Mohon tunggu...
Oktavia Hadianingsih
Oktavia Hadianingsih Mohon Tunggu... Guru - Guru

Guru Prakarya di SMP Negeri Satu Atap 3 Palangka Raya, hobi membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Suka Duka Menjadi Guru di Sekolah Terpencil

4 Juni 2022   14:20 Diperbarui: 4 Juni 2022   16:31 1157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi guru terlebih di sekolah 'terpencil' pastinya bukan impianku, meskipun terpencil yang dimaksudkan di sini lebih kepada akses menuju sekolah yang sulit dijangkau.

Sekolah tempatku mengajar sekarang, SMP Negeri Satu Atap 3 Palangka Raya terletak di daerah pinggiran Kota Palangka Raya yang merupakan ibukota provinsi Kalimantan Tengah, lebih tepatnya di desa Kameloh Baru, sebuah desa yang terletak di sepanjang kanal dan di tepi sungai Sabangau, salah satu sungai besar di Kalteng. 

dokpri
dokpri

SK PPPK ASN Gurulah yang membawaku ke sekolah ini. Menyesal?

Tentu tidak, karena ini adalah pilihan hidupku.

Bagiku bekerja itu ibadah dan mengajarkan juga ilmu juga ibadah, maka bekerja mengajarkan ilmu sungguh sangat mulia, itulah motivasiku. Meski baru beberapa bulan dan masih dalam tahap penyesuaian, aku sangat menikmatinya. Alhamdulillah...

Sebagai informasi, beberapa tahun yang lalu, jalan darat menuju ke sekolah masih bisa ditempuh dengan kendaraan motor, meskipun sangat susah karena jalan tanah selalu berlumpur dan licin, ban motor sering tenggelam ditelan jalan.

Sejak perubahan cuaca beberapa tahun terakhir dimana tidak ada musim kemarau yang benar-benar kemarau, artinya masih ada hujan di sepanjang tahun, maka praktis jalan darat menuju sekolah pun selalu terendam air sungai.

Dan kami pun menggunakan perahu kayu kecil bermesin yang biasa kami sebut 'kelotok'. Jujur, kata rekan sejawat yang sudah lama mengajar di sana, mereka memilih jalan sungai daripada jalan darat, meskipun konsekuensinya harus saling menunggu waktu pergi dan pulang serta lebih besar resikonya. 

Jadwal mengajar di hari Sabtu, kebetulan diisi ibu-ibu guru, termasuk saya. Jadi, supir kelotok kami yang juga murid di sekolah kami merupakan satu-satunya laki-laki di hari itu.

Berhubung tidak ada yang bisa menghidupkan mesin kelotok, maka supir kelotok pun terpaksa merangkap bertugas menghidupkan mesin dulu.

Meski sudah terbiasa, aku merasa kasihan juga. Atas inisitifku sendiri, aku menawarkan diri untuk membantu menghidupkan mesin kelotok. Sudah beberapa Sabtu yang lalu, aku berusaha menghidupkan mesin kelotok, namun selalu gagal.

Kegagalan demi kegagalan tidak membuatku putus asa, justru semakin membuatku penasaran. Aku harus berhasil, begitu tekadku setiap Sabtu. Fighting! Begitu kata K-Pop lover. 

Sabtu (04/05/2022) ini mendung bergelayut manja menyelimuti Kota Palangka Raya. Mendung tak berarti hujan, hujanpun masih bisa pakai jas hujan, begitu kataku dalam hati.

Aku tetap semangat menembus dinginnya pagi dengan motor kesayanganku. Melaju pada kecepatan rata-rata 60 km/jam aku sangat menikmati perjalanan dari rumahku menuju dermaga mini di Desa Kameloh Baru (Atas) yang ditempuh dalam waktu kurang lebih 30 menit. 

Seperti biasa, sambil menunggu rekan sejawat, di dermaga kecil depan tempat parkir motor, aku sempatkan untuk mencicil menulis apa yang ingin kutulis.

Ketika satu per satu rekan sejawat datang, aktivitas menulis pun kuhentikan, beralih dengan mengobrol ringan sampai semuanya datang dan siap melanjutkan perjalanan ke sekolah dengan 'kelotok' kurang lebih 20 menit.

Seperti biasa aku mengambil posisi duduk di belakang karena akan berusaha menyalakan mesin. Mudah-mudahan kali ini berhasil, doaku dalam hati.

Dan pagi ini, dengan sedikit trik dan tips dari supir kelotok yang juga murid kami, akhirnya aku berhasil menghidupkan mesin kelotok.

Alhamdulillah...riuh gembira ibu-ibu guru di atas kelotok menyambut keberhasilanku menghidupkan mesin kelotok. Akhirnya pecah telur, he-he-he... Hal sepele, tapi sungguh sangat berarti. 

dokpri
dokpri

Aku yang baru 4 bulan pindah mengajar di SMP Negeri Satu Atap 3 Palangka Raya, sangat merasakan betapa perjalanan kami ke sekolah ini sangat beresiko.

Namun kendala tersebut harus bisa diatasi. Bisa menghidupkan dan mematikan mesin perahu bagiku adalah sebuah usaha awal untuk mengatasi kendala tersebut.

Ke depannya, aku ingin bisa mengendalikan atau menyetir kelotok sendiri. Menyetir kelotok sangat berbeda dengan menyetir mobil ya. Alhamdulillah, saya sudah lama punya SIM A.

Menyetir kelotok tidak sekadar pegang setir putar ke kanan atau ke kiri, tapi juga harus memahami tentang arus air terutama saat memasuki muara kanal dan berpapasan dengan perahu lain.

Belum lagi harus mendayung ketika merapat ke dermaga dan yang lebih wow adalah bisa memasang roda/baling-baling mesin yang biasanya juga lepas. Bisa hanyut kalau lepas kendali.

Semangat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun