Mohon tunggu...
Oktavianti Pertiwi
Oktavianti Pertiwi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Sosiologi

Fakultas Ilmu Sosial - Universitas Negeri Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Dramaturgi: Dua Wajah Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap 12 Santri di Bandung

26 Desember 2021   11:00 Diperbarui: 26 Desember 2021   11:17 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Catatan Tahunan Komnas Perempuan menunjukkan tingkat kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Komnas Perempuan merupakan wadah untuk menegakkan hak asasi perempuan Indonesia. Berdasarkan Catatan Tahunan (CaTahu) Komnas Perempuan pada tahun 2020, terjadi peningkatan data pengaduan secara langsung dari korban kekerasan. Komnas Perempuan menerima pengaduan secara langsung sebanyak  2.389 kasus dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu 1.419 kasus. Pengaduan kekerasannya pun beragam, mulai dari kekerasan terhadap perempuan dalam ranah pribadi, ranah publik, dan negara.


Kekerasan terhadap perempuan dalam ranah publik mencakup salah satunya kekerasan seksual. Kasus kekerasan seksual pada tahun 2020 yang bersumber dari data pengaduan secara langsung Catatan Tahunan Komnas Perempuan, yaitu sebanyak 590 kasus. Selain data tersebut, media massa online dan media sosial juga menyumbangkan informasi mengenai kasus kekerasan seksual di masa sekarang ini. Hal ini menunjukkan adanya perkembangan teknologi yang semakin pesat.


Belum lama ini terdapat berita tentang kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur. Berita tersebut berawal dari media sosial, yaitu Twitter tepatnya pada akun Nongandah pada 7 Desemeber 2021 yang menginfokan kasus kekerasan seksual terhadap 12 santri di pondok pesantren daerah Bandung. Kekerasan seksual tersebut dilakukan oleh pemilik pondok pesantren, yaitu Herry Wirawan. Ia melakukan pemerkosaan kepada 12 santrinya yang rentang usianya 13-16 tahun dan diketahui 8 santri telah hamil. Kejadian ini berlangsung dari tahun 2016 hingga 2021.


Dari kasus kekerasan seksual tersebut, kebutuhan seksual adalah naluri manusia yang dapat dikendalikan ataupun dapat lepas kendali. Hal tersebut diungkapkan oleh Sigmund Freud dengan teori psikoanalisanya. Berarti dalam hal ini, pelaku tidak dapat mengendalikan hawa nafsunya.


Secara sosiologi, pelaku di kasus tersebut dipandang menerapkan dramaturgi dalam masyarakat. Erving Goffman dengan dramaturginya menjelaskan bahwa masyarakat berinteraksi melalui panggung sandiwara dengan menggunakan jalan cerita yang telah ditentukan. Dalam dramaturgi terdapat dua konsep, yaitu back stage dan front stage. Back stage dalam konsep ini adalah ruang di mana sifat asli seseorang ditunjukkan. Sedangkan, front stage menampilkan citra baik dirinya kepada masyarakat. Dalam teori Dramaturgi menjelaskan bahwa identitas manusia tidak stabil. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain. Disinilah dramaturgi masuk, bagaimana individu menguasai interaksi tersebut. Manusia merupakan aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui "pertunjukan dramanya sendiri". Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor drama kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Manusia mempersiapkan kelengkapan pertunjukkan, seperti memperhitungkan setting, kostum, penggunakan kata (dialog) dan tindakan non verbal lain, hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan.
Jika dikaitkan dengan konsep teori dramaturgi, pelaku pemerkosaan kepada 12 santri ini ketika berinteraksi dengan guru-guru, santri, orang tua santri, dan sebagainya menampilkan citra baik sesuai dengan peran dan statusnya dia sebagai pemilik pondok pesantren. Status yang ia miliki sebagai pemilik pondok pesantren dan mengajarkan ngaji kepada santri membuat citra baik dari pandangan setiap individu di pondok pesantren tersebut. Hal ini dalam teori dramaturgi adalah front stage. Front stage di sini adalah berusaha untuk memainkan peran kita sebaik-baiknya agar penonton memahami tujuan dari perilaku ia.  


