Siang itu, di Gang Tanah Pasar Kongsi Pondok, Padang, sebuah gerobak berwarna hijau diparkir di antara para pedagang buah-buahan dan kain, di kacanya tertempel tulisan “Martabak Denai”. Di sana terlihat seorang bapak memakai baju putih dan berpeci sedang sibuk melayani salah satu pelanggan yang sedang menunggu pesanannya.
Pria berpeci itu adalah Nasrul (42) penjual martabak kampung yang sudah terkenal di sekitar Pasar Tanah Kongsi, sebab sudah belasan tahun dia menjejakkan martabaknya di tempat yang terkenal dengan kampung pecinan itu.
“Saya sudah berjualan selama 14 tahun,” katanya setelah mengembalikan uang kembalian pelanggannya.
Tak lama berselang datang lagi pembeli memesan dua potong martabak, lalu tangannya dengan sigap mengaduk-aduk adonan martabak. Martabak ‘Denai’ terkenal dengan cita rasanya yang memanjakan lidah. Rasanya pun bermacam-macam, mulai dari rasa keju, coklat, kacang dan lain-lain.
Tidak hanya itu martabak ‘Denai’ memiliki ciri khas tersendiri, yaitu dengan variasi ukuran, ada yang kecil, menengah dan besar dengan harga mulai dari dua ribu rupiah sampai dengan sepuluh ribu rupiah tergantung dari ukurannya. Hal jelas ini menambah daya tarik martabaknya. Nasrul tidak pernah putus-putus melayani pembelinya.
“Saya menyukai martabak pak Nasrul, selain enak, ukurannya bisa dipilih sesuai yang kita inginkan dan harganya pun terjangkau. Sehingga saya selalu membeli martabaknya, paling tidak satu kali dalam seminggu,” kata salah satu pelanggan Nasrul saat memesan martabak.
‘Pak Nasrul’ begitu sapaan akrabnya, mengakui tak mudah dalam membuat martabak, karena menurutnya walaupun terlihat sederhana, membuat martabak membutuhkan kehalian tertentu dan butuh beberapa waktu dia belajar mengolahnya. Nasrul sendiri belajar dan mengetahui resep martabak kampung dari kakaknya.
“Membuat martabak itu tak seperti orang lihat yang terlihat mudah. Sebenarnya butuh waktu juga untuk belajar membuatnya,” ungkap pria yang memiliki empat orang anak ini.
Ayah tiga orang anak ini memulai menjajakan martabaknya dari pukul 08.00 pagi sampai pukul 16.00 sore, setiap harinya dia melakoni pekerjaannya. Dia mengatakan dari hasil martabak inilah ia dapat memenuhi kehidupan sehari-hari.
Pria berjenggot ini tak berniat untuk membuka cabang martabaknya, walapun martabaknya sudah terkenal di Tanah Kongsi. Namun dia memiliki keinginan untuk membangun sebuah masjid dari hasil penjualan martabaknya.
“Saya berniat ingin membuka cabang di akhirat nanti dengan membangun sebuah masjid dari hasil martabak ini” tutupnya sambil mengusap keringat dikeningnya.
Penulis: Yuda Oktana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H