Pop! Sebuah kotak kecil mendadak muncul di layar komputer. Seorang editor yang sudah lama tak mengontak menyapa saya di kotak chatting Facebook.
“Hi. Kemarin katanya protes soal terjemahan ya?”
Beberapa pekan sebelumnya saya memang mengeluhkan sebuah novel ke penerbitnya karena keasyikan membaca terganggu di beberapa bagian karena penerjemahan yang kurang bersih. Biasanya kalau terbentur maka saya coba menerka kata atau kalimatnya dalam bahasa Inggris. Nah kali itu saya sama sekali tak bisa membayangkan versi bahasa Inggris dari novel terjemahan itu dan akhirnya ada pragraf-paragraf yang terpaksa saya lompati karena tak bisa mencerna maksud kalimat-kalimatnya.
Si editor bercerita ia harus mati-matian mengedit hasil naskah terjemahan yang diterimanya. “Sama aja kayak nerjemahin ulang,” ujarnya.
Buku terjemahan baik fiksi maupun nonfiksi memang sangat bergantung pada kualitas terjemahannya. Berkali-kali saya mendengar keluhan pembaca soal buruknya terjemahan sampai-sampai memilih menabung dan membeli versi bahasa Inggris dari buku itu.
Masalah terbesar, menurut saya, penerjemah kadang hanya mengalihbahasakan naskah tanpa mau kerja ekstra mengecek terjemahannya. Seorang kawan pernah mengeluhkan penerjemah yang ia sewa seenaknya menerjemahkan stadiun markas klub sepakbola Manchester United, "Old Trafford", menjadi "Trafford Tua". Ya ampun!
Saya pun menemukan dalam terjemahan novel bestseller internasional terdapat kalimat “Mana aura institusinya?”. Penerjemahnya ringan saja mengalihbahasakan kata “institution” menjadi “institusi” tanpa menangkap kata tersebut sebenarnya punya makna konotasi.
Kalimat itu disampaikan tokoh novel yang ketika tiba di sekolah barunya. Beberapa sekolah di Amerika Serikat punya pengamanan ekstra ketat termasuk memasang detektor logam di pintu masuk demi mencegah ada siswa yang membawa senjata. Karenanya sekolah sudah terasa seperti penjara dimana hotel prodeo sering diistilahkan “institution”. Kekeliruan itu sebenarnya bisa diatasi semudah tanya paman Google, sering menonton film, atau ya banyak membaca buku.
Parahnya kesalahan itu bisa lolos dan sampai ke tangan pembaca. Penerbit bisa berkilah namun pembaca tak pernah peduli akan prosesnya dan cuma mau tahu hasilnya.
Penerbit mestinya mencontoh surat kabar atau majalah yang memiliki proses penyuntingan naskah yang panjang demi menjamin kualitas hasil tulisan. Berita yang ditulis reporter baru sampai di tangan pembaca setelah melewati paling tidak dua kali proses pengeditan, lalu masuk ke editor bahasa, lantas dibaca lagi secara berlapis oleh redaktur pelaksana sampai pemimpin redaksi.
Beberapa penerbit punya mekanisme mirip ini. Naskah terjemahan melewati editor dan juga editor bahasa dan masih ada proof reader.