Sebagai bangsa yang mendapatkan kemerdekaan lewat perjuangan untuk terlepas dari jeratan imperialisme dan kolonialisme, Indonesia sangat menjunjung arti penting dari kemanusiaan. Semangat para founding fathers untuk mewujudkan kemerdekaan bangsa Indonesia, turut memberi pengaruh bagi negara-negara lain yang terbelenggu dalam desakan kolonialisme dan imperialisme.Â
Sebagai Presiden Pertama Republik Indonesia dan salah satu pioneer utama dari perjuangan Indonesia menuju kemerdekaan, Ir. Soekarno memiliki sikap anti-imperialisme dan anti-kolonialisme. Sikap tersebut kemudian ia tuangkan dalam beberapa kebijakan atau politik luar negerinya yang berlandaskan kemanusiaan, kedamaian, dan keadilan serta mengutuk segala jenis penindasan yang berbasis pada paham imperialisme maupun kolonialisme.Â
Salah satu contohnya yaitu Konferensi Asia-Afrika, yang mana kebijakan ini memiliki korelasi terutama terkait landasan yang sama dalam mewujudkan perdamaian.Â
Perwujudan perdamaian ini ingin ditumbuhkan oleh Ir. Soekarno tidak hanya bagi Indonesia saja, namun terhadap berbagai negara di dunia yang turut mengalami sejarah yang kelam atas jeratan kolonialisme dan imperialisme, sehingga terwujudnya sikap solidaritas dalam mengutuk segala bentuk penindasan terhadap suatu negara.
Seperti yang kita tahu bahwa, Konferensi Asia-Afrika (KAA) adalah konferensi pertama yang diadakan oleh negara-negara bekas jajahan di Asia dan Afrika pasca Perang Dunia kedua. Konferensi ini berlangsung selama 6 hari pada 18-24 April 1955 dengan membahas lima pokok masalah, yaitu kerja sama ekonomi, kerja sama kebudayaan, HAM dan hak menentukan nasib sendiri, masalah negara yang masih terjajah, serta memajukan perdamaian dan kerja sama dunia (Haryanto, 2016:100). Â Konferensi Asia-Afrika (KAA) dihadiri oleh 29 negara dengan rincian, 5 negara sponsor, 12 negara Asia, 8 negara Arab, dan 4 negara Afrika.
Salah satu keterlibatan Ir. Soekarno dalam konferensi tersebut adalah pidatonya yang membangkitkan semangat para peserta konferensi di hari itu. Dalam pidatonya, Ir. Soekarno mengajak seluruh negara Asia-Afrika untuk menguatkan semangat solidaritas dan membuat front anti-kolonialisme, mengingat bahwa kolonialisme belum bisa dikatakan menghilang, bentuk-bentuk semacamnya masih tumbuh dengan strategi baru dalam menguasai bidang ekonomi, kebudayaan, dan politik (Haryanto, 2016:101).Â
Serupa dengan hal yang dinyatakan Ir. Soekarno dalam pidatonya, Perdana Menteri Sri Lanka, Sir John Kotelawala turut menyinggung neo-kolonialisme atau kolonialisme baru dalam persidangan. Kolonialisme baru seperti yang ada pada dalam negara-negara satelit Eropa Tengah dan Eropa Timur di bawah dominasi komunis menurutnya jangan sampai dilupakan (Haryanto, 2016:102).Â
Walaupun, pernyataan terkait kolonialisme baru ini cukup mengagetkan Perdana Menteri China yaitu Chou En-lai, ia menyatakan bahwa konsep negara satelit di Eropa Timur tidak bisa begitu saja disetujui oleh delegasi Tiongkok. Hal tersebut telah menjadi kebebasan serta hak bagi negara-negara terkait dan tidak perlu diperdebatkan. Â
Maka dari itu, PM Chou En-lai menegaskan bahwa konteks melawan kolonialisme dalam sidang Konferensi Asia-Afrika harus tetap ditujukan pada konteks kolonialisme dalam segala manifestasinya adalah suatu yang harus dibasmi. Berdasarkan hal tersebut, inti pembahasan kolonialisme dalam sidang tidak ditujukan pada "bentuk", namun "manifestasi" kolonialisme yang dapat mempengaruhi aspek ekonomi, militer, sosial-budaya, dan politik (Haryanto, 2016:104).Â
 Dengan demikian, berdasarkan diskusi dan perdebatan yang cukup hangat dan dinamis, Konferensi Asia-Afrika berakhir dengan menghasilkan kesepakatan atas Dasa Sila Bandung. Kesepakatan ini berisikan persetujuan para delegasi dalam konferensi yang menegaskan hubungan antarbangsa berlandaskan asas kemerdekaan dan keadilan.
Lalu apakah arti penting dari Konferensi Asia-Afrika tahun 1955, dan seberapa besar relevansinya terhadap kondisi politik luar negeri Indonesia sekarang? Tentunya masih terdapat relevansi antara konferensi tersebut bagi Indonesia maupun negara-negara lainnya yang terlibat. Tepatnya pada tanggal 5 Februari 2021 kemarin, ketika diperingatinya 66 tahun Konferensi Asia-Afrika (KAA) yang mengusung tema "Kemanusiaan dan Solidaritas".Â