15 Oktober 2012. Saya termasuk puluhan -mungkin ratusan - jurnalis yang meliput acara pelantikan Jokowi. Bertempat di Gedung DPRD Jakarta, Jokowi (dan Ahok) diambil sumpahnya untuk menjadi Gubernur Jakarta lima tahun ke depan.
Sejak sehari sebelumnya saya sudah di wanti-wanti, besar kemungkinan jalan menuju balai kota (saya lupa namanya) yang kebetulan bersebelahan dengan kedutaan besar Amerika Serikat akan ditutup - buka. Tujuannya, tentu saja, untuk melancarkan arus lalu lintas karena pendukung Jokowi akan datang memenuhi balai kota.
Karena tidak semua kendaraan bisa lewat begitu saja,saya berpikir kemungkinan akan jalan kaki menuju balai kota. Motor akan saya parkir sedekat mungkin supaya tidak jalan terlalu jauh.
Tibalah saya di tempat pelantikan sekitar jam 10 pagi. Ternyata, lalu lintas tidak sepadat yang saya kira. Jalanan terbilang lancar. Siapa saja yang membawa motor atau mobil diperbolehkan parkir di trotoar kantor-kantor pemerintah yang berseliweran di sebelah balai kota.
Kesan pertama saya; sama sekali tidak ada pengamanan protokoler yang ketat terkait keamanan dan lalu lintas di acara pelantikan Jokowi. Semuanya terlihat wajar dan normal. Tidak terlihat polisi yang mencoba mempersulit kedatangan pengunjung, kecuali sebagian yang sedang mengatur lalu lintas supaya lancar.
Sejurus kemudian, perhatian saya tertuju pada atribut kemeja kotak-kotak yang sering dipakai Jokowi-Ahok dalam kampanye. Walau Pilkada telah usai, ternyata fanatisme pengguna baju kotak-kotak ini masih berlanjut. Pendukung setia Jokowi, entah itu yang berasal dari partai politik, ormas, atau masyarakat kecil banyak yang menggunakan kemeja ini.
Saya kemudian berjalan mengarah ke pagar utama balai kota. Awalnya saya ragu apakah bisa masuk begitu saja mengingat kedatangan saya agak terlambat. Tapi, untungnya ID pers yang saya kalungkan meloloskan saya dengan mudah. Saya tunjukkan ID yang saya bawa dan tanpa banyak tanya, petugas jaga langsung menyuruh saya masuk.
Saya menelusuri balai kota dari sisi timur untuk melihat-lihat keadaan sekitar. Saya berpapasan dengan rombongan majelis taklim - ibu-ibu pengajian dengan pakaian serba putih - yang berjalan bergerombol. Juga ada rombongan (mungkin) remaja masjid yang mengenakan baju koko dan peci setengah dengan rambut menyembul. Ada lagi dari kalangan pemuda yang berseragam hitam-hitam. Teman-teman wartawan. Juga dari kalangan ormas. Kesan saya selanjutnya; pelantikan ini terbuka bagi siapa saja. Nyaris tidak ada sekat antara pengunjung dengan gedung DPRD yang biasanya berjarak. Di hari pelantikan itu, siapa saja dipersilahkan masuk - meski dengan resiko bersempit-sempitan dengan pengunjung lain.
Saya mendapati ucapan selamat untuk Jokowi - Ahok dari berbagai kalangan dalam bentuk karangan bunga. Ada dari perorangan, pemerintah pusat, pemerintah daerah, juga yang datang dari kalangan bisnis.Tak ketinggalan Pemda dan DPRD Solo mengirimkan selamat kepada mantan pemimpinnya. Saya menulis satu artikel - yang tidak dimuat- tentang ucapan selamat ini ke redaksi.
Saya kemudian menuju tempat pelantikan di ruang sidang utama DPRD. Melalui lift yang terletak di parkir basement, saya naik ke lantai yang akan membawa saya ke ruang sidang. Begitu lift terbuka, ratusan orang sudah menyemut di lobi ruang sidang - baik dari warga maupun pers - sehingga membuat ruangan yang tidak terlalu besar itu pengap. Pintu ruang sidang sudah ditutup rapat dan dijaga ketat petugas keamanan. "Di dalam sudah penuh, Mas. Tidak bisa masuk lagi" Begitu kata seorang penjaga.
Akhirnya saya ikut menonton seremoni pelantikan lewat big screen yang terdapat di beberapa sudut. Setelah melalui beberapa pidato yang membosankan, akhirnya tiba waktunya bagi Jokowi - Ahok mengucapkan sumpah.
Apa yang Jokowi-Ahok ucapkan, saya tak ingat persis. Tetapi saya ingat gegap-gempita dari orang-orang di ruangan tempat saya berdiri. Mereka bertepuk, berpelukan, bertakbir, dan terus mengelu-elukan pemimpin barunya. Sebagian dari mereka saya lihat ada yang menangis.
Melihat sambutan hebat itu, beberapa detik kemudian, terlintas di pikiran saya; seorang pemimpin besar yang dicintai rakyatnya telah lahir di Jakarta.
Selanjutnya kami semua bersantap siang bersama, menikmati hidangan yang disediakan oleh panitia. Bagi seorang wartawan, bisa makan siang di tempat peliputan itu menyenangkan; hemat waktu (maksudnya tak perlu mencari makan di luar dengan resiko ketinggalan informasi peliputan) dan hemat ongkos.
Pada waktu makan itulah saya mendapat informasi bahwa Jokowi-Ahok akan menyapa para pendukungnya yang sudah menunggu di luar pagar DPRD. Saya agak bingung, pendukung yang mana lagi? Saya pikir semua orang sudah bisa masuk dengan bebas di gedung ini.
