Ramadhan adalah rekaman yang terus diputar di setiap kenangan perjalanan. Tentang protes anak pada Umaknya. Ya, aku yang protes,”Mak, untuk apa Tuhan menyuruh kita berpuasa? Apa Tuhan tega menyiksa mahluk-Nya?” Umak tersenyum mengelus rambutku,” Karena Tuhan sayang pada kita, Puko. Kelak kau kan mengerti,” Aku pun tidak lagi memprotes. Mungkin, terlalu ajaib untuk anak kelas 3 SD sepertiku terlalu banyak bertanya. Maka, aku ikut Umak saja: bangun fajar, lapar, dan akhirnya kekenyangan. Pun tiada yang kuharapkan selain uang 30.000. Ya, Umak menjanjikan itu dan lihatlah baju-baju lebaran pun beraneka motif untuk kami. Untukku ada tiga pasang. Sebab di kampungku, lebaran itu ada tiga hari.
Ramadhan adalah penantian kebahagiaan, tentu saja menanti kemenangan. Kemenangan saat mencium tangan Umak, Ubak, Kiai, dan ayuk-ayukku. Lalu tangan pun siap menggenggam hadiah dari mereka. Setelah itu aku dan teman-teman berjalan dan singgah di rumah-rumah, meski tak dikenal. Lihatlah, kami selalu menyediakan celana-celana berkantong lebar dan banyak, tentu saja untuk menampung makanan-makanan yang terlihat enak di mata. Lalu tertawa-tawa, lalu menari-nari, lalu malamnya pulas.
Ramadhan adalah metamorsosa usia. Berpikir, bahwa semuanya begitu cepat berlalu. Dulu, aku pikir Tuhan kejam menyuruh manusia berpuasa. Kini aku mengerti arti dari berpuasa. Berpuasa bukan untuk menyiksa, justru untuk menguatkan jiwa, menyehatkan hati. Puasa itu melatih kedewasaan, menyadarkan diri, bahwa aku bukan anak kecil lagi yang berpuasa karena hadiah. Hati sudah memberontak, tak pantas lagi Umak membelikanku baju lebaran.Hati sudah bicara, bahwa saatnya mandiri. Tetapi, aku akan menangis, melihat apa yang ada padaku sekarang. Aku masih menjadi beban(itu menurutku).
Pun aku tidak pernah meminta, mereka tetaplah memberi. Aku pernah meminta. Ya aku meminta Umak membelikanku laptop. Aku katakan tambahi saja, aku mendapatkan beasiswa dari kampus. Hanya butuh beberapa juta saja ( Lebih tepatnya tiga juta). Waktu itu, krisis sedang melanda keuangan mereka.Umak katakan, tidak punya uang, tetapi apa yang terjadi saat Ubak tahu tentang itu. Ubak marah besar pada Umak,” Jangan pernah katakan tidak, jika untuk anak kita,” Ya Rabbi, betapa baiknya mereka. Aku tahu pasti Ubak berhutang untuk permintaan bodohku itu.
Ya, aku tidak pernah meminta. Aku selalu menabung untuk hal yang kuinginkan. Modem, printer, televisi…Meski, uang itu sebenarnya dari mereka juga. Ya, aku takut untuk meminta. Tetapi mereka sangat sangat mengerti. Tidak pernah aku menunggak uang kost, uang kuliah, uang makan, dan uang-uang lainnnya. Mereka sangat mengerti. Pun aku ingin tidak terlalu merepotkan mereka. Aku pernah kerja di warnet. Siang kuliah, dan malam hingga larut menjadi penjaga warnet. Namun hanya satu bulan, badanku sudah merah semua. Terlalu banyak begadang. Ketika Umak dan Ubak tahu, mereka berteriak padaku,” Kami masih mampu, Puko. Kau fokus saja pada kuliahmu,” Ya Tuhan, hanya Kau yang dapat membalas kebaikan mereka
Aku pun mencoba usaha lain, jualan pulsa, buka usaha prin kecil-kecilan, jasa pengetikan, tetapi semuanya kandas sekejap saja. Aku masih saja merepotkan mereka. Selalu dan selalu.
Ramadhan tahun ini. Aku masih seperti ini. Padahal, aku ingin pulang dengan sesuatu yang beda. Aku ingin pulang dengan mobil yang aku kendarai sendiri. Aku ingin pulang dengan membawakan mereka pakaian, makanan, dan membagikan uang untuk orang-orang tak mampu. Tetapi, mimpiku masih menjadi mimpi. Aku hanya membawa derita. Aku hanya membawa airmata.
“Penuhkah puasamu tahun ini, Puko,”
“Alhamdulillah, Mak”
“Tadarus?”
“Hem, hanya membaca yasin dan ayat-ayat pendek. Beberapa kali saja, Mak”