Langkah Kaki Lelah Menuju Mimpi Anak
Writer by: Oktavia Anggraeni
Â
Dibalik senyumnya, tersimpan sejuta perjuangan yang tak pernah ia ceritakan. Itulah seorang ayah. Tak pernah peduli siang dan malam mengumpulkan pundi-pundi rupiah demi kelangsungan hidup keluarganya. Marzuki, seorang paruh baya yang lahir pada tanggal 14 April 1969 didesa Sinarrejo.
Sejak tahun 2003, Marzuki bekerja sebagai guru honorer dengan penghasilan yang terbatas, namun penuh dengan semangat dan cinta untuk keluarganya. Ia memiliki tiga anak yang sangat ia cintai, dan meskipun hidupnya serba kekurangan, ia bertekad memberikan pendidikan terbaik untuk mereka. Baginya, pendidikan adalah jembatan menuju masa depan yang lebih baik, dan itu adalah warisan terbesar yang bisa ia berikan.
Marzuki mengalami kehilangan yang mendalam ketika ayahnya meninggal dunia saat ia masih duduk di bangku SD. Kehilangan tersebut membuatnya semakin bertekad untuk menjadi sosok yang kuat dan bertanggung jawab bagi keluarganya. Sejak dulu, Marzuki memiliki impian untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Ia ingin meraih gelar sarjana dan menjadi pegawai negeri sipil (PNS), namun kenyataan hidup memaksanya untuk menangguhkan impian tersebut. Biaya kuliah yang tinggi dan tanggung jawab sebagai kepala keluarga membuatnya harus memilih untuk mengubur niatnya dan fokus menguliahkan anak-anaknya. "Biarlah anak-anak yang meraih cita-cita itu," begitu ia sering berkata dalam hati.
Darno, kakak Marzuki, selalu mengagumi adiknya yang gigih dan tak kenal lelah dalam bekerja. Meskipun mereka tumbuh dalam kondisi yang sulit setelah kehilangan ayah mereka, Marzuki menunjukkan semangat yang luar biasa untuk menghidupi keluarganya. "Marzuki adalah sosok yang tidak pernah merasa gengsi untuk melakukan pekerjaan apapun," kata Darno dengan bangga. "Ia bisa menjadi petani, tukang bangunan, atau apapun yang bisa membantunya mendapatkan uang untuk anak-anaknya". Darno sering melihat Marzuki bekerja dari pagi hingga malam, tanpa mengeluh meskipun tubuhnya lelah. "Dia selalu bilang, 'Selama itu untuk anak-anak, aku akan lakukan apapun.' Itu adalah prinsip hidupnya," tambah Darno. Ia merasa terinspirasi oleh dedikasi Marzuki yang tak tergoyahkan, dan sering kali merasa bahwa Marzuki adalah teladan bagi banyak orang di desa mereka.
Darno juga mengingat bagaimana Marzuki selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya, meskipun harus mengorbankan impian pribadinya. "Dia mungkin tidak pernah meraih gelar sarjana, tetapi dia telah memberikan pendidikan yang lebih baik untuk anak-anaknya. Itu adalah warisan yang jauh lebih berharga," ujar Darno. Ia percaya bahwa semangat dan kerja keras Marzuki akan membuahkan hasil, dan suatu hari nanti, anak-anak Marzuki akan menghargai semua pengorbanan yang telah dilakukan oleh ayah mereka. Dengan penuh rasa bangga, Darno menyaksikan keberhasilan Marzuki dalam mendidik anak-anaknya. "Marzuki adalah contoh nyata bahwa dengan kerja keras dan ketekunan, kita bisa mengubah nasib. Dia adalah pahlawan dalam keluarganya," tutup Darno dengan penuh haru.
Â
Meskipun pekerjaan sebagai guru honorer tidak memberi penghasilan yang cukup besar, Marzuki selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Ia tak jarang menjadi petani, tukang bangunan, atau melakukan berbagai pekerjaan serabutan lainnya demi mengumpulkan uang untuk biaya kuliah anak-anaknya. Setiap hari, dari pagi hingga malam, ia bekerja keras tanpa mengeluh, bahkan saat tubuhnya terasa letih dan lelah. Namun, meski segala usaha sudah dilakukan, tantangan selalu datang.
Di tengah segala kesulitan, Marzuki tetap menjaga semangat dan optimisme. Ia selalu berusaha memberikan contoh bagi anak-anaknya tentang pentingnya kerja keras, ketekunan, dan pengorbanan. "Mungkin aku tak bisa meraih gelar sarjana, tapi kalian, anak-anakku, harus bisa meraihnya. Kalian adalah masa depan keluarga ini," begitu pesan Marzuki kepada anak-anaknya setiap kali mereka merasa putus asa. Kini, meskipun usianya sudah tidak muda lagi, Marzuki tetap semangat melihat anak-anaknya yang sudah mulai menapaki jalan mereka sendiri. Anak pertama yang sudah bergelar Sarjana Ekonomi, anak kedua sedang menempuh Sarjana Manajemen, dan anak ketiga sedang menempuh Sarjana Sosial. Setiap kali mereka menggapai prestasi kecil, Marzuki merasa seperti mendapat hadiah terbesar dalam hidupnya. Marzuki mungkin tak pernah merasakan bangga menerima gelar sarjana, namun kebanggaannya terletak pada keberhasilan anak-anaknya. Ia tahu, segala pengorbanannya telah memberikan arti yang lebih besar.
Istri Marzuki, Sri umiyati, selalu merasa bangga dan bersyukur memiliki suami seperti Marzuki. Dalam pandangannya, Tanggung jawabnya bagi keluarganya mengalir deras seperti sungai yang tak pernah kering. "Dia adalah naungan yang teduh bagi kami sekeluarga, selalu memberikan perlindungan dan kasih sayang. Setiap hari, dia bekerja keras bagai kuda pacu untuk memastikan kami memiliki kehidupan yang lebih baik," kata Sri dengan mata berbinar. Sriumiyati mengagumi dedikasi Marzuki yang tak tergoyahkan. Meskipun mereka hidup dalam keterbatasan, Marzuki tidak pernah mengeluh. "Dia selalu bilang, 'Apa pun yang terjadi, aku akan berjuang untuk kalian.' Itu membuatku merasa sangat beruntung," tambah Sri umiyati. Ia melihat bagaimana Marzuki rela melakukan pekerjaan apapun, tanpa merasa gengsi, demi memenuhi kebutuhan keluarga. "Dia bisa menjadi petani, tukang bangunan, atau apapun yang diperlukan. Yang terpenting baginya adalah anak-anak kami bisa mendapatkan pendidikan yang baik," ungkap Sri umiyati. Dengan penuh rasa syukur, Sri umiyati menyadari bahwa Marzuki adalah pilar kekuatan dalam keluarga mereka. "Dia adalah suami dan ayah yang bertanggung jawab. Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa dia. Marzuki adalah inspirasi bagi kami semua," tutup Sri dengan penuh kasih.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI