Urusan terkait perpajakan di dalam Islam telah lama diatur, bahkan sejak masa kepemimpinan Rasulullah SAW kemudian dilanjutkan pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab yang menekankan pada pajak tanah atau pajak pertanian, hal ini tentu menilik dari urgensi pajak terhadap keberlangsungan ekonomi sebuah Negara. Abu Yusuf Dalam bukunya Al Kharaj yang dituliskan pada masa pemerintahan Harun Ar Rasyid banyak menetapkan kebijakan tentang pemerintahan khususnya terkait perpajakan.Â
Diberlakukannya pembayaran pajak pada masa itu atas dasar analisis dan tinjauan beliau terhadap berbagai hal, yaitu: perlunya pengembangan infrastruktur sosial ekonomi (pembangunan jembatan, kanal, irigasi pertanian dll), demi mewujudkan keadilan serta efisiensi pada masyarakat dan pemerintah, banyaknya wilayah yang perlu dikembangkan khususnya demi meningkatkan ekonomi di bidang pertanian, yang terakhir yaitu sebagai investasi masa depan keberlangsungan negara, jaminan sosial dan sustainable development.
Pajak pertanian menjadi salah satu fokus kebijakan yang dipraktekkan pada masa kepemimpinnya sebagai Qadi al Qdah. Beliau mengatur perihal produktivitas tanah atau lahan. sebuah tanah yang diperoleh masyarakat dari hibah  yang tidak produktif atau pada masa itu disebut sebagai tanah mati mawatul ardh akan ditarik kembali oleh pemerintah apabila tidak dimanfaatkan dalam kurun waktu 3 tahun, karena produktifitas tanah akan berpengaruh pada government permanent revenue yaitu berupa kharaj atau pajak.Â
Agar tidak membebani masyarakat kebijakan penarikan pajak oleh abu yusuf hanya ditetapkan pada harta yang melebihi kebutuhan rakyat dan ditetapkan atas dasar kerelaan dan apabila lahan tersebut ditanami hanya untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarga maka, tidak ditarik pajak atasnya.
Kebijakan pemungutan pajak pada masa khalifah umar bin khattab menggunakan sistem masahah yaitu pemungutan pajak yang dihitung berdasarkan luasnya tanah. Dalam hal ini Abu Yusuf melakukan restrukturasi mekanisme jibayah (pemungutan) dari sistem masahah (pemungutan pajak berdasarkan luas tanah) menjadi sistem muqosamah yaitu pemungutan pajak yang dihitung berdasarkan produktifitas tanah.Â
Abu Yusuf berpendapat adanya restrukturasi ini dikarenakan perbedaan kondisi lahan pada masa Umar bin Khattab dan Harun Ar-Rasyid. jika pada masa Umar luas lahan produktif sangat melimpah, berbeda dengan masa Ar-Rasyid dimana luas tanah yang produktif hanya sedikit, ditambah lagi dengan adanya lahan yang tidak dapat diairi dari irigasi pemerintah.
Jjika sistem masahah diterapkan, dengan pembayaran berupa nilai dari hasil pertanian dengan realita rendahnya harga output pertanian karena terjadi oversupply, maka negara akan mendapatkan penerimaan yang sedikit dari pendapatan dalam sektor ini. Padahal sektor pertanian pada saat itu menjadi sektor yang paling dominan. Dengan jumlah revenue yang sedikit, sementara expenditure negara sangat bervariasi tentunya akan menyebabkan defisit yang mengakibatkan pemerintah menaikkan tingkat pajak (tax rate) yang akan membebani petani.
Perubahan ini merupakan refleksi dari kondisi makro ekonomi pada saat itu, yaitu dengan system ini Negara akan mendapatkan penghasilan rutin setiap panen, sistem ini juga diharapkan dapat mendorong produkifitas sektor pertanian. Selain kedua hal tersebut dengan sistem ini pun diharapkan dapat mewujudkan keadilan dan kesejahteraan dalam pengalokasian revenue, karena penerimaan Negara akan bertambah dan belanja Negara yang bervariasi pun akan tercukupi dengannya.Â
Dengan sistem muqasamah nilai pemungutan pajak bisa bertambah dan berkurang tergantung produktivitas tanah, sehingga tidak membebani masyarakat. selanjutnya status pajak juga dirubah dari sistem dzimmah (pajak perlindungan) menjadi sistem musyarakah (kerjasama antara masyarakat dengan pemerintah) dimana masyarakat menggarap tanah milik negara lalu menyetorkan pajak atas hasil pertanian dari tanah tersebut, dengan begitu produktivitas tanah akan meningkat, menjadi sumber pemasukan bagi pemerintah serta dapat memberdayakan masyarakat yang belum memiliki pekerjaan.
Sistem muqasamah terbukti telah meningkatkan penerimaan Negara pada masa Harun Ar-Rasyid dan setelahnya. Penerimaan dari kharaj menjadi penerimaan terbesar meskipun rasio pajak wajib yang harus dikeluarkan telah diturunkan dari menjadi 2/5. Pada tahun 210 H, Kharaj yang terkumpul sebanyak 7.000.000 dirham, sementara pada pemerintahan selanjutnya dibawah kepemimpinan Al-Mu'tashim, kharaj yang dikumpulkan mencapai 30 miliar dirham. Penerimaan yang melimpah pada masa itu dipergunakan untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur dan pengembangan sector industri dan pertanian demi mencapai kemaslahatan ummat.
Paparan diatas terkait kebijakan pajak oleh Abu Yusuf apabila ditarik relevansinya dengan pengelolaan pajak di Indonesia terdapat  persamaan pada Tarif pajak muqosamah sama seperti tarif pajak proporsional pada PBB, meskipun pada prakteknya terjadi  perbedaan yaitu bahwa kharaj hanya untuk pajak pertanian dan diberlakukan untuk kaum kafir yang kalah dalam peperangan dan memilih untuk tidak masuk Islam sedangkan bagi ummat Muslim dibebankan kepada mereka zakat pertanian.Â