Sejarah mencatat The Great Depression di Amerika Serikat menjadi awal terjadinya depresi ekonomi di berbagai belahan dunia. Krisis ini dipicu oleh kehancuran saham di Wall Street pada tahun 1929 dan diperburuk dengan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah AS. The Great Depression di Amerika Serikat hanya satu dari sekian banyak krisis yang terjadi. Hal inilah yang membuat para ekonom dan beberapa pemangku kebijakan di berbagai dunia melakukan pengkajian ulang terhadap konsep dan tujuan dari ekonomi pembangunan yang selama ini diterapkan di berbagai negara.
Ekonomi pembangunan mempunyai peran yang cukup vital sebagai indikator keberhasilan ekonomi sebuah negara, hal ini disebabkan cakupan dari ekonomi pembangunan yang komprehensif meliputi berbagai macam aspek seperti; ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Secara umum, indikator keberhasilan pembangunan berkaitan dengan aspek fisik dan material seperti pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi. PDB (Produk Domestik Bruto), Angka Kemiskinan, Ketimpangan Sosial Ekonomi dan berbagai indikator makro lainnya seringkali dianggap sebagai indikator pembangunan sebuah negara.
Jika diperhatikan, setidaknya terdapat empat kali perubahan konsep dan tujuan dari ekonomi pembangunan sejak tahun 1950 hingga saat ini. Perubahan konsep dari pembangunan ekonomi dari masa ke masa juga terlihat semakin humanis dan tidak hanya bertumpu pada aspek material saja. Di era 50an hingga 20 tahun setelahnya, tingkat keberhasilan dari pertumbuhan ekonomi di hampir seluruh negara di dunia hanya diukur dengan tingkat PDB. Sehingga sebuah negara dapat dikatakan tumbuh jika PDB mengalami peningkatan, namun problematika kemiskinan yang tidak terelakkan di beberapa negara menyebabkan penambahan beberapa faktor lain dalam mengukur keberhasilan suatu ekonomi.Â
Pada tahun 1970 PDB bukan lagi menjadi satu-satunya indikator dari keberhasilan pembangunan suatu negara, namun terdapat beberapa indikator sosial yang digunakan sebagai upaya  pengentasan kemiskinan, pengurangan jumlah pengangguran, dan tingkat kesenjangan. Secara singkat, pertumbuhan ekonomi sebagai output dari pembangunan diharapkan dapat terdistribusi baik dan merata kepada seluruh lapisan masyarakat sehingga dapat melahirkan sebuah outcome yaitu pengentasan kemiskinan. Pada tahap ini beberapa negara menggunakan indeks koefisien gini untuk mengukur keberhasilan ekonomi pada suatu negara.
Selanjutnya, sekitar tahun 1990 Sumber Daya Manusia atau Human Resources yang awalnya  bersifat pasif sebagai subyek pembangunan, dituntut aktif sebagai aktor dari pembangunan atau disebut dengan people centered development. Pada fase ini sering disinggung berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dari aspek kesehatan, pendididkan, dan pendapatan rumah tangga untuk meningkatkan indeks pembangunan manusia suatu negara. Selanjutnya munculnya krisis pangan, shortage energy, dan bencana alam mendorong faktor lingkungan turut disertakan ke dalam konsep ekonomi pembangunan untuk tujuan SDGs atau sustainable development goals. SDGs ini mulai muncul dan berkembang pada tahun 2012 dan masih digunakan hingga hari ini.
SDGs merupakan komitmen global dan nasional dalam upaya untuk menyejahterakan masyarakat mencakup 17 tujuan yaitu (1) Tanpa Kemiskinan; (2) Tanpa Kelaparan; (3) Kehidupan Sehat dan Sejahtera; (4) Pendidikan Berkualitas; (5) Kesetaraan Gender ; (6) Air Bersih dan Sanitasi Layak; (7) Energi Bersih dan Terjangkau; (8) Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi; (9) Industri, Inovasi dan Infrastruktur; (10) Berkurangnya Kesenjangan; (11) Kota dan Permukiman yang Berkelanjutan; (12) Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab; (13) Penanganan Perubahan Iklim; (14) Ekosistem Lautan; (15) Ekosistem Daratan; (16) Perdamaian, Keadilan dan Kelembagaan yang Tangguh; (17) Kemitraan untuk Mencapai Tujuan.Â
Gambaran dari perubahan dan pergeseran paradigma dari konsep ekonomi pembangunan  yang telah dipaparkan di atas, merubah paradigma dan standar dari keberhasilan ekonomi. Sehingga keberhasilan pembangunan sebuah negara tidak lagi ditinjau dari aspek materi semata seperti pendapatan nasional sebuah negara, akan tetapi juga dilihat dari bagaimana pendapatan tersebut dapat terdistribusi dengan baik serta berkonstribusi dalam mengurangi tingkat kemiskinan. Hingga hari ini, isu kemiskinan masih menjadi masalah yang tak kunjung terselesaikan dengan baik. Dalam upaya pengentasannya, indikator ekonomi secara materi yaitu pendapatan perkapita rumah tangga tidak lagi menjadi satu-satunya alat ukur yang digunakan. Namun,  aspek non materi  yang menggambarkan kesejahteraan juga turut diperhitungkan, sebagaimana HDI (Human Development Index) yang dikenalkan oleh UNDP (United Nations Development Programme). HDI atau IPM (Indeks Pembangunan Manusia) adalah alat ukur Pembangunan yang dapat menggambarkan  bagaimana penduduk sebuah negara dapat mengakses hasil pembangunan. Alat ukur pembangunan  ini mencakup tiga aspek dasar yaitu; angka harapan hidup, akses terhadap pendidikan, dan rata-rata pengeluaran rumah tangga.Â
Dalam kerangka Ekonomi Islam, aspek non materi ditunjukkan melalui Pembangunan Sumber Daya Manusia yang menjadi objek utama pembangunan sebuah negara. Dalam konsep Maqasid Syariah (Tujuan-tujuan syariat Islam), pembangunan SDM (sumber daya manusia) menjadi faktor terpenting bagi kemaslahatan publik. Kemaslahatan publik dan pengembangan SDM Â menjadi salah satu tujuan pokok maqasid syariah, yang direalisasikan melalui hukum Islam dan Mengaitkan pembangunan SDM dengan maqasid hukum Islam dapat memberikan landasan yang kokoh di dunia Islam bagi perwujudan tujuan pembangunan SDM di dunia.
Selain itu jika ditelaah, keberhasilan yang diukur berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia sangat dekat dengan kesejahteraan dari Ekonomi Pembangunan Islam yang disebut dengan istilah Falah. Lebih lanjut, jika ditinjau lebih dalam, mayoritas aspek  dalam SDGs  ini dapat menjadi perantara tercapainya 4 tujuan dari Maqhasid syariah yang menjadi landasan dari kebijakan dan tujuan dari Ekonomi Pembangunan Islam yaitu Hifdzu Nafs (Perlindungan Jiwa Raga), Hifdzul Maal (Perlindungan Harta), Hifdzul ‘Aql (Perlindungan akal), dan Hifdzu Nasl (Perlindungan Keturunan). Namun, dalam konsep falah setiap peningkatan taraf hidup masyarakat itu hendaknya disertai dengan niat dan tujuan untuk mendapat Ridho Allah SWT sebagai Tuhan yang telah menciptakan manusia, Aspek Religiusitas inilah yang luput dari konsep ekonomi pembangunan konvensional.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H