Jalanan panjang terlewati. Dimulai dari pusat pemberhentian bus melewati masjid terminal dan menuju ke dalam pasar pusat oleh-oleh. Jalan kami beriringan, setidaknya jalan dua atau tiga orang sebaris. Keluar dari pusat jajanan, puluhan bapak ojek menghampiri kami menawarkan jasanya sebagai pengantar menuju tempat tujuan. Aku hanya tersenyum sambil berlalu, menolak dengan halus tawaran beliau-beliau. Tekadku bulat. Benar-benar ingin merasakan nikmatnya jalan kaki di salah satu kota bagian utara propinsi Jawa Tengah ini. Terlebih kami tidak sendiri. Sekitar 800an peserta didik kami melakukan hal yang sama sepertiku, berjalan kaki sampai tempat tujuan.
Sekitar dua kilometer kami berjalan, bangunan toleransi tiga agama akhirnya terlihat dengan jelas di depan mataku. Bangunan yang menjadi salah satu tujuan wisata religi kami kali ini. Aku bersama anak-anak memasuki masjid melewati gapura yang bernama gapura Bentar. Hal yang pertama kulakukan ialah meletakkan mukena dan mencari tempat wudhu untuk segera melakukan ibadah shalat Dzuhur serta menanti salat Asar.
Sepanjang menuju tempat wudhu putri yang letaknya kalau tidak salah di sebelah barat, aku terkagum-kagum dengan arsitektur bangunan yang benar-benar masih menjunjung tinggi kearifan lokal. Tumpukan bata merah kecoklatan seolah menjadi ciri khas bangunan ini. Bahkan, air wudhunya pun sungguh sangat menyegarkan. Masya Allah. Tak menyesal aku memutuskan untuk berjalan kaki sejauh ini menuju salah satu peninggalan Islam di Indonesia, masjid Menara Kudus.
Kota Kudus sendiri pernah menjadi pusat perkembangan agama Islam di tanah air. Kisah perjuangan para penyebarnya abadi terdengar hingga kini. Hal ini menjadi salah satu pengingat bagi kita yang masih merasakan indahnya dunia supaya jangan lelah berbuat kebaikan dan menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman.
Kota ini tersohor menjadi salah satu destinasi wisata religi di tanah air hingga sekarang. Kota yang terletak di wilayah utara Jawa Tengah ini sarat akan kisah para tokoh terdahulu dalam menyebarkan Islam di nusantara, di antaranya yakni Sunan Kudus dan Sunan Muria. Keduanya merupakan bagian dari jajaran wali sanga, sembilan wali penyebar agama Islam yang disegani di Pulau Jawa.
Ketika berada di kota Kudus pastikan tidak sampai terlewat menelusuri jejak sejarahnya satu per satu. Tidak lengkap rasanya apabila ke kota Kudus namun tidak mampir ke masjid Menara Kudus. Hal ini dikarenakan Kudus begitu istimewa yang menyimbolkan bahwa syiar Islam berwujud dalam berbagai bentuk.
Menara Kudus merupakan bagian dari kompleks masjid kuno Al Aqsha yang dahulu didirikan oleh Sunan Kudus pada tahun 1594 Masehi. Hal yang paling unik dari masjid ini ialah sudah jelas pada arsitektur bangunannya. Perpaduan karakteristik Hindu- Budha dengan Islam membuat bangunan masjid ini terlihat mirip sebuah candi. Kata seorang warga sekitar, di bagian puncak menara  tersimpan lebih banyak dokumentasi berbagai cerita.
Pada saat Sunan Kudus menyebarkan syiar Islam di Kudus, beliau tidak menggunakan kekerasan tetapi lebih banyak menggunakan pendekatan-pendekatan budaya. Sebagai contoh beliau membangun masjid dengan memanfaatkan arsitektur lokal di mana di bagian sebelah timur masjid, terdapat menara yang berfungsi untuk mengumandangkan adzan. Para penyebar agama Islam menggunakan keraifan lokal atau local wisdom supaya Islam mudah diterima oleh masyarakat nusantara dengan budaya yang beraneka ragam.
Mereka memperkenalkan Islam pada masyarakat Hindu pada waktu itu melalui bangunan masjid yang mereka dirikan bersama. Â Atap masjid berbentuk limas tersusun rapi seolah-olah menyampaikan pada umat Hindu bahwa dewa-dewa tidak hanya di gunung saja namun juga ada di dalam masjid. Penjelasan ini disampaikan supaya umat Hindu pada saat itu berkenan memasuki masjid dalam rangka memperkenalkan Allah dan mengajak beribadah kepada Allah.
