Tahun ini, kita memperingati kemerdekaan RI yang ke-75. Meski dalam situasi pandemi dan ancaman resesi, tetapi kita mesti bersyukur untuk anugerah Tuhan ini. Ada banyak orang di dunia  yang sesungguhnya belum dapat merasakan kemerdekaan seperti yang kita miliki. Mereka masih terbelenggu dengan sistem pemerintahan, politik, sosial, budaya, paham, atau peperangan yang terjadi di negara atau wilayahnya.Â
Mereka mungkin hidup dalam negara yang berstatus merdeka, tetapi tidak benar-benar mendapat kebebasan untuk hidup, bergerak, beraktifitas, menyuarakan pendapat, berekspresi, atau menentukan nasib dan masa depan mereka sendiri. Â Sebagai bangsa Indonesia, kita bersyukur hidup dalam negara yang memberi kita kesempatan, pilihan, maupun hak untuk menjadi manusia merdeka.Â
Namun, jika mau berpikir lebih dalam, sungguhkah kita sudah benar-benar merdeka? Sudahkah kita benar-benar bebas seperti yang kita pikirkan?
Banyak atau malah mungkin mayoritas orang berpikir bahwa kebebasan atau kemerdekaan sejati itu artinya mampu melakukan segala sesuatu tanpa mengalami hambatan atau kekangan. Atau, dengan perkataan lain, kebebasan atau kemerdekaan sejati adalah suatu kondisi di mana kita bisa melakukan apa pun yang kita inginkan. Free as a bird. Bebas, sebebas-bebasnya.
Benarkah?
Nope.
Setidaknya, menurut ajaran iman yang saya anut.
Ajaran iman kami tidak memandang kebebasan itu sebagai suatu keadaan bebas secara mutlak. Sebaliknya, kebebasan dalam pemikiran seperti itu justru merupakan bentuk lain dari perbudakan.
What?
Ya, kebebasan untuk melakukan segala sesuatu yang kita inginkan sesungguhnya akan menjadi bentuk perbudakan dari nafsu diri yang justru akan menjadi jerat menuju kehancuran. Immanuel Kant mendefiniskan kebebasan yang mutlak sebagai kebuasan, karena kebebasan sesungguhnya memiliki definisi yang bersifat mengikat dan terbatas.
Bayangkan jika manusia bisa berbuat apa saja sekehendak hatinya! Kita semua berpotensi untuk menjadi diktator, tiran, atau monster mengerikan jika saja tidak ada hukum, aturan, atau hal yang membatasi kita. Apa lagi dengan natur berdosa, manusia cenderung akan melakukan banyak keputusan, pilihan, dan perbuatan yang akan merugikan sesamanya, alam, dan makhluk ciptaan lainnya.