Natal. Salju yang turun membuat udara kian bertambah dingin. Seorang gadis kecil dengan pakaian tipis berjalan di antara orang-orang yang berlalu lalang di jalan sembari menawarkan korek api. Namun, tak seorang pun yang membeli dagangannya.Â
Malam itu malamMalam pun kian larut. Gadis kecil itu tak berani pulang karena ayahnya akan memukulnya jika ia pulang tanpa membawa uang. Ia terus berjalan, sampai tiba di depan sebuah rumah. Melalui jendela rumah itu, ia dapat melihat orang-orang merayakan Natal dalam kehangatan dan kebahagiaan. Ia merindukan suasana yang sama, yang dulu juga pernah dirasakannya saat ibunya masih hidup.
Udara yang kian dingin membuatnya duduk meringkuk di salah satu sudut jalan. Untuk menghangatkan tubuhnya yang kurus dan tidak terlindung dengan baju hangat tebal, ia menyalakan batang korek apinya. Satu per satu nyalanya membawa berbagai bayangan indah akan kehangatan perapian, makanan lezat, dan pohon Natal yang dirindukannya.
Namun, ketika apinya padam, satu persatu bayangan itu pun lenyap. Gadis kecil itu mendongak ke atas, dan melihat sebuah bintang jatuh dari langit. Segera ia teringat kepada neneknya yang mengatakan bahwa bintang yang jatuh adalah pertanda akan ada seseorang yang meninggal. Ia pun merindukan neneknya yang sangat mengasihinya.
Gadis kecil itu lalu terus menyalakan batang-batang korek apinya, berharap neneknya akan muncul dari sana. Satu persatu batang korek apinya menyala, tetapi neneknya tak kunjung muncul. Banyak batang sudah dihabiskannya, ketika bayangan neneknya akhirnya muncul. Ia pun makin bersemangat menyalakan korek apinya, sembari berkata, "Nenek, jangan pergi. Aku tak ingin kau pergi seperti hal-hal indah lainnya."
Namun, neneknya tak segera menjawab. Ia sangat merindukan neneknya dan ingin berada bersamanya. Setelah ibunya meninggal, tak ada lagi orang yang menyayanginya. Tak ingin neneknya pergi, ia pun mengumpulkan semua batang korek apinya dan menyalakannya, membuat cahayanya menjadi sangat terang di sekitar tempatnya berada.
Akhirnya, neneknya muncul sehingga ia pun sangat gembira. Gadis itu menari-nari dan langsung memeluk neneknya. Neneknya tersenyum menyambutnya, dan mereka berpelukan erat. Gadis itu kini bisa merasakan kehangatan yang sudah lama dirindukannya. Lalu, tiba-tiba mereka terangkat dari atas tanah, makin lama semakin tinggi, sampai mereka pun terbang tinggi ke angkasa. Mereka sudah kembali bersama-sama sekarang.
Keesokan harinya, orang-orang menemukan gadis kecil penjual korek api itu terbujur kaku dalam posisinya. Ia sudah tiada. Pada wajah kecilnya yang kemerahan sebuah senyuman tersungging, sementara di tangannya masih tergenggam bekas korek api yang habis terbakar. Meski kondisinya miskin dan papa, gadis korek api itu sungguh tampak bahagia.
Cerita di atas adalah isi dari dongeng klasik Gadis Penjual Korek Api karya Hans Christian Andersen yang terbit pada tahun 1845. Meskipun sekuler, tetapi kisahnya sendiri membuatnya dikenal sebagai salah satu dongeng untuk masa-masa Natal.Â
Dulu, saat menyaksikan kartunnya di televisi, mata saya selalu basah karena sedih. Pada saat itu, bahkan ironi dongeng ini sudah menancap kuat dalam benak saya sebagai seorang anak. Natal yang seharusnya membawa kebahagiaan bagi banyak orang, nyatanya tidak dirasakan oleh sang gadis penjual korek api. Kemiskinan sungguh merenggut kesempatan dan kebahagiaan gadis kecil itu untuk mengalami sukacita Natal.
Sebagai anak-anak, saya menyesalkan keputusan pengarang dalam mengakhiri ceritanya. Wajar jika sebagai anak kita menginginkan akhir kisah yang bahagia selamanya. Happily ever after. Namun, belakangan saya baru bisa menyadari pesan penting yang justru ingin pengarang sampaikan melalui kisah tersebut.Â