Apakah kamu  masih ingat tentang tatapanku waktu di awal semester? Perempuan berwajah ceria dengan pipi yang menarik perhatian, bermata sipit dengan rambut ombak yang kerap kali  berkata kalau aku laki-laki yang plim-plan. Seperti itulah kamu menyanggah kepribadianku waktu kita tidak saling berkenalan lebih dekat.
Katakan padaku bagaimana caranya menolak cinta kamu di masa lalu? Kehadiranmu di ruang kelas kuliah membuatku dilema di sepanjang hari-hariku setelah memaknai tatapan pertama kita. Waktu itu, segudang keberanianku untuk bisa mendapatkan kontak WhatsApp-mu. Duduk di belakangku di atas kursi yang unik. Lalu dengan egois kamu ingin menghindar karena sikap cerobohku.
Melalui salah satu jejaring sosial, kita saling berkenalan. Bercerita banyak hal. Anehnya  kamu  datang dengan segudang cerita yang masih jelas menghiasi kehidupanmu dengan kekasih lamamu di masa itu. Aku tak pernah memedulikan itu. Sebahagia apa pun kamu di masa lalu sebelum aku ada, aku akan tetap berada pada egoku. Itu sepertinya sudah direncanakan oleh Yang Maha Kuasa.
Di ruangan Rosmalen aku bertemu denganmu. Kamu tak akan bisa mengenaliku jika aku tidak menyapamu terlebih dulu. Kamu  tersentak kaget. Kamu menyesal  dan memberi senyuman sinis padaku. Senyuman sinis itu tak bisa ku lupakan. Terkadang aku bertanya kapan  kamu akan tersenyum untukku tanpa keraguan?  Perempuan yang sudah dari dulu aku idam-idamkan kini ada di hadapanku. Wajah manis dengan warna kulit hitam, rambutmu hitam lebat, lirikan mata kamu pamerkan keindahan. Tentu saja menarik perhatian.
Perlahan kita saling memberi kabar di sosial media. Tanpa ragu, dengan beraninya kamu bertanya tentang kehidupanku waktu itu. Hatiku berdetak kencang ketika mendengar itu. Kamu juga perlu tahu, kerinduanku akan sosokmu sudah hampir 5 tahun. Ada banyak perempuan yang mendekatiku, tapi tak sekalipun mereka berhasil membuatku jatuh hati. Lebih parah lagi, ada perempuan yang lengket seperti  magnet denganku. Tetap saja aku tidak tertarik. Sangat sulit bagiku untuk jatuh cinta.  Tapi, di awal semester itu cinta telah datang padaku tanpa direncanakan. Memang benar, status kita masih sahabatan, tapi  Ingin sekali rasanya aku memelukmu dan bilang "Aku mencintaimu sejak pertama kali mata kita saling bertatapan". Namun aku perlu menempatkan diriku dengan baik. Kamu masih mempunyai kehidupan sendiri. Aku tidak berhak untuk menodai kebahagiaanmu.
Kebencian  dan cintaku berada di antara jalan menuju  surga dan neraka. Aku suka melihat kamu tersenyum karena ulah konyolku. Tapi, aku benci melihat postingan mesra hangatmu dengan laki-laki yang tak begitu aku suka berada di dekat kamu.  Andai kamu tahu bagaimana rasa benci dan bahagia ini sebagai oleh-oleh yang kamu suguhkan semakin membuat aku lemah tak berdaya untuk menunggu.
Pernah sekali kita bergurau dan tawa riang di taman kota dekat Kantor Bupati Manggarai, tak sedikit pertanyaan yang kamu lontarkan yang membuat ku tak beretika untuk menjawabnya. "Siapa pacarmu? Dari mana asalnya? Berapa lama kalian berpacaran? Sejujurnya bagiku itu adalah pertanyaan konyol. Sayangnya kamu tidak pernah tahu kalau aku sedang menunggumu. Aneh. Dengan berbagai macam pertanyaanmu membuat aku berpikir jika kamu cocok menjadi wartawan. Suka bertanya-tanya.
Bukannya aku tidak mau untuk berpacaran. Perlu kamu tahu, sebelum bertemu denganmu saat itu aku sudah tidak bisa mengenal apa itu cinta yang sesungguhnya. Bagiku, cinta itu tak pernah ada. Sulit sekali untuk menemukannya.  Tapi, aku juga tahu bahwa bukanlah hal gampang untuk bisa mencari cinta seperti cintaku padamu. Kenyataannya aku selalu gagal dalam bercinta. Banyak orang  yang mengataiku laki-laki  bodoh karena pilih-pilih perempuan. Tanpa mereka tahu bahwa aku berusaha keras mencari sosok perempuan yang tidak mencintaiku, tetapi aku sendiri yang akan membuatnya mencintai aku.
Waktu itu aku sendiri sudah tidak bisa membedakan mana rasa cinta dan mana rasa benci. Sebab, kamu selalu memperlakukan aku sebagai terdakwa yang terus-terusan  disalahkan. Mundur Salah, maju juga salah. Padahal setiap hari kamu memberiku sedikit senyuman. Senyuman itu ku anggap sebagai kehidupan. Sementara kamu, begitu cerobohnya membicarakan kebahagiaanmu di atas kekagumanku. Mungkin hingga saat ini kamu tidak pernah tahu kalau aku menyimpan harap setelah kehadiranmu.
