Mohon tunggu...
Adit Okta
Adit Okta Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

belajar setia dengan apapun dan pasrah menerima sesuatu keadaan yang diluar kemampuan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Nasehat Untuk Atheis

23 September 2012   13:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:51 644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Salam Kompasiana,

" Agama itu bukan suatu keharusan, yang penting kita berbuat baik dan tidak merugikan orang lain "

Persepsi atau pendapat diatas sangat keliru. Orang yang berpersepsi demikian dapat dikatakan hidup hanya berpedoman kepada hawa nafsunya sendiri. Apakah itu nafsu jelek ataupun nafsu baiknya. Al-Qur'an mengatakan bahwa orang yang seperti itu bertuhan kepada hawa nafsunya. Seharusnya kita hidup di dunia ini berpedoman kepada aturan yang dibuat oleh yang menciptakan kita di dunia ini, karena tentunya Dia memiliki konsep untuk apa kita diciptakan di dunia ini. Konsep dimaksud tentunya harus ada, karena bila tidak berarti Dia menciptakan manusia hanya " iseng-iseng " saja. Jauh benar kiranya Tuhan dari sifat iseng! [ Al-Mukminun : 115 ] bukankah semua produk yang baik itu harus memiliki manual book atau standing operation procedure dari pembuatnya? Jelas aturan ini tidak mungkin direka-reka sendiri.

Sangatlah logis pendapat yang mengatakan bahwa tidak mungkin orang hidup tanpa aturan. Masalahnya adalah aturan mana yang harus di ikuti. Kalau diserahkan kepada masing-masing individu untuk membuat aturan sendiri-sendiri tentunya persepsi mengenai suatu kebenaran akan sangat subyektif. Kenapa tidak kita ambil saja salah satu aturan yang dibuat oleh salah satu agama ( agama langit ) yang sudah ada? Bukankah sudah tidak diragukan lagi bahwa yang mampu membuat aturan yang paling pas atau sesuai dengan tabiat manusia adalah Sang Pencipta manusia itu sendiri?

Manusia yang waras mau tidak mau harus mempunyai suatu referensi yang diyakini paling baik sebagai pedoman hidupnya, yaitu agar dia selamat dan dapat selalu bahagia, kamampuan akal saja jelas tidak akan cukup. Karena betapa pun tingginya kemampuan indera manusia, sering kali hasil yang diperolehnya tidak mengambarkan hakikat yang sebenarnya. Betapapun tajamnya mata seseorang ia akan melihat tongkat yang lurus menjadi bengkok di dalam air. Bintang yang sebenarnya lebih besar dari planet bumi, terlihat olehnya hanya seperti uang logam kecil. Referensi yang dipilihnya ini, selanjutnya akan menentukan nasib dirinya sekarang maupun kelak di alam abadi nanti. Oleh karena itulah penentuan referensi mana yang akan dipilih harus dilakukan dengan ekstra hati-hati, yaitu menggunakan seluruh potensi akal dan pikiran yang dimiliki.

Bagi yang tidak mau mengikuti suatu agama tetapi percaya akan adanya hidup setelah mati, kenapa tidak berpikiran bahwa mungkin saja petunjuk agama itu disamping untuk kebahagiaan di dunia juga jalan untuk menuju kesenangan hidup setelah kita mati. Bukankah tidak ada agama yang mengajarkan kejahatan? Bukankah dengan demikian pendapat bahwa cara hidup di dunia ini cukuplah asal tidak merugikan orang lain serta selalu berbuat baik kepada sesama, tidak bertentangan dengan ajaran agama manapun? Kenapa tidak switch saja persepsi tersebut ke dalam persepsi agama? Bukankah ini jauh lebih safe, artinya seandainya memang benar ternyata kadaan kita setelah mati itu tidak ada kaitannya sedikitpun dengan masalah agama, bukankah kita tidak mengalami kerugiaan? Tetapi bagaimana bila ternyata ajaran agama itu benar, maka tentu orang yang tidak mengikutinya akan menderita kerugian yang sangat besar di akhirat nanti, rugi yang abadi yang tidak dapat diperbaiki lagi. Sebagaimana firman Allah :

" Orang-orang yang kafir ( di akhirat nanti ) seringkali mengiginkan, kiranya mereka ( di dunia ) menjadi orang-orang Muslim "
Al-Hijr : 2

Coba kita kesampingkan sejenak nafsu kita, berpikirlah dengan jernih, apakah ada ajaran Islam yang tidak bermanfaat untuk mencapai kebahagiaan di dunia ini. Tuhan tidak memerlukan kita ( Fathir : 15 ) Dia tidak peduli kita mau taat kepada-Nya atau membangkang. Dia memberi manusia kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya sendiri-sendiri. Tetapi jelas manusia akan menerima konsekuensi atas jalan yang dipilihnya itu. Bukankah ini cukup fair? Lalu mengapa kita tidak berpikir safe? Apakah tidak terlalu gegabah bila kita pertaruhkan hidup di dunia yang tidak sampai sepersepuluh menurut ukuran waktu akhirat ( As-Sajdah : 5 ) dengan menolak ajaran agama? Apalagi Allah telah mengatakan bahwa Dia tidak menjadikan sedikit kesulitan pun dalam hal beragama ( Al-Hajj : 78 ) serta telah memudahkan Al-Qur'an untuk dipelajari dan diamalkan.

" Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur'an utuk dipelajari, maka adakah orang yang mengambil pelajaran? "
Al-Qamar : 40

" Kami tidak menurunkan Al-Qur'an ini kepadamu agar kamu menjadi susah "
Taha : 2

Islam mengajarkan bahwa amal itu tergantung pada niatnya. Amal yang memperoleh ganjaran adalah amalan yang dilakukan atas ikhlash semata-mata kerena memang Sang Maha Pencipta menghendaki demikian. Bukankah dengan kita mengabdi menuruti segala perintah seseorang maka orang itu yang akan memberikan ganjaran kepada kita? Itulah sebabnya bila kita beramal karena mentaati nafsu ( nafsu baik ), maka tentunya nafsu itulah yang akan memberikan ganjaran. Pertanyaan selanjutnya, apa yang dapat diberikan oleh nafsu yang ada dalam diri itu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun