Jika mau jujur, sifat kita yang suka menganggap diri lebih baik, lebih keren, atau lebih tinggi yang menjadi pangkal dari semua permasalahan ini. Kita merasa standar nilai, selera, atau budaya kita lebih tinggi, sehingga menganggap selain dari itu adalah lebih rendah, lebih buruk, kurang memenuhi standar, dan karenanya patut kita rendahkan.
Lalu, karena kurang kritis, kita juga men-cap sesuatu secara kurang tepat. Tidak ada kaitan sesungguhnya antara desa atau orang desa dengan penilaian kita dalam hal selera dan tampilan. Atau, kalau pada zaman lampau hal itu pernah berkaitan pun, sekarang yang semacam itu sudah tidak relevan lagi. Kasihan sekali jadinya orang desa yang sekarang punya image atau konotasi negatif karena adanya ungkapan "ndeso" atau "kampungan" yang kerap kita lontarkan.
Namun, meski kekeliruan tersebut sudah masif, mendarah daging, dan jadi hal umum, sekarang kita masih bisa berbuat sesuatu untuk tidak melestarikan hal yang salah. Gimana?Â
Kita hargai orang desa dengan segala keberadaan dan budaya mereka, dengan membuang jauh-jauh ungkapan "ndeso", "kampungan", "udik", atau istilah-istilah lain yang selama ini bersifat stigma, labeling, merendahkan, dan berkonotasi buruk bagi mereka dalam kosa kata kita.
Sebab itu, lain kali, bilang saja "norak", bukannya "ndeso" atau "kampungan" untuk mengomentari seseorang yang tampil tidak pas, berlebihan, atau kurang sesuai dalam konteks tertentu. Selain lebih pas, orang desa juga tidak diseret-seret dalam isu yang tidak ada kaitannya dengan mereka.Â
"So, plis deh, jangan norak kalo jadi orang kota."Â
 Â
Â
 Â
 Â
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H