Sebenarnya saya tidak begitu hobi-hobi amat memelototi film bergenre “romantic“, tapi rasanya tidak tega membiarkan istri menonton film di malam hari, karena kebetulan dapat karcisnya di sesi malam ketika antri di siang harinya habis. Ya, sepertinya istri saya ingin melihat kisah asmara film Ainun Habibie yang difilmkan berdasar buku besutan Bapak BJ Habibie berjudul sama dengan film-nya. Kalau akhirnya suasana bioskop yang cukup penuh itu ditingkahi banyak pemirsa yang menyeka matanya dengan tisu sembari sesenggukan perlahan, atau terkekeh melihat banyolan dan celoteh khas Pak Habibie yang dimainkan cukup cemerlang oleh aktor Reza Rahardian, saya melihat sisi lain……
Leher saya sempat tercekat melihat scene ketika Pak Habibie menangis tersedu sambil mengelus-elus badan pesawat N250 dengan penuh kesedihan yang didesainnya di hangar pesawat yang lengang. Sempat merinding bulu kuduk melihatnya. “Waktuku aku habiskan untuk membuat pesawat ini, agar pulau-pulau di negeri ini bisa terkoneksi satu sama lain dengan biaya yang relatif murah…”, ujarnya tersedu. Kita tahu persis nasib PT.Dirgantara Indonesia (dulunya bernama IPTN) yang akhirnya mangkrak. Orang-orang terbaiknya yang ikut membangun pesawat—yang notabene tidak murah dalam mendidiknya—sekarang bercerai berai bekerja dan melalang buana mengais rejeki di perusahaan penerbangan di Eropa dan Amerika dimana pesawat-pesawat yang mereka ikut rakit dijual kembali ke Indonesia….agak tragis juga ceritanya ya…….
Ternyata tidak sekedar insinyur pesawat terbang anak bangsa saja yang tidak mempunyai “tempat kerja” di tanah air, di bidang-bidang lain ternyata banyak bertebaran profesi “strategis” lain yang dimiliki anak bangsa tetapi belum bisa diabdikan implementasinya ke tanah air. Ide Dr.Dino Patti Djalal, duta besar Indonesia untuk Amerika Serikat yang menggelindingkan Congress of Indonesia Diaspora (CID) medio 2012 di kota Los Angeles beberapa saat lalu, yang pada intinya mengajak segala komponen bangsa Indonesia terutama yang berada di luar negeri untuk “berpartisipasi membangun negeri” layak diapresiasi. Sudah bukan masanya “menggantungkan” nasib bangsa ini ke orang lain, banyaknya insan Indonesia yang sukses berkiprah di luar Negeri yang kapasitas dan kemampuannya dapat didaya gunakan untuk membangun bangsa.
Kajian dari ekonom senior World Bank Institute, Yevgeny Kuznetsov, dengan menggunakan pendekatan teori hierarki “5 dasar kebutuhan” Abraham Maslow membuktikan diaspora itu memberikan kontribusi sukup signifikan untuk sebuah bangsa. Kelima dampak diaspora tersebut adalah (1) remittance (2) donation (3) investment (4) knowledge & innovation network (5) institutional development & reform. Dari dasar piramida kebutuhan dasar milik Maslow saja, terbukti remittance (pengiriman uang ke tanah air untuk membantu sanak-sudara) terbukti cukup tinggi. Belum lagi kalau piramida kebutuhan digeser ke yang lebih tinggi, yakni investasi, jaringan pengetahuan dan inovasi (seperti kemampuan para mantan pegawai PT.Dirgantara Indonesia), dan sampai puncak tertinggi terwujudnya pembangunan dan reformasi institusional. Agaknya, bangsa Indonesia perlu melongok serta menggalakkan perhatiannya kepada dispora Indonesia di layer yang lebih tinggi tadi yakni penggalangan investasi, jaringan pengetahuan dan inovasi. Itu semua pastinya akan mempercepat kemajuan negeri ini sekaligus mengangkat Indonesia di pentas dunia. Jangan sekedar berhenti pada layer terbawah yang hanya tergantung pengiriman uang remittance semata.
Beberapa negara sudah menggarap diaspora pada tataran lebih dari sekedar “kiriman uang ke kampung halaman”. Negara di Afrika seperti Ghana, Nigeria, Ethiophia saja melakukan terobosan dengan menerbitkan obligasi diaspora untuk para warganya yang telah menetap di negara-negara maju. Negara-negara tersebut berharap para diaspora yang mempunyai “pertalian darah” tersebut berkenan memborong obligasi tersebut (sebagai catatan saja, keluarga Presiden Barack Obama dari garis Bapak juga ada di salah satu negara tersebut). Ini dibingkai dari keyakinan naiknya kiriman uang (remittance) yang tumbuh empat kali lipat mengacu pada data Bank Dunia dan Asian Development Bank (ADB).
Masak Indonesia yang “grade” sedikit lebih tinggi daripada ketiga negara di atas, masih berkubang di layer terbawah yang hanya mengandalkan remittance semata dari para saudara kita yang dijuluki “Pahlawan Devisa” ? Saya pikir, sejatinya melihat kasus PT.Dirgantara Indonesia saja sudah selayaknya Indonesia “naik kelas” untuk mengelola dispora bangsa ini pada level yang lebih tinggi. Seperti di level ketiga (investment) dan di level keempat (knowledge & innovation network). Kalau hal diseriusi akan banyak kontribusi yang bisa diraih dari sekitar 5,8 juta diaspora Indonesia ?
Jangan sampai kasus menyedihkan tentang Habibie mengelus pesawat N250 tadi menular di bidang bidang lain. Republik layak untuk bisa berkiprah lebih baik di pentas dunia.
Tulisan ini pernah dimuat di blog Manuver Bisnis (www.manuverbisnis.wordpress.com), sebuah Blog yang membincangkan perihal bisnis, manajemen dan kewirausahawan, posting seminggu sekali tiap hari Kamis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H