Mohon tunggu...
Okky Oktora
Okky Oktora Mohon Tunggu... wiraswasta -

Terlahir dari keluarga yang kurang harmonis, mendidik hidup menjadi dewasa sebelum waktunya, tidak ada kasih sayang dan hidup tidak boleh manja. secara tidak langsung jiwa kecil merekam semua alur jalan hidup yang dialami selama ini, dan mencoba menuangkannya dalam bait-bait tulisan... tinta merah kehidupan...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mimpi Ningsih

9 Mei 2015   12:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:13 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi ini tak kuasa aku menahan rasa haru, rasa haru dan bahagia menjadi satu, kebahagiaan yang begitu besar didalam dada membuat mata ini tak kuasa membendung airnya untuk keluar, yah karena pagi ini aku telah menjadi wali atas pernikahan adik perempuan semata wayangku Ningsih, sedih bukan karena mulai saat ini Ningsih akan pergi meninggalkanku untuk bersegera menjadi pendamping bagi suaminya, dan bahagia yang kurasa bukan karena tanggung jawabku sebagai seorang kakak yang menggantikan peran orang tua telah usai, melainkan haru bahagia ini tercipta karena aku masih tidak dapat percaya dapat melihat adikku berbalut gaun pengantin indah khas daerah sunda duduk disamping seorang pemuda yang gagah yang juga berbalut busana pengantin yang saat ini menggantikan tugasku untuk membimbingnya,aku bangga Ningsih terlihat begitu bahagia, dan lembaran baru dalam hidup Ningsih dimulai hari ini, setelah prosesi usai aku berlalu kebelakang, menghindarkan rona muka yang sedih ditengah kebahagiaan adikku.

“Cantiknya Ningsih.” Celetuk orang dibelakang meja resepsi sampai ditelingaku, membuat aku semakin haru, aku masuk kamar kecil, kubasuh mukaku berkali-kali agar raut sedihku segera sirna, aku tidak mau Ningsih melihat kesedihanku dihari bahagianya, dan bagiku inilah rasanya hari yang paling bahagia disepanjang hidup yang pernah aku rasakan, ahh seandainya Abah dan Emak masih ada tentu mereka pun merasakan haru yang begitu hebat sepertiku saat ini, jujur saja ini adalah baru lagi aku menangis setelah lama terakhir kali aku menangis adalah saat jenazah Emak akan menuju pusara tempat peraduan terakhirnya.

Rumah telah sepi, semua saudara yang kemarin membantu acara resepsi telah pulang dan kembali dengan aktifitasnya masing-masing, Ningsih dan suaminya masih menikmati malam kedua sebagai pengantin baru dirumah ini, rumah peninggalan Abah dan Emak, rumah tempat kami tumbuh dengan bahagia dengan limpahan kasih dan sayang dari kedua orang tua, jam dinding dikamar sudah menunjukkan pukul 21.30, suasana diluar rumah sudah terasa sunyi, Ningsih pun sudah berada dikamarnya terakhir kami berkumpul saat makan malam ba’da isya tadi, mungkin karena tadi sore kampungku diguyur hujan, ini juga yang membuat suasana malam terasa begitu lengang, boleh jadi mungkin orang-orang lebih memilih berdiam didalam rumah daripada harus terkena dinginnya angin malam diluar dan aku sendiri memilih tidak kemana-mana malam ini, lebih nyaman berada didalam kamar untuk merebahkan badan dan memulihkan stamina setelah beberapa hari terkuras, kusandarkan bahu dibantal yang kulipat dua, pandanganku jauh menatap mengawang, mengingat kembali hari-hari lalu yang begitu berat namun kini perlahan mulai menampakkan hasil, yah sebenarnya dulu keluarga kami adalah keluarga sederhana yang bahagia, Abah setiap hari mengurus sawah dan kebun sepetak dari pagi sampai petang, dan malamnya sering mengajar aku dan Ningsih serta anak-anak kampung yang lain mengaji dimushola, sedang Emak hanya ibu rumah tangga yang sehari-hari mengurus segala keperluan dan kebutuhan rumah tangga, Abah dan Emak memang tidak memanjakan anak-anaknya melalui sarana yang berlebihan, hidup kami dulu memang serba pas-pasan, tetapi alhamdulillah tidak sampai kekurangan, itulah hebatnya Abah dan Emak, saran darinyalah yang membuat aku dapat bertahan dan mampu meneruskan apa yang Abah dan Emak harapkan dulu, membimbing, mengasuh, menyayangi dan menuntun adikku agar menjadi manusia yang berguna bagi sesama, masih jelas teringat dibenakku saat itu aku masih duduk dibangku SMP kelas 2, dimana Abah secara tiba-tiba dipanggil oleh sang maha pemilik hidup, Allah SWT, selama hidupnya aku tidak pernah tahu kalau Abah memiliki penyakit jantung, dan meninggalnya Abah dikarenakan penyakit jantung yang dideritanya selama ini kambuh saat beliau sedang mengurus kebun, dan Emak bilang kalau Abah merasa capek juga sesak disekitar dada lalu ijin untuk istirahat sebentar, dan saat hendak duduk Abah terpeleset dan pingsan lalu meninggal, sungguh pukulan berat bagiku tentu juga bagi Ningsih yang kala itu masih duduk dibangku Madrasah Ibtidaiyah kelas 4, tapi ini sudah menjadi ketentuan Allah dan Emak tidak nampak menangis sedikitpun, memang harus aku akui tentang ajaran agama tidak perlu diragukan lagi, Emak sudah paham bahwa tidak baik berlarut dalam kesedihan, rupanya Emak sudah memaknai ilmu ihlas yang sering Abah ajarkan dulu.