Berdasarkan uraian tersebut, kita teringat salah satu nasihat yang Allah wahyukan dalam Al Quran bahwa sejatinya Allah mengutus Nabi Muhammad untuk menyebarkan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.
"Dan kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam" (Q.S. Â Al Anbiya: 107)
Hal ini yang menjadi pedoman walisanga untuk mengenalkan ajaran Islam, mengenalkan Nabi Muhammad, dan mengenalkan Tuhan pencipta alam semesta, Allah SWT. Sunan Kudus bersama waliyulloh lainnya mengajarkan Islam sebagai agama yang penuh kedamaian dan keselamatan untuk seluruh umat. Dengan demikian, kita menjadi semakin paham mengapa terdapat banyak cara tradisi nusantara berkaitan dengan bagaimana warga masyarakat memahami Islam. Tak lain karena pada masa terdahulu pendakwah menyampaikan Islam melalui pendekatan budaya sesuai dengan daerahnya masing-masing. Serangkaian cara untuk mengajarkan Islam penuh kedamaian.
Seperti contoh berikutnya, Sunan Kudus sengaja menghindari makanan olahan daging sapi sebagai bentuk  menghormati umat Hindu yang sudah terlebih dahulu tinggal di Kudus. Masyarakat sekitar masih menganggap sapi sebagai salah satu hewan suci. Sebagai bentuk toleransi, Sunan Kudus meminta warga masyarakat mengganti dengan daging  kerbau.
Berdasarkan peninggalannya, pusat kota Kudus pada masa kesunanan berada pada wilayah masjid Menara yang kemudian dipindahkan oleh Portugis  ke wilayah Demakan.  Peninggalannya ada yang disebut dengan gapura Bentar dan gapura Padureksan. Perbedaan nyata keduanya ialah bahwa pada gapura Bentar sisi bagian atas antara gapura bagian kanan dan kiri tidak menyatu dan terkesan pecah, sedangkan pada gapura Padureksan bagian atas gapura  menyatu dan menaungi jalan di bawahnya.
Arsitektur Hindu Jawa dengan Islam juga terdapat pada tata ruang berlapis masjid Menara Kudus. Ciri khas akulturasi lainnya terdapat pada  pancuran di tempat wudhu pria. pancuran dengan kepala arca yang berjumlah delapan buah ini akrab dengan falsafah Budha yang berbunyi Astha Sang Hikamarga yang artinya delapan jalan utama.
Pada bagian dalam masjid terdapat gapura Padureksan yang telah mengalami perombakan supaya masjid terlihat lebih luas sehingga mampu menampung jumlah jamaah lebih banyak. Di antara tumpang gapura terdapat enkripsi huruf Arab yang kurang lebih diartikan pintu ini dibuat oleh penghulu tambak haji pada tahun 1214 H.
Selain arsitektur gapura, bentuk mihrab masjid Menara Kudus masih dipertahankan seperti bentuk aslinya yakni di atas mihrab masih terdapat batu prasasti. Adapun prasasti tersebut memiliki empat poin penting yakni
1. nama masjid merupakan masjid Al Aqsha
2. nama tempat di mana masjid ini didirikan yakni Al Quds yang sekarang lebih dikenal dengan Kudus
3. tanggal pendirian masjid yakni 19 Rajab 956 H atau 24 Agustus 1549 M.
4. siapa yang mendirikan masjid tersebut yakni Ja'far Shodiq atau Sunan Kudus.
Batu bertuliskan kaligrafi Arab kuno ini diyakini sebagai ijazah wilayah kepemilikan Sunan Kudus yang diberikan oleh amir Baitul Maqdis di Palestina.
Di sebelah barat masjid terdapat makam Sunan Kudus beserta para keluarga dan orang-orang yang turut andil dalam penyebaran agama Islam di nusantara khususnya wilayah Kudus dan sekitarnya. Apabila kita mampir ke masjid Menara Kudus, setidaknya kita sempatkan untuk melakukan ziarah menuju makam beliau-beliau para wali yang pernah mengenalkan dan memperjuangkan syiar Islam di nusantara.
Sepanjang perjalanan menuju terminal Sunan Kudus, aku berpikir tentang begitu indahnya toleransi antar umat beragam di zaman dahulu. Akulturasi budaya memberi makna bahwa kerukunan agama sangat dijunjung tinggi oleh para leluhur terdahulu. Apabila dibandingkan dengan kondisi Indonesia saat ini, sesama muslim saja terkadang masih terjadi perbedaan pendapat di luar perbedaan akidah yang berujung pertikaian bahkan saling menyalahkan dan merasa diri paling benar. Apakah generasi saat ini sudah semakin egosi? Atau apakah zaman memang benar-benar sudah semakin tua?
Sabtu, 08 April 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H