Mohon tunggu...
Oktavia Rizki Prasetyaningrum
Oktavia Rizki Prasetyaningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

-

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Dari Polusi Menjadi Peluang: Pajak Karbon dan Revenue Recycling untuk Indonesia

23 April 2024   21:31 Diperbarui: 23 April 2024   21:36 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan meratifikasi Perjanjian Paris melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Perjanjian Paris. Komitmen tersebut diwujudkan dalam beberapa langkah konkrit sebagai berikut yaitu pertama menjaga kenaikkan suhu global di bawah 2°C. Kedua yaitu melalui Enhanced Nationally Determined Contibutions (ENDC), Indonesia menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca dengan target penurunan melalui kemampuan sendiri (unconditional reduction) sebesar 31,89% dari yang semula 29% dan target penurunan melalui dukungan internasional (conditional reduction) sebesar 43,20% dari yang semula 41% pada tahun 2030. Ketiga, yaitu dengan menyusun Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR) sebagai strategi jangka panjang dalam rangka mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim demi mencapai net zero emission pada tahun 2050.

Menurut Badan Energi Dunia (International Energy Agency/IEA), pengunaan konsumsi energi yang masih didominasi oleh bahan bakar fosil, yaitu tercatat sebesar 80% kegiatan masih disokong oleh penggunaan minyak bumi dan batubara. Di samping komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, Pemerintah Indonesia menargetkan pula penggunaan energi terbarukan sebagai alternatif lain untuk menggantikan penggunaan bahan bakar fosil dengan target capaian keberhasilan sebesar 23%  pada tahun 2030 dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC). Direktorat Jenderal Energi Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) memaparkan bahwa hingga Desember 2023 pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia baru mencapai 13% dari seluruh energi yang digunakan. Atas capaian tersebut, pemerintah perlu mengejar ketertinggalan sebesar 10% dari target ENDC dalam periode enam tahun ke depan. Kementerian Keuangan telah mengalokasikan  dana sebesar 3,9%  dari APBN untuk mempercepat adopsi energi terbarukan. Namun, jumlah dana yang masih minim tersebut menjadi hambatan bagi pemerintah untuk merealisasikan target pengunaan adopsi energi terbarukan. Oleh karena itu diperlukan sumber keuangan baru yaitu melalui nilai ekonomi karbon (NEK).

Penyelengaraan NEK sendiri telah diatur dalam Perpres 98 Tahun 2021 tentang pelaksanaan aksi mitigasi dan aksi adaptasi terhadap perubahan iklim untuk mencapai target NDC dan pengendalian emisi. Terdapat empat mekanisme penyelenggaraan NEK yaitu perdagangan karbon, pembayaran berbasis kinerja, pungutan atas karbon, dan mekanisme lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Adapun mekanisme perdagangan karbon dapat dilakukan melalui emissions trading scheme (ETS) dan offset emisi. Terdapat dua jenis utama dari emissions trading scheme (ETS) meliputi cap-and-trade dan baseline-and-credit-system. Dari beberapa mekanisme tersebut, pajak karbon dan skema cap and trade telah menjadi pilihan utama bagi banyak negara dalam upaya mereka mengurangi emisi gas rumah kaca.

Pajak karbon termasuk ke dalam jenis Pigouvian Tax akibat eksternalitas yang ditimbulkan oleh emisi karbon berupa perubahan iklim global akibat pencemaran udara. United Nations memaparkan bahwa selain hemat biaya, pajak karbon memberikan berbagai keuntungan tambahan yang mendukung pencapaian tujuan yang lebih luas.  Goulder (1995) mengungkapkan bahwa pajak karbon mempunyai dua keuntungan atau yang disebut dengan istilah double dividend. Konsep tersebut berarti bahwa pajak karbon dapat menjadi sarana pemasukan bagi negara yang dapat dialokasi untuk kegunaan lainnya. Melalui pajak karbon, pemerintah dapat mengalihkan beban pengurangan emisi kepada pihak swasta. 

Penerimaan pajak karbon tersebut dapat menutup kekurangan pendanaan terkait transisi menuju energi terbarukan. Pemerintah sendiri telah menetapkan tarif pajak karbon sebesar Rp30.000,00 per ton karbon dioksida ekuivalen untuk periode tahun 2022 hingga 2024. Besaran tarif pajak karbon di negara ini tergolong terendah di dunia, jauh di bawah rekomendasi World Bank dan IMF untuk negara berkembang yang berkisar antara US$30 hingga US$100. Jika dibandingkan dengan emisi yang dihasilkan oleh Indonesia sebagai 10 besar negara penyumbang emisi karbon terbesar di dunia, tarif tersebut tentu terlihat tidak seimbang. Namun demikian, jika menilik lebih lanjut kondisi perekonomian di Indonesia, pemerintah perlu mempertimbangkan aspek keterjangkauan dengan merancang peningkatan tarif secara bertahap ke depannya. Pajak karbon diharapkan tidak memberatkan kondisi perekonomian makro di Indonesia itu sendiri.