Sementara itu, wajah utama yang sebenarnya ia tunjukkan di ruang back stage. Di mana back stage merupakan keadaan di mana setiap individu berada di belakang panggung, dengan kondisi bahwa tidak ada penonton. Sehingga setiap individu dapat berperilaku bebas tanpa mempedulikan plot perilaku bagaimana yang harus dibawakan. Pada stage ini biasanya individu dapat menunjukkan sifat dan perilaku sebenarnya kepada orang terdekat saja dan di tempat yang jauh dari publik. Kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh pemilik pondok pesantren terhadap 12 santri merupakan contoh dari konsep back stage yang dilakukan oleh pemilik pondok pesantren. Di depan umum menampilkan sifat dan perilaku baik, namun di belakang terdapat sifat dan perilaku keji. Dari penjelasan mengenai konsep dramaturgi, jadi setiap individu dalam berinteraksi sosial pasti memiliki "dua wajah". Contohnya, seperti pelaku pemerkosaan kepada 12 santri yang berkedok dalam statusnya yang dipandang tinggi oleh masyarakat umum, namun memiliki perilaku dan sifat 'keji'.


Kekerasan seksual membawa pengaruh buruk bagi korban. Dari segi psikis, korban mengalami traumatis. Menurut Cavanagh (Mental Health Channel,2004), trauma merupakan suatu luka atau perasaan sakit "berat" akibat suatu kejadian "luar bisa" yang menimpa sesorang, secara langsung maupun tidak langsung, baik luka fisik maupun psikis atau kombinasi dari keduanya. Trauma menjadi dampak kekerasan seksual yang umum dalam masyarakat.

 Selain dari segi psikis, korban juga mengalami dampak dari segi sosial. Dari segi sosial, korban merasa malu dengan peristiwa kelam yang mereka alami sehingga mereka enggan berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang-orang di lingkungan sekitarnya. Korban menutup diri dari lingkungannya. Masa depan korban dipertaruhkan, jika tidak ada penanganan dalam mengatasi dampak tersebut.
Penanganan kasus kekerasan seksual tersebut, perlu adanya sinergi antara keluarga, masyarakat, dan negara. Peran keluarga dalam penanganan kekerasan seksual adalah memberi dukungan sosial dan emosional yang mana korban akan merasa disayangi, didukung, dipercaya, dan dicintai. Keluarga juga perlu meningkatkan komunikasi terhadap korban agar korban dapat terbuka dan percaya kepada keluarga. Selain itu, keluarga harus mendukung dan menemani korban dalam proses pengaduan kepada lembaga anti kekerasan seksual dan pihak berwajib.


Peran masyarakat dalam penanganan kekerasan seksual di sini adalah adanya lembaga anti kekerasan seksual yang menampung pengaduan korban kekerasan seksual dan memproses kasus kekerasan seksual ke pihak berwajib. Di Indonesia sendiri terdapat lembaga nasional yang menangani kasus kekerasan terhadap perempuan, yaitu Komnas Perempuan. Korban dapat mempercayakan dan mengadukan kasus kekerasan seksual ini kepada Komnas Perempuan.

Penangan secara negara adalah korban harus mendapatkan rehabilitas dari lembaga maupun nonlembaga. Pernyataan tersebut terdapat pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 64 ayat 3 dan UU Nomor 11 tahun 2012 pasal 90 yang mengatur anak sebagai korban berhak mendapatkan rehabilitasi. 12 santri yang menjadi korban kekerasan seksual termasuk usia di bawah umur, hal ini korban harus mendapat rehabilitasi. Selain itu, negara memang harus menegaskan dan menerapkan kebijakan sanksi hukum kepada pelaku kekerasan seksual.


Kasus kekerasan seksual di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan. Kekerasan seksual tidak memandang usia bahkan gender. Sekarang ini semakin banyak kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur. Menurut Sigmun Freud, kebutuhan seksual adalah naluri setiap individu, namun yang membedakan adalah kebutuhan seksual tersebut dapat dikendalikan atau tidak. Pelaku kekerasan seksual dipandang secara sosiologis, ia memiliki dua wajah dalam proses interaksi dengan masyarakat. Dalam sosiologi hal tersebut disebut konsep dramaturgi. Kekerasan seksual kemudian menimbulkan dampak psikis dan sosial pada korban. Maka dari itu, dampak terhadap korban harus ditangani oleh keluarga, masyarakat, dan negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun