Kondisi hari-hari ini tidak banyak menolong saya untuk terus berproses mengembangkan diri saya. Saya kesulitan mempertahankan kinerja saya saat bekerja. Saya tetap mengabaikan hobi saya yang memang terbengkalai. Saya  Saya tidak menjadi lebih rajin membereskan rumah tidak banyak berubah dari sebelumnya. Entah apa yang saya lakukan hari-hari ini.
Saya rasa, saya telah berhenti melangkah.
Kondisi yang memaksa saya untuk selalu berada di rumah, membuat saya bosan bukan main. Saya jenuh diam melihat warna oranye tembok rumah saya. Saya muak rebah melihat warna putih langit-langit rumah saya. Saya lelah bertengkar, berdamai, dan berseteru dengan masing-masing anggota keluarga yang banyak saya rindukan sebelumnya.
Saya bahkan mulai merindukan macetnya Jakarta, senyum dan keluhan singkat yang sering ditukarkan pada sesama penumpang Trans Jakarta, dan abang-abang penjual cilok di SD dekat tempat kerja saya. Saya merindukan debu yang menempel di wajah saya setelah berjalan dari halte menuju rumah. Saya merindukan hal-hal yang menjadi sumber kekesalan saya di saat saya masih boleh melangkah.
Kondisi hari-hari ini juga membuat saya banyak merasa frustasi. Tidak banyak kerja yang bisa saya kerjakan tanpa berkumpulnya banyak orang. Tidak ada lagi tatapan rekan kerja yang pada akhirnya memacu kerja keras. Seluruh tenggat waktu dan target saya tidak lagi bisa dicapai. Tanpa konsultasi yang biasa terselip saat makan siang, saya pusing sendiri dan hilang arah.
Saya kini merasa putus asa. Saya tidak tahu apa lagi yang dapat saya coba. Saya tidak lagi bisa memikirkan sebuah solusi dari  kemandekan saya. Saya ingin meninggalkan proyek saya dan meminta pekerjaan lain yang benar-benar bisa saya kerjakan tanpa dipengaruhi oleh kondisi yang ada. Saya lelah mengetuk pintu yang tidak kunjung terbuka.
Banyak kata "seharusnya" kini menghantui saya. Masalahnya, kini saya tidak merasa mampu menjadi yang seharusnya. Yang menahan langkah saya bukan sekedar rasa malas, tapi sebuah kumpulan rasa yang tidak pernah saya bayangkan diproduksi oleh rumah saya.
Tentu saja melihat media sosial bukanlah sebuah solusi. Sebagian berupaya melihat sisi positif berada di rumah, dan hal-hal yang bisa dicapai olehnya. Sebagian lainnya meneriakkan kata beristirahat dan memperlakukan kondisi ini sebagai liburan panjang yang lama diimpikan. Keduanya bukan hal yang saya bisa saya telan mentah-mentah.
Ah. Saya sudah terlalu banyak mengeluh rupanya. Mungkin beberapa keluhan saya sama dengan keluhan rekan pembaca sekalian?
Bagaimanapun, kumpulan rasa dan keluhan saya tetap tidak dapat saya terima sebagai alasan yang menghentikan langkah saya. Kita bisa melihat banyak orang yang harus berjuang dan tidak boleh menjadi lemah di saat-saat genting ini. Pihak pemerintah, para tenaga medis, sektor pangan, dan banyak pihak lainnya malah harus banyak melangkah di saat seperti ini. Permasalahan mereka lebih sulit dihadapi, hambatan mereka lebih sulit ditanggulangi, dan jalan keluar mereka lebih sulit dicari.
Kumpulan rasa dan keluhan saya tidak boleh menghentikan langkah saya. Karena sama seperti mereka, saya juga memiliki tanggung jawab di pundak saya. Kita sama memiliki mimpi dan harapan baik untuk bangsa. Kita sama diberikan pengetahuan dan kemapuan untuk berkarya di tempat kita masing-masing. Sama seperti mereka, saya memiliki bagian yang harus saya kerjakan.