Dan sejak itulah sebagai anak laki-laki setidaknya tanggung jawab keluarga ada dipundakku, keseharianku berubah drastis, selepas pulang sekolah aku segera kesawah untuk memotong rumput liar yang tumbuh dan dapat mengganggu perkembangan padi yang kami tanam, Emak juga setiap pagi dan sore membuat makanan kecil lalu dititipkan diwarung-warung milik tetangga, tidak jarang Ningsih selepas mengaji sore ikut menjajakan dagangan yang Emak buat, kemandirian Ningsih memang sudah terlihat sejak dini, tanpa malu dia berteriak sambil dipinggangnya menggendong dagangan, “Combro.. combro barade, combro, misro, bala-bala na haraneut keneh, mangga dipaleser.” (combro.. combro siapa yang mau, combro misro, bakwannya masih hangat, silahkan dibeli) beitulah setiap sore yang Ningsih lakukan,dia korbankan masa kecilnya untuk keluar dari yang seharusnya, dimana teman-temannya masih bermanja ria pada kedua orang tuanya, minta ini minta itu tetapi Ningsih tidak, aku bangga padanya tentu juga Emak, kadang aku kasihan melihatnya setiap malam ia memijat-mijat kaki kecilnya sendiri, sering aku menggodanya dulu, “carangkeul Neng geulis? Dieu ku Akang urang pencetan.”(Pegel-pegel Neng cantik? Sini Kakak pijitin), dan seketika mengetahui apa yang dilakukannya terpergok, Ningsih langsung lari mendekat Emak lalu duduk disampingnya meminta perlindungan, “alim ah, Kang Ikin mah osok nyeuri mencetnya, geuning kapungkur ge si Abah sok nepi pupuringkelan pami dipencetan ku Kang Ikin.” (gak mau ah, Kang Ikin yang mijit pasti kenceng, waktu dulu juga Abah sering kesakitan kalo dijipit sama Kang Ikin).Aku hanya bisa tertawa melihat Ningsih yang dengan muka polosnya menampakkan raut ketakutan saat aku goda dan kalau sudah begitu tinggallah aku yang dimarahi Emak, “tos Ikin ah, ulah ngaheureuyan wae si Eneng.”(Ikin udah ah, jangan godain terus si Eneng), dan ternyata kebahagiaan itu tidak harus selalu mewah serta mahal, kehangatan keluarga ini sudah membuat kami merasa bahagia.

Tanpa terasa ternyata diluar, hujan yang sore hari turun kini berlanjut, aku membenarkan posisi rebah tidurku, masih mengawang jauh kesana, mengingat kembali kegigihan Ningsih dalam berjuang memperoleh apa yang ingin dicita-citakannya, yah aku bangga pada cita-citanya, pernah dulu aku bertanya padanya ketika ia masih duduk dikelas 2 MTs, dan dia tegas menjawab ingin menjadi seorang Sarjana Pertanian, agar bisa menjadi petani dan meneruskan pekerjaan Abah tetapi tentunya menjadi petani yang mempunyai pendidikan, saat aku tanya kenapa, dan Ningsih memberikan alasannya, bahwa pernah suatu kali dia ditugaskan oleh gurunya disekolah membuat kliping tentang pemberdayaan lahan dilingkungan sekitar, dan melihat kondisi lahan dikampung kami yang kebanyakan hanya dimanfaatkan sebagai sawah dan sebagian kebun, akhirnya dalam kesimpulan klipingnya Ningsih menambahkan bahwa potensi lain dapat digarap dilahan yang ada, tidak hanya untuk sawah dan kebun saja, “harusnya bisa lebih dari itu Kang, harusnya masyarakat bisa memanfaatkan lahan untuk banyak hal, misalnya disaat tidak sedang musim tanam sawah dapat menjadi tempat pembudidayaan ikan lele dan sebagainya, benerkan Kang?” dengan ngotot Ningsih mengemukakan argumennya, aku hanya menganggukkan kepala mendengar penjelasannya kala itu.

Dan saat ini Ningsih memang telah mendapatkan apa yang dicita-citakannya dulu, menjadi lulusan terbaik Insitut Pertanian terbesar di Indonesia dengan predikat coumlaude, berbagai prestasi akademik telah dia peroleh dari tingkat Nasional sampai tingkat Asean telah dia dapatkan, aku sebagai seorang kakak merasa sangat bangga, perjuangan yang selama ini dilakukan serta kesempatan yang diperoleh tidak disia-siakan oleh Ningsih, namun sayang dihari bahagianya, hanya aku yang dapat mendampinginya tanpa ada orang tua, karena Allah terlebih dahulu memanggil Emak kami hanya setahun sebelum Ningsih lulus SMA, tentu menjadi pukulan telak bagi Ningsih disaat butuh penyemangat dalam menghadapi Ujian Akhir Sekolah nanti, keberadaan Emak adalah motivasi terbesar dalam hidupnya,saat itu aku sudah bekerja dibengkel alat berat diluar kota, dan aku memilih untuk resign dari tempat kerjaku memilih kembali kerumah untuk mengawasi Ningsih dan sekaligus menjadi orangtua tunggal baginya, lahan sawah dan kebun peninggalan Abah dan Emak lah yang aku garap setelah sebelumnya keluarga kami sewakan pada orang, masih ingat juga suatu hari sepulang sekolah Ningsih berlari menuju saung tempat aku meneduh jika sedang disawah, masih lengkap dengan seragam sekolah dan setengah terburu-buru dia mengambil sesuatu dari dalam tasnya, ternyata sebuah brosur PMDK dari salah satu Universitas, aku baca perlahan, belum selesai aku membaca tiba-tiba Ningsih memotong fokusku, “Kang boleh yah Neng ikut tesnya.” Setengah memanja berkata, aku tersenyum melihat semangat dan kesungguhan dimatanya saat itu dan hanya mampu menjawab, “Kalau Eneng memang minat juga mampu ikut aja, Akang mah bodoh gak bisa bantu Neng belajar, paling juga Akang cuma bisa ngedoain biar tesnya lulus dan Neng bisa diterima disana.” Mana mungkin aku berkata jangan, sementara Ningsih begitu berniat, Ningsih adikku satu-satunya dan harta paling berharga yang aku miliki saat ini, aku tidak mungkin membuatnya lebih kecewa terlebih setelah Abah dan Emak meninggal, Ningsih dengan erat memelukku, masih sempat kudengar dirinya berbisik, “Haturnuhunnya Kang.” (terimakasih ya Kang).

Kulihat dua minggu sebelum tes Ningsih begitu jarang keluar kamar, dia hanya akan keluar kamar jika hendak mandi, makan dan sekolah, ternyata dia menghabiskan sebagian waktunya untuk mempelajari pelajaran yang sekiranya akan keluar saat tes nanti, dan aku sendiri yang mengantar serta menungguinya saat tes, karena tes memang tidak dilakukan disekolah melainkan bertempat digedung serbaguna yang berada dikabupaten lumayan jauh dari rumah, lagi pula aku ingin memberikan motivasi buat Ningsih bahwa masih ada aku kakaknya yang akan setia mendampingi, jangan pernah merasa sendiri adikku.

Setelah dua minggu lulus dari sekolah SMA, rupanya hasil tes belum juga ada, selama masa menunggu itu Ningsih membantu pekerjaanku disawah setiap hari, dia tidak takut terkena lumpur, dia tidak malu kulitnya hitam karena terkena sinar matahari, dia malah senang berlama-lama mengamati cabe yang ada dikebun, mengamati padi yang mulai berbulir, dan tidak jarang Ningsih menyatakan hal yang menurutku waktu itu mustahil, dia pernah bilang, “enak ya Kang kalo pohon manggisnya bisa setiap seminggu sekali berbuah, terus kebun kita juga lebih berwarna ya Kang kalau misalnya cabe rawit ini warnanya bisa warna-warni, ada ungu, biru, pink.”Aku tidak begitu menanggapi perkataan Ningsih, karena aku sendiri sedang sibuk menyiangi batang manggis, aku hanya menjawabnya asal, “tidak sekalian saja Neng, pohon singkong buahnya diatas, nih Akang petikin buah manggis matang dipohon.”Ningsih menerima pemberianku, sambil memakan buah manggis dia masih berkata, “ishh si Akang ini, serius Neng mah, pasti bisa kok, nanti Neng buktikan kalo nanti Neng keterima sekolah disana.” Sedikit manyun Ningsih berkata seolah tidak terima dengan jawabanku tadi, “iya Neng iya, sok sama Akang didoain biar Neng bisa diterima dan bisa buat manggisnya berbuah seminggu sekali, biar Akang gak usah nunggu berbulan-bulan buat panen.”

Seperti biasa saat matahari sudah tepat berada diatas kepala aku mengakhiri pekerjaanku disawah, setengah hari cukup saja waktu untuk mengurus sawah, karena bulan-bulan ini belum termasuk bulan yang sibuk, paling juga tugasku hanya mengontrol air agar tanah sawah tidak kering dan tanaman padi dapat tumbuh dengan baik, waktu itu saat kami sedang menikmati makan siang tiba-tiba terdengar suara ketukan dari pintu depan rumah, setelah kubuka ternyata seorang petugas pos sudah berdiri disana, aku pun menerima kiriman surat yang dibawa petugas pos tadi, sebentar kuamati disudut amplop terlihat logo Institut Pertanian Bogor, tetapi aku tidak membukanya, dan setelah petugas pos itu pergi akupun berlalu kembali ketempat tadi kami makan, disitu masih kulihat Ningsih masih menikmati makan siangnya, mengetahui ada aku datang secara spontan Ningsih membuka pembicaraan, “siapa Kang yang mengetuk pintu tadi, ada tamu? Wajah polos itu bertanya, aku tidak segera menjawab, kuserahkan surat yang aku pegang pada Ningsih, sejenak Ningsih memperhatikan apa yang aku perlihatkan lalu dia mengambil dan perlahan membukanya, “Neng, sepertinya ini surat pengumuman hasil tes yang kemarin kamu ikut, Akang harap apapun hasilnya Neng harus bisa terima yah.” Aku berkata pada Ningsih sambil kembali duduk berniat melanjutkan makan siang yang tadi sempat terpotong, aku menikmati makanan ini, alhamdulillah masih ada nasi yang kami makan hari ini, sedang aku nikmat makan tiba-tiba Ningsih mengejutkan aku, “Kang, lihat Kang, baca ini, selamat bergabung dengan kami, saudari Ningsih Ruhiyat, mohon segera melengkapi dokumen serta administrasi yang diperlukan.” Ningsih berkata sambil menyodorkan surat yang dibacanya kepadaku, aku mulai membaca perlahan, kulihat selintas air muka Ningsih menjadi sedih, yah karena haru bahagia, aku pun tidak lupa mengucapkan selamat padanya, tidak henti kami bersyukur kepada Allah SWT karena yang dilakukan Ningsih terbayar sudah dengan adanya hasil baik ini.

Dan inilah yang paling kuingat, awal Ningsih pergi meninggalkanku untuk menempuh ilmu ditempat yang jauh dari pantauanku, 3 hari setelah mendapat surat pemberitahuan itu aku segera bersama Ningsih bersiap untuk melengkapi persyaratan selanjutnya, mulai dari pendaftaran, dan segala hal lainnya, ini adalah kali pertama bagi Ningsih bepergian jauh, Ningsih terlihat begitu antusias dengan tempat belajar barunya, “Kang ini sekolah atau hutan yah? Kok banyak banget pohonnya, luas lagi, Neng takut nyasar kang.”Sedikit geli aku mendengar pernyataan polosnya kala itu, aku cubit pipi adikku karena gemas sambil menjawab, “namanya juga Institut Pertanian, ya sudah pasti banyak pohon atuh Neng, gimana Neng suka?”

“suka Kang, tapi Neng masih takut Kang, selama ini Neng tinggal sama Kang Ikin, Neng takut disini harus tinggal sama siapa.”Ningsih berkata sambil menyandarkan kepalanya di bahuku, kuelus perlahan kerudungnya mencoba menenangkan sambil berkata, “Neng nanti bakal terbiasa, jangan pernah takut buat mencoba hal baru yang nantinya membawa manfaat besar, Akang janji akan sering-sering nengokin Neng, nanti juga Neng bakal punya teman disini, mereka juga disini sendiri, bertemanlah Neng dengan orang yang baik, neng juga harus bisa prihatin, maaf kalo Kang Ikin enggak bisa ngasih lebih selama Neng kuliah, tapi Akang bakal usahain apapun buat Neng, sampai apa yang Neng cita-citakan tercapai.”

Tahun pertama kuliah Ningsih masih menempati asrama yang disediakan pihak kampus, tetapi masuk tahun berikutnya Ningsih dan teman-teman satu angkatan dengannya harus pindah dan mencari tempat sewa untuk tinggal selama masa sisa pendidikan, tahun pertama hampir setiap dua minggu sekali aku menengoknya ke asrama, karena aku masih khawatir dengan keadaan Ningsih yang memang baru pertama diperantauan, bahkan sampai sebelum masa tinggal diasramanya habis aku sudah mencari kost untuknya nanti tinggal, biarlah aku capek, biar waktuku tersita asalkan Ningsih bisa tenang dalam belajar.

Jika saja bukan karena Ningsih, mungkin aku sudah menyerah, biaya pendidikan yang begitu besar menurutku membuatku harus pandai-pandai mensiasati keuangan, berbagai kejadian pun telah dilewati, aku hampir hanya mempunyai waktu istirahat saat hari sudah benar-benar gelap, selepas mengurus sawah dan kebun, aku kerjakan pekerjaan lain, seringnya aku menjadi supir angkot mencari omprengan sepanjang malam, beruntung Ningsih mengerti dengan keadaanku, niatnya untuk belajar dia buktikan dengan mendapat beasiswa pendidikan selama setahun penuh menjelang lulus, Ningsih tidak pernah meminta lagi jika sudah kuberi uang saku bulanan, padahal aku tahu benar uang yang kuberi mungkin hanya pas-pasan, sebenarnya ingin aku memberikan lebih, tetapi dalam keadaan seperti ini aku belum bisa, aku juga tidak pernah menceritakan darimana aku mendapatkan uang selama ini, yah uang untuk membayar kuliah, uang untuk kebutuhan sehari-harinya, aku harus terlihat kuat, sehat dan penuh semangat saat berkunjung menengoknya, aku ingin fokus belajar Ningsih tidak terganggu, itu saja.

