Koentjaraningrat (1923-1999), mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka hidup bersama (masyarakat) yang menjadi milik manusia melalui proses belajar. Hal yang sedana juga dipahami oleh C. Kluckhohn bahwa kebudayaan adalah pola-pola kehidupan yang diciptakan dalam perjalanan sejarah, eksplisit dan implisit, rasional dan irasional yang terwujud pada tiap waktu sebagai pedoman yang berpotensi bagi laku perbuatan manusia. Sementara itu Frans Boaz mengatakan bahwa Kebudayaan adalah gabungan dari seluruh manisfestasi kebiasaan sosial dari suatu masyarakat, reaksi-reaksi individual atas pengaruh dari kebisaan kelompok dimana manusia hidup, dan produksi dari aktivitas manusia yang ditentukan oleh kebiasaan mereka. Dari defenisi ketiga antropolog di atas cukup memberi kita pemahaman dan juga gambaran tentang apa itu kebudayaan sesungguhnya, bahwa kebudayaan adalah suatu pola kebiasaan yang disepakati dalam suatu konteks oleh karena konteks itu memungkinkan atau bahkan menghendakinya. Dengan kata lain, suatu kebiasaan yang dikatakan sebagai budaya itu, dia hanya bisa ada dan bertahan sejauh dia masih bisa menjawab konteks. Hal ini sejalan dengan fungsi dari kebudayaan itu sendiri, yakni untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Adanya kebutuhan hidup mendorong manusia untuk melakukan berbagai tindakan dalam rangka pemenuhan kebutuhan itu. Dalam hal ini, menurut Ashley Montagu, kebudayaan mencerminkan tanggapan manusia terhadap kebutuhan dasar hidupnya. Fungsi utama dari kebudayaan adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Kalau memang demikian, bahwa fungsi kebudayaan itu untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, maka kebudayaan itu berubah dan berkembang seiring dengan perubahan dan perkembangan kebutuhan manusia itu sendiri. Artinya, kalau manusia itu berkembang, mau tidak mau kebudayaan itu harus berkembang. Mengapa? Karena fungsi kebudayaan adalah untuk memenuhi atau melayani kebutuhan hidup manusia. Dari sepenggal penjelasan diatas dapat membawa kita untuk melihat kawin tangkap dalam perspektif apa ? mari kita berpikir sejenak.
Kawin tangkap adalah sebuah tradisi yang masih dilakukan di Pulau Sumba boleh jadi hal tersebut kita melihatnya sebagai kebiasaan atau budaya yang sudah ada secara turun temurun. Secara garis besar keberadaan tradisi kawin tangkap/Palai Iddi Mawinni di wanukaka kabupaten sumba barat sudah ada sebagai warisan dari nenek moyang orang wanukaka, sehingga secara garis besar kawin tangkap atau di wanukaka lebih di kenal dengan bawa lari perempuan ( Palai iddi Mawinni ) justru melahirkan tradisi Pahola ( Pasola ) di lihat dari kisah Cinta segitiga antara “ Rabbu Kaba istri dari Ubbu Dulla Yang Bawa Lari Oleh Tedda Gai Parona ke Kodi.”.
Sehingga, Kebiasaan kawin tangkap yang hadir di wanukaka sebagai tradisi masyarakat untuk masa sekarang justru mengikuti kebiasaan Nenek Moyang ( Keri Bepa Rutu Wihi Jara ). Jadi tidak di ketahui secara pasti sejarah keberadaan kawin tangkap akan tetapi sudah ada sejak dulu kala di wanukaka, dimana kawin tangkap adalah peninggalan para pendahulu wanukaka dan hanya di teruskan oleh generasi wanukaka pada beberapa dekade terakhir dan saat ini dimana sudah ada perkembangan yang signifikan tidak ada lagi yang melaksanakan kebiasaan ini.
Mengenal makna sekarang Kawin Tangkap tidak di kenal dalam proses Adat. Yang di kenal dalam proses budaya orang wanukaka adalah Palai idi mawinni (bawa lari perempuan). Sebab kalimat kawin tangkap merupakan kalimat yang baru di dengar saat ini karena keberadaan para Aktivis HAM dan lain sebagainya. Sejarah keberadaan kawin tangkap secara garis besar yaitu karena mengejar Popularitas karena berasal dari kaum berada & Kesiapan Untuk Membayar Kayalla atau membayar mahar atau denda adat, justru Proses adat tidak Panjang atau boleh dikatakan mempersingkat Prosesi adat kawin mawin, Kesepakatan mempelai pria dan wanita tapi tidak di setujui oleh orangtua, Sudah di jodohkan oleh orang tua, akan tetapi wanita tidak menyukai sip ria dan Paling inti adanya kesiapan secara materi yaitu belis karena akan ada suatu proses “woangu hadekang : kasih satu kali atau membayar satu kali belis.”
