Kerinci adalah “sekepal tanah surga yang tercampakkan ke bumi” begitulah penggalankhiasan penyair Ghazali Burhan Dirhoja yang menggambarkan keindahan daerah berjuluk ini. Ungkapan yang rasanya tidaklah berlebihan mengingat keindahan yang ada di daerah paling barat provinsi Jambi. Sebuah ungkapan yang juga menyiratkan betapa suburnya tanah kerinci. Tak khayal banyak masyarakat kerinci yang mata pencaharian pertanian dan perkebunan.
Pertanian dan perkebunan menjadi sebuah hal yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan sebagian masyarakat kerinci, karena dengan bertani dan berkebunlah masyarakat dapat mencukupi kebutuhan kehidupan sehari-hari. Hal ini cukup beralasan dikarenakan kerinci juga termasuk daerah agraris.
Dan begitupun banyak masyarakat yang memilih untuk menetap di daerah pertanian atau pun perkebunan yang di miliki, istilah masyarakat kerinci manyebutnya dengan berladang. Seperti halnya yang ada di daerah dusun maro pulau.
Ya, memang banyak yang belum tau dengan daerah yang satu ini, termasuk bagi masyarakat kerinci sendiri pun masih banyak yang tidak tau. Hal ini wajarlah rasanya mengingat daerah ini berada jauh di bagian hilir kerinci.
Dusun Maro pulau begitulah sebutannya, sebuah dusun yang berada di balik bukit kalianggang, desa tamiai, kecamatam batang merangin, kerinci. Sebuah dusun yang di kelilingi oleh perbukitan.
Sekilas Kehidupan warga
Maro pulau ini pada awalnya hanya di jadikan sebagai tempat berkebun dan bertani, karena kesuburan tanahnya, lama kelamaan banyak warga yang berbondong-bondong untuk berdatangan ke daerah ini mulai dari warga yang berasal dari daerah sungai tutung, semurup, siulak, belui dan daerah kerinci lainnya bahkan ada yang berasal dari luar kerinci sperti daerah serampeh dan bengkulu. Mereka memilih untuk menetap dengan tujuan agar dapat ikut bertani dan berkebun.
Tidak mudah untuk bisa mencapai dusun maro pulau, karena untuk bisa kesini kita akan menempuh perjalanan sekitar 1,5 jam jika jalan kaki, tapi kalau naik motor bisa sekitar 45 menit karena kita akan naik turun bukit, pun di tambah keadan jalan yang tidak bersahabat. Maklumlah tak ada yang namanya jalan aspal, apalgi jalan “setapak”, Jalan yang ada merupakan buah dari hasil semangat gotong royong, mengingat jalannya masih beralaskan tanah.
Warga dusun maro pulau terbiasa hidup berkecukupan, cukup dengan rumah yang berdinding dan beralaskan kayu rumah kayuyang jauh dari sederahana nampaknya. Rumah dengan penerangan seadanya berupa lampu minyak, pemandangan gelap menjadi hal yang biasa, karena tidak adanya aliran listrik.
Menjelang senja bunyi radio sayup-sayup terdengar di setiap sudut rumah di penghujung matahari, yah memang radio usang yang menjadi media penghibur warga, itu pun terkadang frekuensinya agak susah didapatkan. Radio Republik Indonesiamenjadi siaran favorit warga karena dengan laporan berita yang di sajikan.
Warga maro pulau kebanyakan menyambung hidup dari berkebun kopi, atau istilah di sini dengan sebutan KAWO, setiap rumah terlihat jelas deretan kopi, sebagian pula ada yang memilih untukkulit manis. Dan menjadi pekerja upahan, seperti mengupas kulit casiavera, serta membersihkan kebun orang lain dan sebagian lagi ada yang menjadi tukang ojek membawa hasil panen kopi atau kulit manis ke luar.
Hari rabu menjadi hari yang di tunggu-tunggu oleh warga maro pulau, karena hari ini merupakan hari pasar tradisional atau dalam bahasa daerahnya yaitu hari balai yang hanya ada setiap 1 kali seminggu. Warga biasnya membeli keperluan sehari-hari, seperti keperluan dapur setiap seminggu sekali.
Senyum warga merekah dis setiap hari rabu, karena pada hari inilah sebagian warga keluar dari ladangnya menjual hasil panen kopi menjual kulit manis pada agen yang telah menunggu di simpang kaliangang dengan harga Rp15.000 – Rp17.000 per kilogram itu pun terkadang harganya naik turun serta ada juga yang gajian bagi pekerja. Hasil semuanya itu di gunakan untuk membeli keperluan sehari-hari di balai tamiai dan selebihnya untuk di simpan.
Yah, seperti itu lah sekilas kehidupan warga dusun maro pulau, walaupun hidup serba kecukupan tapi tak tampak ada beban di wajah mereka, senyum ramah selalu menghiasai wajah dikala bertemu dan semangat gotong royong serta rasa kebersamaan menjadi permersatu warga maro pulau.
penulis : Yuda Oktana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H