Saat kita bergenggaman tangan waktu itu, tak bisa dielakkan lagi betapa bahagianya aku. Coba kamu bayangkan betapa sulitnya aku berdamai dengan rasa cinta dan benciku  yang terus-terusan mempersalahkanku. Semua isi pikiranku tentang kamu tak ada yang bisa didefinisikan. Namun aku tak pernah peduli karena yang aku tahu hanya mencintaimu dan berusaha menyenangkan hatimu.
Sekarang mungkin semuanya sudah tidak berarti apa-apa buatmu. Bahkan untuk mengulang kisah mengagumi seperti dulu pun rasanya hatimu tak terpanggil lagi. Aku merasa nyaman apabila diam-diam aku kagum. Kamu tahu? Jika dulu aku maju selangkah saja, aku tidak tahu seperti apa dunia kita.
Namun, secara tiba-tiba semuanya  berubah. Wajah yang cerah nan ceria nampak menjadi letih, lesu, lemas, dan bingung. Kamu mengira akulah penyebab dari semua kesialanmu atas musibah hari itu. Entah apa yang ada dipikirkanmu? Aku kau salahkan. Keluargamu membenciku. Sosial mediaku di blokir. Apa yang bisa aku lakukan untuk bisa memastikan apakah kamu baik-baik saja? Menanyakan tentang kabar saja susah.
Seandainya kamu tidak menyuruhku cepat-cepat datang, mungkin aku masih bisa bernafas lega, mungkin aku bisa tetap menjadi pengagum rahasia, memuja dalam doa secara diam-diam. Kata "maaf" darimu ku anggap tudinganmu. Kata-kata maaf itu seakan meremukkan persendian-persendianku. Waktu itu jiwa dan ragaku mati suri.
Entah bagaimana saat itu aku berusaha menutupi segala perih dari duri yang kamu tancapkan ke dada ini. Mungkin karena ketidakberuntunganku, hingga kamu harus buru-buru mengambil keputusan dan meninggalkan aku seorang diri. Tak ada persahabatan. Tak ada canda tawa. Tapi, percayalah aku pun tak bisa membantumu dalam menghadapi problem kesialanmu saat itu.
Dulu aku pernah berikrar dan meminta pada Tuhan Yang Maha Esa akan  memperjuangkan rasa dalam diamku meski banyak perbedaan, rintangan yang tak tentu arah. Namun keteguhan hati dan rasa sayangmu tidak lebih tipis dari kertas putih tak berisi coretan tinta yang membuatku bertekuk lutut dan takluk dengan keputusanmu untuk mengakhiri hubungan kita. Setelah perpisahan kita aku bagaikan kota tua yang dihujani badai. Tiada penghuni dalam hati. Bagaikan baterai radio yang sudah karatan dan tidak berfungsi lagi. Kamu benar-benar tidak peduli lagi pada serpihan-serpihan perasaanku. Ah... mungkin inilah sebuah kutukan atas kesalahanku karena telah berani mengambil langkah untuk maju menggapaimu.
Jika aku bisa bertanya, salahku apa? Bukankah lebih awal kamu memberi ruang untukku bisa berlabuh? Â Di situlah kebencianku padamu. Saking gembiranya aku menyambut kedatanganmu untuk kedua kalinya, tak sedikit kau berikan duka yang teramat dalam untukku. Bahkan Aku relakan waktuku untuk bisa bersamamu meski harus meninggalkan segala rutinitasku di berbagai organisasi-organisasi waktu itu. Dengan letih dan rasa lelah menggerogoti tubuhku. Padahal bukan senyum dan kata maafmu yang aku butuhkan. Tapi kemerdekaan dari kekagumanku. Pantaslah jika aku berubah sikap kepadamu. Wajah kusam, cuek, dan merasa bodoh amat dengan semua tentang kita. Aku ucapkan terima kasih yang cukup buatmu untuk pelampiasan waktu dan pengorbananmu untuk pertemuan kita. Walau hanya sementara.
Dari pada Aku harus melihat semua wajah sedihmu dan obrolan yang tak jelas di sosial media lebih baik tak usah lagi  kamu datang ke kota tua  ini. Buang-buang waktu saja.
Waktu itu aku  tidak lagi  mengharapkan pertemuan kita. Bila Tuhan menakdirkan kita bertemu itupun kita sudah menempuh jalan sendiri-sendiri. Semuanya terserah kamu, aku sudah tidak peduli lagi. Tak ada lagi cerita tentang pengagum rahasia. Tak ada lagi coretan puisi-puisi indah tentang kita. Tak ada lagi tatapan mewakili segalanya. Kepergianmu tanpa syarat seakan menjadi jawaban kalau kamu adalah perempuan tak beretika yang takut untuk mempertahankan aku. Tentu sekarang kamu sudah bahagia di sana, bersama kekasihmu. Demi Tuhan aku tidak ingin hubungan di antara kita di dunia ini akan berubah menjadi permusuhan pada hari kiamat nanti. Sekarang aku ikhlas dan sudah memaafkanmu. Karena, Aku Mencintaimu dengan hatiku. Yang tersisa hanyalah aku. Laki-laki yang disuguhkan kesepian dari waktu ke waktu hingga akhirnya aku akan menjadi laki-laki yang tidak akan mencari tahu apa itu cinta sesungguhnya.
Terima kasih untukmu karena telah memberi warna pada kehidupanku. Tapi, ketahuilah kedatanganmu saat itu adalah kenangan terakhir di sepanjang perjalananku di kota tua  ini.
Ruteng, 15 Juni 2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H