Dalam kebiasaan masyarakat wanukaka dimana dalam tradisi di bagi menjadi dua makna,sehingga akan muncul dua syair adat yang berbeda yaitu :Pertama,“Kappa-Na-Nya Kuala Keri Awang, Kodu-Na-Nya Woya Lai Mananga : disambar oleh seekor ayam elang dari ujung langit disambar buaya di arus muara ( atau dalam bentuk pendek kappa kuala / kodu woya, digunakan sebagai metafora untuk pernikahan dengan membawa lari perempuan, pa-appa-mawini atau kedde ngiddi).” Akan tetapi syair ini lebih mengarah pada perempuan yang kawin mengikuti laki – laki karena tidak ada persetujuan dari orangtua dan Kedua yakni “ Jara Janggal – Ikit Tarik : elang menukik,kuda perebutan ( pernikahan dengan kawin lari di mana sekelompok besar suami pendukung mengawal pasangan itu. digunakan sebagai metafora untuk pernikahan dengan membawa lari perempuan, pa-appa-mawini atau kedde ngiddi ).”
Melihat dari dua makna Palai Iddi Mawinni diatas maka kita akan berbicara pada bagaimana kesetaraan Gender pada Proses adat ini. Proses ini tetap akan melihat bagaimana penghargaan terhadap perempuan yang di bawa lari oleh si laki – laki yaitu sebagai berikut Pertama, Saat proses Palai Iddi Mawinni harus mulai dari tempat tinggal si perempuan, bukan di padang, sawah dan lain sebagainya. Kedua, Saat proses ini perempuan harus di bawah ke rumah kampung besar ( Uma Praingu Bakul ) dan di sambut bagaikan ratu seperti Pemukulan Gong ( Papoiningu Katala ) dan di cuci mukanya dengan Air Tempayan ( wei Pajalu ) sehingga Mendapatkan weimaringu weimalala ( berkat dan damai sejahtera ). Dan Ketiga, yakni Tetap akan di bayarkan belis atau mahar perkawinan dari perempuan tersebut dengan pos – pos hewan yang sudah di tentukan dan tidak menngikuti proses dari awal seperti Manu Herang – Ahu Detang ( ayam hinggap – anjing naik : masuk minta ke keluarga perempuan ) akan tetapi pembayaran belis hanya satu kali tahapan dengan pembagian Pos-Pos hewan yaitu untuk wei wira da mawara – wei mata dama doiri ( Ingus yang tak kering – air mata yang tak di hapuskan : kesedihan orang tua ) sebagai symbol tanda permintaan maaf di berikan hewan tanda menghapuskan kesedihan orang tua wanita sehingga dari laki – laki akan keluarkaan bahasa permintaan maaf dengan bunyi seperti ini “ Da huikimanaga Inna gu – da Kayeyakmanaga Ama gu ( bukan suruhan ibuku – bukan paksaan bapakku ) : bukan paksaan orangtua ”, untuk hewan “ kaku tada ita mata nya na Anagu – kaku weha ya na Lobur ( untuk mengenali anak saya – untuk membuka selimut kalian ), untuk hewan “ Paherang Inna – Ama ( memperkenalkan orangtua ), dan terakhir itu untuk hewan “ Ndadang Lunang – Luning Tappu : penyelesaiaan adat ”.
Maka oleh karena itu, dari saya sebagai penulis ada hal atau ada pergeseran makna budaya atau kebiasaan masyarakat masa kini yang justru berdampak pada kekerasan perempuan serta pelanggaran hak individual daripada umat manusia. Apakah itu hal pergeseran budaya itu dikarenakan oleh perkembangan IPTEK atau sebaliknya ?, hal inilah yang perlu dicermati secara bersama-sama dari setiap warga negara yang baik apakah dari Komunitas, LSM perempuan dan anak, aktivis HAM dan juga para Aktivis ORMAWA Intra kampus serta Ekstra kampus. Sehingga tidak ada informasi yang terdistorsi atau multitafsir dalam penyelesaian tindak pidana bertopengkan kebudayaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H