Saya langsung turun ke lantai dasar, di lobi utama, tepatnya di pintu masuk utama gedung DPRD. Saya melihat Satpol PP DKI sudah membuat barikade manusia yang menghubungkan pintu masuk dengan pagar di sisi kiri gedung. Di sebelah gedung sudah ada panggung. Di sinilah ternyata Jokowi dan Ahok akan berpidato singkat sambil menyapa orang-orang yang sudah menunggu di luar sana sejak pagi.
Saya melihat kerumunan massa yang bertambah banyak. Keingintahuan membuat saya mencoba melihat mereka lebih jelas, caranya dengan memanjat pagar gedung yang cukup tinggi. Ternyata lautan manusia sudah berkumpul di sana dengan menggunakan atribut mereka masing-masing. Mereka rela berpanas-panasan menunggu sang Gubernur baru berpidato. Saya ambil beberapa gambar untuk mengabadikan momen tersebut. Saya buat lagi satu artikel singkat yang menggambarkan suasanan di luar gedung, dimana ribuan orang menunggu Jokowi - Ahok yang baru saja dilantik untuk memberikan pernyataan pertama mereka secara terbuka.
Saya juga sempat mewawancarai salah seorang penyandang cacat yang datang ke acara pelantikan. Dia adalah seorang tua yang menggunakan kursi roda dengan kemeja kotak-kotak. Hermawan, namanya, cukup menyita perhatian wartawan siang itu karena meskipun cacat, dia dengan lincah ke sana kemari masuk diantara kerumunan massa. Sambil mengungkapkan harapan-harapannya kepada gubernur baru, Hermawan bilang "Pagi-pagi sekali saya sengaja sudah kesini supaya mudah masuk. Kalau antri kan susah buat saya." Ketika ditanya alasannya kenapa datang ke acara pelantikan, Hermawan menjawab "karena Jokowi, dia pahlawan saya." ungkapnya.
Akhirnya dalam waktu beberapa menit itu, saya dapat dua cerita yang layak dijadikan berita. Saya mengambil tempat agak teduh di bawah pohon agar dapat menulis dengan tenang. Maklum, saya harus menulis artikel dengan blackberry supaya cepat dan praktis. Ketika menulis itulah, saya mendengar teriakan-teriakan yang semakin keras. Orang-orang berebut mendekat ke barikade Satpol PP. Ternyata Jokowi-Ahok sedang menuju ke panggung.
Begitu keduanya sampai di atas panggung, dengan baju putih-putih, Jokowi dan Ahok dengan gayanya yang simpatik langsung membuka topi mereka sambil tak lupa menunduk takzim dan melambaikan tangan. Semua orang bertepuk dan mengelu-elukan keduanya. Momen senyum dan lambaian tangan ini terjadi cukup lama karena Jokowi menyapa mereka di tiap sudut panggung. Jadi di mana pun Anda berada, di depan, belakang, samping, atau di atas pohon dan di lantai atas sekalipun, tetap kebagian lambaian tangan Pak Gubernur.
Semua orang hening ketika Jokowi memegang mic bersiap memberi sambutan. "Tak ada yang bisa sampaikan selain rasa terima kasih yang sebesar-besarnya" Katanya memulai kata-kata. Kemudian ia juga bilang "Saya akan terus datang ke kampung-kampung, ke RT-RT setiap harinya" - sesuatu yang benar-benar ia lakukan di hari pertama kala bertugas di sebagai gubernur. Jokowi juga mengingatkan untuk tidak berharap banyak dan karena itu dia tidak ingin banyak berjanji di hari itu. "Tolong selalu ingatkan saya, jangan ragu ingatkan ketika saya salah" Siapa yang tidak bangga mendengar seorang pemimpin baru berkata jujur seperti itu?
Dengan gayanya yang otentik nan simpatik, siapa saja dapat merasakan ketulusan kata-kata singkatnya. Hari itu, Jokowi berhasil mempertegas simpati publik yang memang berhak ia dapatkan - Tak terkecuali dari pegawai-pegawai Pemda yang sengaja datang mengikuti acara pelantikannya.
Begitulah, hingga hari ini, dua minggu ketika ia menjabat sebagai gubernur, keingintahuan publik membuat setiap gerak-geriknya menarik untuk diikuti. Konon, beberapa instansi di Jakarta mulai sibuk berbenah sebagai pencegahan kalau-kalau sang gubernur melakukan sidak - yang memang tidak pernah diinformasikan kepada siapa saja di lingkungan kerjanya, termasuk kepada wartawan. Karena kalau ketahuan ada yang tidak beres, mereka akan jadi bulan-bulanan publik karena di setiap sidaknya hampir pasti Jokowi selalu dibuntuti pers.
Karena berita-beritanya yang pasti layak jual, di kalangan pemburu berita sendiri, ada yang memelesetkan nama Jokowi menjadi "Jokowow" (mengikuti istilah "wow" yang digunakan anak-anak muda hari ini). Info yang saya dapat dari salah seorang pollster yang belum mau merilis hasil surveinya, elektabilitas Jokowi meningkat pesat untuk 2014.
Tentu banyak yang tidak setuju jika Jokowi menjadi capres, dan belum tentu ia mau. Tetapi, paling tidak Jokowi sudah menyumbang sesuatu yang amat berharga bagi politik Indonesia. Ia simbol orang daerah yang melesat maju sebagai pemimpin nasional. Ia memberi kita kontras: antara politik yang berjarak, yang tinggi, yang elitis, dengan politik yang merakyat, yang dekat dengan kita, dan - yang paling penting - dia mengusung politik otentik di tingkat nasional. Lebih dari calon gubernur yang berasal dari partai, Jokowi, bolehlah disebut calon yang diusung oleh rakyat yang sudah frustasi dengan kebohongan-kebohongan. Dia simbol harapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H