Mohon tunggu...
Ahmad Oktabri Widyananda
Ahmad Oktabri Widyananda Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Share a lot, get a lot

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Dilema Subsidi BBM, Rakyatlah Taruhannya

29 Maret 2015   22:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:49 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setelah turun kini naik lagi. BBM menjelma menjadi barang kebutuhan pokok yang semakin fleksibel mengikuti perkembangan harga minyak dunia. Dampaknya tak sepele, mulai dari harga sepiring nasi di warung tegal, hingga harga kebutuhan pokok di supermarket ikut terkerek dengan kenaikan harga BBM. Kebijakan ini memang langkah berani yang diambil oleh Pemerintahan Jokowi-JK untuk “menggeser” pos APBN yang semula digunakan untuk subsidi BBM, kini dialihkan menjadi dana belanja publik yang menurut pemerintah perlu lebih diprioritaskan. Siapa taruhannya? Tentu rakyat adalah jawabannya. Berhasil tidaknya pengalihan pos APBN ini ke depan, rakyatlah yang akan menjadi taruhan terbesarnya. Jika berhasil, rakyat akan merasakan pelayanan pendidikan, kesehatan dan berbagai sarana publik yang lebih baik ke depannya. Namun jika gagal, rakyat pulalah yang harus siap tercekik karena semakin mahalnya berbagai kebutuhan pokok seiring dengan naiknya harga minyak dunia.

Meminjam istilah, no gain without pain, memang tak akan ada pencapaian berharga tanpa didahului rasa sakit dan pengorbanan. Pemerintahan Jokowi-JK telah mengambil kebijakan yang mempunyai high risk-high impact dengan mengalihkan subsidi BBM menjadi belanja publik untuk mewujudkan impian-impian masyarakat. Sayangnya, dampak positif yang diharapkan dari kebijakan ini adalah dampak yang bersifat tak langsung, butuh waktu dan proses panjang untuk mewujudkannya. Tak serupa dengan dampak positifnya, dampak negatif dari kenaikan BBM justru berdampak langsung dan terlihat lebih nyata bagi masyarakat. Naiknya harga kebutuhan pokok dan semakin sengsaranya kehidupan wong cilik, menjadi penderitaan rakyat  yang lebih terlihat nyata dibanding impian-impian pemerintah yang “mungkin” baru terwujud beberapa tahun ke depan. Keterlambatan dalam mewujudkan mimpi inilah yang ditakutkan akan berimbas pada semakin besarnya gelombang distrust ­masyarakat pada pemerintah saat ini. Apalagi jika impian itu sama sekali tak tercapai atau gagal diwujudkan, tak terbayang betapa besarnya kemurkaan masyarakat kecil yang semakin sulit untuk bertahan hidup di tengah berbagai himpitan ekonomi.

Belum lagi ulah para tengkulak nakal dan penyedia layanan transportasi publik yang tak bertanggung jawab. Mereka menaikkan harga barang maupun jasa sesuai dengan kenaikan harga BBM, namun ketika harga BBM sempat turun, harga tersebut tak beranjak turun ke posisinya semula dengan asumsi laba yang mereka dapatkan akan semakin besar karena semakin rendahnya biaya produksi. Hal ini juga perlu menjadi catatan penting bagi pemerintah : menaik-turunkan harga BBM tidak serta merta berbanding lurus dengan naik-turunnya harga barang/jasa lainnya. Ini berarti, jika sewaktu-waktu harga minyak dunia turun lagi, pemerintah tidak dapat sepenuhnya berharap untuk dapat menurunkan harga barang/jasa lainnya dengan cara menurunkan kembali harga BBM, harga-harga tersebut sebagian besar akan tetap bercokol di level tertingginya seakan tak menggubris penurunan harga BBM. Oleh sebab itu pemerintah harus membuat banyak perhitungan sebelum mengambil langkah untuk menaikkan harga BBM, karena sekali harga barang/jasa lainnnya naik, maka akan susah bahkan mustahil untuk kembali turun.

Tanpa mengurangi kehormatan azas Luber-Jurdil dalam Pemilu, jujur saya katakan bahwa saya bukan pendukung pasangan Jokowi-JK saat Pilpres 2014 lalu, namun saya juga bukan bagian dari haters mereka. Menanggapi kontroversi pengalihan subsidi BBM, saya tetap berprinsip bahwa menghormati pimpinan hasil pilihan suara mayoritas adalah sebuah keniscayaan bagi warga negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Untuk itu, penting kita sadari bahwa saat ini masa depan 240juta lebih rakyat Indonesia berada di pundak Presiden dan Wakil Presiden RI, mari percayakan dan doakan para pemimpin kita agar dapat mengemban amanah mulia ini dengan baik dan jujur. Waktu 6 bulan terlalu singkat untuk “mencap gagal” 5 tahun perjalanan mereka, masih ada 4 tahun dan 6 bulan lagi untuk membuktikan prestasi dari kinerja Pemerintahan Jokowi-JK. Selain itu, sebagai warga negara yang baik hendaknya kita bertindak tidak berlebihan, cukup sewajarnya. Memuji boleh, tapi tidak mendewakan, mengkritik juga penting, tapi tetap sesuai aturan. Salam pencerahan! (Ahmad Oktabri Widyananda - XXI)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun