"Aku, Kamu, dan Pantai Ombak":
Di tepi pantai itu, aku berdiri memandang ombak yang datang bergulung-gulung, seolah membawa cerita dari samudra luas. Angin berhembus lembut, menyibakkan rambutku, mengantarkan aroma asin yang khas. Di sisiku, kamu duduk di atas pasir, menggambar garis-garis acak dengan ranting kecil yang kau temukan.
"Apa yang kau pikirkan?" tanyaku perlahan, suaraku hampir tenggelam dalam gemuruh ombak.
Kamu menoleh, sejenak terdiam sebelum menjawab, "Tentang bagaimana ombak selalu kembali, meskipun tahu mereka akan pecah di pantai. Seperti kita, mungkin?"
Aku tersenyum samar. "Kita seperti ombak? Bagaimana bisa?"
"Karena meski sering ada jarak, aku selalu kembali ke sisimu," katamu, suaramu hampir seperti bisikan. Kalimat itu membuat dadaku hangat, meskipun angin laut terasa dingin menusuk.
Kami terdiam lagi, membiarkan suara alam mengisi ruang di antara kami. Aku menunduk, menggenggam segenggam pasir, merasakan butirannya yang halus meluncur perlahan dari sela-sela jariku. Di mataku, pantai ini adalah tempat di mana waktu melambat, tempat semua kekhawatiran terasa lenyap.
"Aku suka pantai ini," kataku akhirnya. "Dia seperti pengingat bahwa kita kecil, bahwa hidup tak selalu harus tentang menang atau kalah."
Kamu mengangguk, pandanganmu tertuju ke horizon, tempat laut dan langit bertemu dalam gradasi biru yang sempurna. "Dan ombaknya... seperti kehidupan. Kadang tenang, kadang menghantam. Tapi selalu ada, selalu bergerak."
Aku memperhatikan wajahmu yang diterpa sinar matahari sore. Aku tahu, meskipun kata-katamu sederhana, ada makna dalam yang kau simpan. Mungkin itulah mengapa aku selalu merasa nyaman bersamamu---karena kamu seperti pantai ini, tenang namun penuh dengan keindahan yang tersembunyi.
Hari mulai gelap, matahari perlahan tenggelam di ujung cakrawala, memancarkan warna oranye keemasan yang memantul di permukaan air. Aku tahu, saat malam datang, pantai ini akan tetap indah, dengan ombaknya yang tak pernah berhenti menyapa.