Hal yang perlu diperhatikan lebih lanjut lagi oleh pemerintah mengenai pajak karbon yaitu terkait dengan ketidakelastisan permintaan atas listrik yang dapat berdampak terhadap ekonomi makro dan konsekuensi distribusionalnya. Diperlukan beberapa kebijakan pelengkap untuk mengurangi potensi dampak pajak karbon yaitu salah satunya melalui mekanisme revenue recycling. Revenue recycling dalam konteks pajak karbon adalah proses dimana pendapatan yang diperoleh dari pajak karbon dikembalikan ke ekonomi melalui berbagai saluran. 

Revenue recycling ini memiliki beberapa tujuan yaitu diantaranya untuk membantu perekonomian rumah tangga miskin, membiayai transisi ekonomi rendah karbon, mengurangi distorsi pajak lainnya, meningkatkan daya saing dan membiayai program lingkungan lainnya. Adanya revenue recycling juga bertujuan untuk mengurangi beban kenaikkan harga listrik bagi masyarakat. Pendapatan dari pajak karbon juga dapat digunakan untuk mengurangi distorsi pajak lainnya seperti pajak penghasilan orang pribadi atau badan. Selain itu, penerimaan dari pajak karbon dapat diinvestasikan kembali ke dalam proyek yang mendukung transisi ke energi rendah karbon seperti pembangunan infrastruktur energi terbarukan dan pembangunan transportasi publik yang lebih baik yang nantinya tidak hanya mengurangi emisi lebih lanjut tetapi juga membuka lapangan pekerjaan baru.

Berikutnya yaitu terkait skema cap and trade yang merupakan bagian dari emissions trading scheme (ETS), skema tersebut diajukan oleh Thomas Crocker (1966) dan John H. Dales (1968). Cap and trade sendiri merupakan sistem yang didesain dalam rangka menyediakan solusi pasar dalam hal mentransfer izin penghasilan emisi. Peran pembuat kebijakan disini yaitu menentukan batas emisi total (cap), mendistribusikan hak emisi kepada pihak-pihak penyumbang emisi, dan memungkinkan mereka untuk membeli dan menjual hak emisi tersebut sehingga didapat suatu alokasi yang optimal. Emissions trading scheme (ETS) bekerja dengan cara menetapkan batas emisi gas rumah kaca bagi pihak-pihak penyumbang emisi. Pihak-pihak yang emisinya melebihi batas tersebut harus membeli izin emisi dari pihak lain yang emisinya di bawah batas. Sebaliknya, pihak yang emisinya di bawah batas dapat menjual sisa izin emisi mereka. Harga izin emisi ditentukan oleh keseimbangan antara permintaan (jumlah emisi) dan penawaran (jumlah izin emisi yang tersedia).

Pelaksanaan perdagangan karbon di Indonesia telah diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon. IDXCarbon, sebagai penyelenggara Bursa Karbon, menawarkan sistem perdagangan yang transparan, terstruktur, adil, dan efisien. Keunggulan IDXCarbon tidak hanya pada transparansi harga, tetapi juga kemudahan dan kesederhanaan dalam melakukan transaksi. Saat ini, IDXCarbon menyediakan 4 (empat) mekanisme perdagangan, yaitu auction, regular trading, negotiated trading dan marketplace. IDXCarbon mencatatkan perdagangan karbon perdana pada tanggal 26 September 2023 sebanyak 459.953 ton unit karbon dengan transaksi sebanyak 27 kali. Penyedia unit karbon pada perdagangan perdana kali ini yaitu Pertamina New and Renewable Energy (PNRE) yang menyediakan unit karbon dari Proyek Lahendong Unit 5 dan Unit 6 PT Pertamina Geothermal Energy Tbk. Meskipun pasar karbon di Indonesia masih terbilang muda, penerapannya yang optimal diharapkan mampu memicu transformasi perilaku industri, terutama pada sub-sektor pembangkit listrik dan sektor energi secara menyeluruh. Melalui komitmen yang berkelanjutan, Indonesia diharapkan mampu untuk menurunkan emisi karbon demi keberlangsungan hidup dan menghindari adanya krisis multidimensional yang berasal dari perubahan iklim.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun