Mohon tunggu...
Okti Nur Risanti
Okti Nur Risanti Mohon Tunggu... Penerjemah - Content writer

Menulis adalah salah satu upaya saya dalam memenuhi misi mandat budaya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Salah Kaprah dalam Budaya Njagong di Jawa

6 Januari 2023   20:00 Diperbarui: 6 Januari 2023   21:25 953
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi amplop sumbangan (Unsplash, Erica Steeves)

Secara spirit, budaya hajatan ini tidak lagi didorong sebagai momen atau acara untuk mengucap syukur, melainkan bertendensi menjadi ajang untuk menaikkan atau mempertahankan gengsi sosial, bahkan sebagai cara untuk mendapat keuntungan ekonomi dengan menyebar sebanyak mungkin undangan yang akan berimbas pada hasil sumbangan yang diperoleh.

Maksud dan tujuan hajatan juga bukan lagi untuk mengikat relasi sosial dan demi terjalinnya kerukunan sesama warga, karena sudah lebih bernuansa untuk mbaleke sumbangan (mengembalikan sumbangan yang dulu diterima), tidak mau rugi dan itung-itungan, terpaksa (pekewuh, sungkan, atau takut digunjingkan atau dikucilkan), atau karena gengsi semata.

Hasilnya? Banyak orang, terutama warga berpenghasilan kurang maupun pas-pasan sangat dirugikan akibat budaya njagong dan nyumbang hajatan yang sudah jadi kelumrahan ini. Mereka terlilit utang, menjadi semakin miskin, dan terjebak dalam arus sosial yang sama sekali tidak berpotensi membawa kemajuan bagi kehidupan mereka. Dan, ini fakta. Asisten rumah tangga saya pernah bercerita bahwa pohon jati kebun yang merupakan aset berharga milik keluarganya di Ponorogo sampai habis dijual akibat budaya menyumbang hajatan ini. Tidak cukup sampai di sana, orang tuanya juga harus terus menerus berutang saat musim hajatan tiba. Kondisi tersebut membuat dia dan saudara-saudaranya jadi tidak memiliki kesempatan untuk melanjutkan sekolah setelah lulus SMP, yang tentu berpengaruh pada masa depan mereka.

Melihat dan mendengar fenomena ini, saya kok jadi berpendapat bahwa budaya semacam ini bukan budaya yang baik untuk terus dilanggengkan, terutama pada penerapan aturan "tak tertulisnya" dalam memberi sumbangan. Mengadakan hajatan mantu, khitanan, atau syukuran kelahiran tentu sah-sah saja dilakukan, bahkan jika terselip tujuan atau maksud untuk menaikkan gengsi sosial di sana. Namun, ketika acara-acara semacam ini diselenggarakan untuk mencari keuntungan ekonomi dan menaikkan gengsi/status dengan cara membuat orang lain "dipaksa" dan "terpaksa" menyumbang dengan dalil kelumrahan, bagi saya itu sudah menjadi budaya yang tak masuk akal dan tidak mendidik.

Bukankah seharusnya kita menyumbang atas dasar keikhlasan, kemampuan, serta konteks keadaan dari orang yang disumbang? Bukankah lebih baik jika kita menyumbang dalam jumlah yang lebih banyak kepada mereka yang kurang mampu, dan tidak apa jika menyumbang lebih kecil/sedikit bahkan jika tidak menyumbang sama sekali kepada penyelenggara hajatan yang sudah memiliki kondisi ekonomi mapan, berkecukupan, bahkan berlebih? 

Bukankah acara pernikahan, khitanan, atau syukuran kelahiran seharusnya jadi ajang bersyukur dengan semangat rela berkorban untuk berbagi kebahagiaan, bukannya malah jadi ajang untuk meraup keuntungan dari hasil sumbangan? Tidakkah seharusnya gengsi kita ditempatkan pada posisi yang tepat, yaitu untuk tidak sampai menjadikan acara hajatan ini sebagai cara untuk mencari uang dan memaksa mereka yang tidak mampu dan yang tidak kita kenal untuk menyumbang, dibanding gengsi karena berhasil mengundang sebanyak mungkin orang dan mendapat banyak keuntungan dari sumbangan yang diberikan? Dan, bukankah acara hajatan justru akan semakin menjadi berkat, baik bagi penyelenggara maupun para undangan yang hadir, jika itu sungguh-sungguh didasari oleh ketulusan dan semangat berbagi yang tidak itung-itungan?

Semoga banyak orang yang membaca tulisan ini dan menjadi setuju dengan pendapat saya. Dalam abad kemajuan teknologi dan informasi ini seharusnya semakin banyak orang yang menjadi kritis dan menentang budaya serta kebiasaan yang tidak membangun dan mendidik masyarakat untuk menjadi maju dan sejahtera. Yang sudah menjadi kelumrahan dan dilakukan oleh mayoritas belum tentu selalu benar.

Mari kita ingat bahwa budaya yang baik akan membawa komunitas masyarakat pada kemajuan dan kesejahteran sosial. Sebaliknya, budaya yang dibangun di atas dasar egoisme, materialisme, ketiadaan belas kasih, dan penindasan hanya akan melahirkan komunitas yang miskin, mundur, dan terbelakang. 

Semoga kita tidak terjebak pada budaya yang buruk.

     

     

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun