Mohon tunggu...
Okti Nur Risanti
Okti Nur Risanti Mohon Tunggu... Penerjemah - Content writer

Menulis adalah salah satu upaya saya dalam memenuhi misi mandat budaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mbah Marto

9 Juli 2019   18:39 Diperbarui: 9 Juli 2019   19:19 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Namanya Mbah Marto. Usianya sekitar 80 tahun dan ia tinggal di bantaran sungai Bengawan Solo. Ia miskin dan jauh dari kata berhasil (menurut ukuran kita yang sering berstandar pada pandangan dunia). Pada saat perempuan tua lainnya telah lelah dimakan usia dan berhenti bekerja, ia masih harus membanting tulang demi menghidupi anak perempuan serta 3 orang cucunya yang masih sekolah. Ia berdagang baju bekas, dan sesekali menjual kemampuannya untuk memijat dan mengerik orang-orang yang dikenalnya. Santunan dari orang-orang yang peduli sesekali diterimanya dengan penuh rasa syukur.

Ia cukup tegar, sekalipun menurut cerita yang kudengar, telah banyak penderitaan yang dialaminya sejak usia muda. Ia tidak mengeluh tentang cucunya yang nakal, tentang harga beras yang mahal, atau tentang pengendara motor yang menabraknya dan kemudian hanya memberinya uang 10 ribu rupiah saja, meski ia memar cukup parah pada saat itu. Ia tak pernah kelihatan lelah walau harus selalu berjalan kaki selama lebih dari 10 kilometer pulang pergi dari rumah untuk mencari nafkah sembari memanggul barang dagangan atau kayu bakar untuk masak di rumah. Ia teramat lugu, walau bukan berarti ia seorang yang bodoh. Hanya karena terlahir miskin, pendidikan tinggi tidak dapat diraihnya sebagai bekal untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Perputaran roda tidak pernah terjadi dalam kehidupannya, seolah nasib telah memilihnya untuk terus berada di putaran bawah.

Mbah Marto sungguh setia dalam imannya yang sederhana. Tidak pernah sekalipun ia menyalahkan Tuhan atas semua kemalangan yang terjadi dalam hidupnya. Ia terima nasibnya sebagai bagian dari takdir yang harus dijalani. Walaupun lugu dan hidup dalam kultur Jawa, Ia tidak mempercayai mistisisme kejawen, yang umumnya dipercaya oleh generasi tua. Ia rajin mengikuti kebaktian di GKJ, walau untuk itu ia harus berjalan kaki sekitar 5 km dari rumahnya semenjak subuh, pada saat semua orang masih lelap tertidur. Ia juga selalu berusaha mengikuti acara pendalaman Alkitab dan persekutuan doa yang diadakan jauh dari rumahnya, demi memenuhi kebutuhannya akan santapan rohani serta menjaga persekutuan dengan teman-teman seusianya. Semua dijalaninya dengan antusias, kecuali badannya yang telah tua memaksanya untuk terbaring lemah. Di tengah penderitaan hidupnya, ia masih sempat menjadi penghiburan bagi teman-temannya yang tinggal di panti jompo dengan sekadar mendengarkan keluh kesah mereka. Dan, terkadang juga keluh kesahku. Kehadirannya selalu mencerahkan hatiku dan juga membawa keharuan, walau itu tidak disadarinya.

Mbah Marto, menurut anaknya, selalu berdoa dan membaca Kitab Suci saat tengah malam, untuk mendoakan keluarga dan semua orang yang dikenalnya. Doanya tidak pernah tertuju kepada diri dan kebutuhannya sendiri, sebaliknya ia lebih peduli pada pergumulan orang lain. Ketika banjir menghanyutkan seluruh isi rumahnya pada akhir tahun 2007, satu-satunya benda yang ia selamatkan hanyalah Kitab Suci tuanya yang berbahasa Jawa. Baginya, benda itulah satu-satunya yang berharga dalam hidupnya, yang selalu membawa penghiburan baginya.

Sosok Mbah Marto dengan segala kesederhanaan dan ketulusan hatinya telah meruntuhkan segala pemahamanku tentang kebahagiaan. Di dalam dirinya yang renta, miskin, lugu, dan penuh dengan kepahitan hidup, aku justru menemukan kebahagiaan yang sejati, yang tidak ternilai harganya. Dari dirinyalah aku mengetahui, bahwa kebahagiaan itu ada di tengah ketidakberdayaan. Itu tidak dapat direnggut walau standar seluruh keberhasilan yang kita kenal tidak melekat dalam dirinya. Kebahagiaan itu ada dan menyentuh orang-orang di sekitarnya dengan cara yang sederhana. Dan, kebahagiaan itu sejatinya berasal dari ungkapan syukur tulus seorang perempuan tua benama Mbah Marto. Tuhan sungguh menggunakan keberadaannya untuk menyentuhku, menyentuh semua orang yang dikenalnya. Melalui diri perempuan itu pula aku belajar bahwa Tuhan pun bekerja bukan dengan cara yang menakjubkan dan penuh dengan bunga-bunga keberhasilan. Ia juga berkarya di dalam penderitaan dan kepahitan, bahwa kasih-Nya tetap dapat dirasakan dan dialami di tengah keterpurukan hidup. Masih ada begitu banyak Mbah Marto lain di luar sana yang hidupnya sungguh penuh dengan keajaiban di dalam kesederhanaan mereka. Dan, walau sulit untuk dipahami, merekalah pemilik kebahagiaan sejati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun