah terbaik meski harus rela membayar mahal. Para orang tua biasanya akan memilih sekolah yang sudah sekaligus dengan pendidikan agama di dalamnya dengan harapan anaknya memiliki kepribadian, moral, dan sikap yang berlandaskan atas agama yang dianutnya. Tetapi, sudah hampir dua tahun berjalan sekolah-sekolah di Indonesia berjalan dengan sistem Pembelajaran Jarah Jauh (PJJ) karena adanya pandemi COVID-19 ini. Apakah Pendidikan di Indonesia sudah siap dengan pembelajaran daring? Sudahkan sekolah-sekolah di Indonesia mendidik siswa-siswanya dalam aspek afektif, psikomotoriknya atau hanya kognitif saja?

Belakangan ini di kalangan orang tua, lebih condong untuk memperhatikan nilai kognitif anak-anaknya. Mereka mengesampingkan nilai afektif dan psikomotorik dengan hanya melihat angka-angka yang tertulis di rapor anak-anak mereka. Para orang tua ini menganggap  bahwa semakin besar nilai angka yang didapatkan merupakan simbol kepintaran pada anak-anak mereka. Padahal setiap anak itu unik. Mereka memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Pada era Pembelajaran Jarak Jauh ini, pembelajaran terbatas oleh ruang dan waktu sehingga pembelajaran tidak dapat berjalan secara maksimal. Belum lagi ditambah masalah-masalah yang menyertai pembelajaran daring seperti tidak tersedianya gawai dan jaringan internet untuk mengakses pembelajaran daring. Beberapa masalah tersebut akhirnya membuat guru lebih mementingkan aspek pengetahuan saja dalam kegiatan pembelajaran. Pada saat pembelajaran tatap muka, guru dapat memantau dengan mudah sikap, perilaku, dan keterampilan siswanya dalam kegiatan pembelajaran. Jika siswa bersikap minim moral atau berbuat kesalahan guru dapat menegur dan memberikannya nasehat secara langsung. Lantas bagaimana saat pembelajaran daring? Di mana guru hanya memiliki waktu yang terbatas, dapatkah guru mengamati sikap siswa secara maksimal? Hal tersebut merupakan salah satu kelemahan dari pembelajaran daring. Di sinilah peran orang tua dan keluarga siswa sangat penting sebab waktu siswa lebih banyak dihabiskan bersama dengan keluarga mereka.

Tidak dipungkiri di era revolusi industri 4.0 ini teknologi menjadi hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Hampir semua kegiatan manusia bergantung dengan adanya teknologi terlebih ketika masa pandemi saat ini. Namun, perlu diingat bahwa kehadiran teknologi ini juga membawa dampak negatif. Pendidikan saat ini yang menuntut adanya pembelajaran daring mau tidak mau membuat anak-anak memiliki smartphone  di tangannya yang digunakan sebagai penunjang untuk mengikuti kegiatan pembelajaran daring. Namun, tanpa pengawasan yang baik hal tersebut dapat disalahgunakan oleh anak, misalnya saja sekarang banyak sekali dijumpai anak-anak saling berkumpul tetapi bukan untuk diskusi kelompok melainkan bermain game online  bersama-sama atau istilah mereka sebut dengan mabar. Sungguh miris, ketika sekolah-sekolah diliburkan untuk menghindari kerumunan dan menyebarnya wabah COVID-19, mereka justru bermain selama berjam-jam dan berkelompok bahkan tanpa menggunkan masker.

Pandemi seperti ini memang berdampak besar pada kegiatan belajar mengajar siswa, tapi disitulah peran kita sebagai guru di abad 21 diperlukan untuk melakukan inovasi dalam mengajar sehingga anak-anak tetap bersemangat belajar dan mendapatkan haknya di masa pandemi ini. Menjadi seorang guru bukanlah sekadar mentrasfer ilmu saja tetapi juga memberi contoh baik dalam bersikap, yang akan diterapkan pada kehidupan sehari-hari. Itulah yang menjadi PR besar bagi guru sebagai pengajar, orang tua, dan pemerintah kareana faktanya tidak semua siswa memiliki smartphone untuk mengaskses pembelajaran daring. Semoga ada solusi pemecahan terbaik dan pandemi ini segera berlalu. Sekolah dapat kembali berperan utuh sesuai fungsinya seperti dahulu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun