Menganalisis menggunakan teori Ketergantungan, teori ini menawarkan kerangka kerja yang tepat untuk bisa memahami krisis ekonomi di Sri Lanka. Teori ini memperlihatkan bagaimana hubungan asimetris, hutang luar negeri yang tinggi, dan kebijakan ekonomi yang tidak tepat berkontribusi pada keruntuhan ekonomi negara.
Sri Lanka mengalami krisis yang cukup parah pada tahun 2022 silam, yang di sebabkan oleh beberapa faktor yang saling terkait dan berujung pada runtuhnya ekonomi nqgara Sri Lanka. Faktor yang berkontribusi ialah sebagai berikut,
- Penurunan pendapatan pariwisata, penurunan drastis ini terjadi diakibatkan oleh pandemi Covid-19. Yang mana pada tahun 2019 pariwisata menyumbang 10,4% dari PDB Sri Lanka, ketika pandemi terjadi jumlah wisatawan langsung menurun drastis menjadi 485.000 pada 2020 dari yang seharusnya 2,3 juta pada 2019. Menyebabkan hilangnya pendapatan devisa yang cukup signifikan, memperburuk defisit pada neraca perdagangan dan pembayaran.
- Beban utang luar negeri meningkat, Sri Lanka mempunyai utang luar negeri yang cukup besar, terutama hutangnya pada negara Tiongkok. Pada akhir 2021 hutang luar negerinya mencapai $51 M setara dengan 104% dari PBD Sri Lanka, uang pinjaman tersebut sebagai besar dipergunakan untuk membiayai proyek pembangunan dan insfratruktur. Namun, dengan suku bunga yang tinggi dan depresiasi Rupee Sri Lanka beban pembayaran semakin berat.
- Pengambilan kebijakan yang kurang tepat, pemerintah Sri Lanka menetapkan beberapa kebijakan yang tidak tepat. Kebijakannya antata lain yakni pemotongan pajak yang dianggap mengurangi pendapatan pemerintah yang menyebabkan melebarnya defisit fiskal, penetapan suku bungan yang tinggi dimaksudkan untuk mengendalikan inflasi menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi yang membuat beban pembayaran hutang meningkat, dan larangan impor pupuk kimia yang membuat penurunan produksi pertanian yang menyebabkan kekurangan pangan semakin memburuk.
Krisis ekonomi pada Sri Lanka ini berdampak besar bagi rakyatnya, beberapa hal yang terjadi yakni kekurangan bahan pangan dan obat-obatan karena tidak mempunyai cukup uang untuk mengimpor yang membuat harga makanan dan obat-obatan meningkat sehingga banyak yang tidak mampu membelinya, lalu inflasi tidak terkendali menyebabkan harga barang dan jasa meningkat, dan semakin meningkat pengangguran karena banyak orang kehilangan pekerjaan yang mana mendorong banyak orang ke dalam kemiskinan.
Beberapa upaya pemulihan yang dilakukan pemerintah Sri Lanka untuk mengatasi krisis di antaranya yakni meminta bantuan pada IMF, yang mana IMF menyetujui program peminjaman senilai $1,5 M dengan syarat pemerintah melakukan reformasi ekonomi. Selanjutnya membuat negoisasi ulang hutang luar negerinya termasuk pada Tiongkok, Jepang, dan India. Terakhir sedang melakukan reformasi ekonomi dengan melakukan pengurangan pengeluaran, meningkatkan pendapatan pajak, dan efisiensi sektor publik untuk meningkatkan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi.
Krisis yang terjadi pada Sri Lanka ini merupakan contoh bagaimana beberapa faktor seperti hutang luar negri, pandemi, dan kebijakan ekonomi yang kurang tepat menyebabkan terjadinya krisis ekonomi. Yang mana krisis ini berdampak besar bagi rakyat Sri Lanka, membutuhkan upaya yang besar dan berkelanjutan untuk mengatasi krisisnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H