Pernah suatu hari saat aku hendak pamit setelah menengoknya, aku dibekali Ningsih benih padi yang menurutnya itu adalah hasil pengembangan dan penemuan dari dosennya, Ningsih bilang padi ini perkawinan antara dua jenis padi unggul, dan tanpa menolak akupun membawanya pulang untuk kutanam, Ningsih pun tidak lupa setiap saat memberitahuku bagaimana cara pemupukan yang benar, dan dia dengan semangat mendengar saat kuceritakan bahwa benih yang diberikannya memang tumbuh dengan hasil yang berbeda dibanding dengan benih yang biasanya kutanam, pernah suatu kesempatan Ningsih dan beberapa temannya menjadikannya sawah kami sebagai objek penelitiannya, dan hasilnya sawah kecil yang kami miliki menjadi bahan perbincangan orang-orang kampung, karena hasil panennya yang luar biasa.

Dan Allah ternyata benar Maha Adil serta maha mengetahui, usaha yang dilakukan Ningsih tidak sia-sia, pekerjaannya saat ini adalah seorang ahli pemuliaan tanaman khususnya dalam hal benih, dimana dirinya beserta sesama pemulia telah menemukan varietas baru dalam pengembangan benih, berkat pengetahuan yang dimilikinya para petani dikampungku kini telah mengerti bagaimana cara mengelola lahan serta melakukan pembenihan, pemupukan secara baik dan benar, kini kampung kami adalah pemasok beras dan buah terunggul untuk tingkat daerah dan dijadikan kampung pertanian percontohan oleh dinas pertanian tingkat kabupaten, kini petani dikampung kami tidak kekurangan stok pangan bahkan hampir dipastikan setiap musim panen tidak pernah mengalami kegagalan,berkat sosialiasasi rutin serta mudah dipahami yang dilakukan oleh Ningsih, petani-petani yang awalnya selalu menggunakan pakem bertani tradisonal yang memang sudah dari dahulu digunakan perlahan berubah, dari mulai menentukan masa pembenihan, penanaman serta pemupukan dan ternyata perubahan ini membawa dampak positif, dengan ini petani-petani dapat membentuk koperasi petani dimana dananya berasal dari iuran wajib berupa sumbangan hasil panen yang kemudian ditukarkan menjadi pupuk untuk tanaman atau dapat ditukarkan juga dengan pestisida untuk membasmi hama.

Beberapa jenis benih padi yang ditanam merupakan dari hasil pemuliaan yang Ningsih dan beberapa temannya lakukan, yang diberi nama PADI-EDJ-01, PADI-EDJ-02, PADI-EDJ-03, keunggulan dari varietas benih PADI-EDJ-01 ini adalah dengan ciri bulir yang banyak dan berisi padat, lebih tahan terhadap hama, tidak memerlukan pemupukan terlalu sering, sedangkan untuk PADI-EDJ-02 dan PADI-EDJ-03 pada harum bulir padi setelah dinanak menjadi nasi, suatu kesempatan aku pernah bertanya pada Ningsih, “EDJ itu artinya apa Neng?” dan jawaban yang dikeluarkan Ningsih membuatku geleng-geleng kepala, karena dia menjawab, “umm.. itu Kang artinya Eh Ditemukan Juga, soalnya Ningsih juga teman-teman waktu itu bingung mau kasih nama apa buat varietas baru ini, ya asal deh akhirnya, hehe.”Ada-ada saja pikirku.

Dan tak terasa malam semakin larut, kulihat jam didinding sudah menunjuk angka 01.30, dan mata ini sudah terasa semakin berat, ku tarik satu bantal lagi untuk kutumpuk agar bantalan tidurku agak tinggi, masa lalu yang berat itu kini kurasa bagaikan debu dimusim kemarau yang semerbak hilang dihempas hujan yang datang, meninggalkan aroma kenangan yang khas, kini aku tinggal pikirkan masa depanku, aku harus segera mengakhiri masa lajangku, dan inilah janjiku pada Abah dan Emak dahulu, bahwa aku telah dahulukan kepentingan Ningsih diatas kepentinganku, semoga Abah dan Emak dapat tersenyum disana melihat apa yang telah anak-anak dapatkan, akupun perlahan mulai menutup mataku, menutup semua kenangan dahulu yang penuh perjuangan, dan mulai menikmati istirahatku setelah lelah seharian, dan memang benar hirup kudu peurih ameh meunang peurah (hidup harus prihatin, agar bisa sukses).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun