Dalam satu tahun belakangan ini kebetulan penulis mendapatkan kesempatan melakukan berbagai penelitian kualitatif mengenai berbagai dimensi yang membentuk Indeks Pembangunan Manusia di berbagai daerah di Indonesia. Sebagaimana indeks tersebut menjelaskan mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan aspek-aspek pembangunan manusia, seperti aspek kesehatan, aspek pendidikan dan aspek ekonomi, banyak sekali hal yang dapat dipelajari dari data-data tersebut.
Salah satu hal yang menarik adalah saat mencermati angka putus sekolah di daerah-daerah terpencil, seperti di daerah kecamatan Rao Mapat Tunggul Sumatera Barat, desa Sungai Pisang di Padang, kepulauan Natuna, kepulauan Wakatobi, Lombok serta daerah-daerah lainnya. Ada satu kesamaan diantara daerah-daerah yang sulit dijangkau tersebut. Mayoritas anak yang bersekolah di sekolah dasar tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Artinya, angka putus sekolah yang terbesar terjadi saat kelulusanSD dan SLTP. Kedua masa sekolah ini dapat dikatakan sebagai masa-masa kritis dalam pendidikan dasar anak-anak di daerah terpencil.
Apa yang terjadi pada saat lulus SD dan lulus SLTP? Kebanyakan anak-anak di daerah terpencil tidak dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi dikarenakan berbagai alasan.
Pertama, sulitnya mencapai sekolah dikarenakan jarak yang sangat jauh. Misalnya anak yang lulus SD di daerah Rao Mapat Tunggul, mereka sulit melanjutkan sekolah ke SLTP karena jarak SLTP yang jauh dan sulit dilewati. Jangan dibayangkan anak-anak tersebut jauh karena harus menyambung angkot, tapi bayangkan perjalanan yang harus menembus hutan. Penulis sendiri pada saat mengumpulkan data ke daerah tersebut harus menaiki ojek dengan ongkos Rp. 600.000,- disambung dengan berjalan kaki selama sekitar dua jam.
Hal ini menjadikan minat untuk bersekolah menjadi sangat rendah. Belum lagi permasalahan guru yang sering tidak hadir dikarenakan medan yang ditempuh sangat berat, terutama apabila terjadi hujan.
Penyebab kedua, kurangnya minat serta dorongan dari orangtua untuk menyekolahkan anak. Permasalahan ini terutama timbul di daerah-daerah pesisir atau kepulauan. Pada saat penulis melakukan penelitian di Kepulauan Natuna, penulis sempat mewawancarai beberapa orang tua murid, intinya ia mengatakan “Buat apa saya sekolahkan anak. Toh nanti kalau lulus dan dapat ijazah ia harus mencari kerja, baru bisa dapat uang. Kalau saya ajari dia melaut sekarang, nanti sore uangnya sudah langsung dapat.”
Artinya, orangtua memandang proses pendidikan bukan sebagai sarana untuk membangun manusia yang cerdas dan unggul, namun sebagai sarana mencari ijazah semata.
Penyebab ketiga adalah kurangnya minat anak untuk bersekolah. Kondisi ini terutama yang ditemukan di daerah-daerah terpencil. Anak-anak berusia pendidikan dasar di daerah tersebut tidak memiliki motivasi untuk bersekolah karena tidak memahami gunanya sekolah. Hal ini karena tidak ada figur yang dapat dijadikan contoh keberhasilan mengubah nasib yang dikarenakan sekolah.
Uniknya, mayoritas anak-anak ini tidak melakukan kegiatan apa-apa di saat mereka putus sekolah. Artinya hanya menganggur (idle youth). Tentunya kondisi ini sangat disayangkan sekali mengingat usia mereka yang sebenarnya produktif malah menjadi beban bagi keluarga.
Untuk itu ada beberapa solusi yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah yang memiliki karakteristik-karakteristik daerah terpencil seperti diatas.
Hal yang pertama kali dilakukan tentunya memberikan motivasi baik kepada anak maupun orang tua mengenai pentingnya pendidikan. Program ini disebut dengan parental inclusive. Motivasi dapat ditumbuhkan dengan memberikan contoh figur-figur yang pada awalnya tumbuh dan besar di lingkungan yang mirip dengan mereka, namun karena adanya pendidikan yang baik ia dapat mengubah nasibnya.
Kedua dengan menerapkan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk pendidikan-pendidikan dengan kondisi yang luar biasa. Diantaranya seperti yang pernag digagas oleh Prof. Elfindri, dengan memindahkan anak kelas 6 SD dan kelas 3 SLTP ke sekolah berasrama yang dekat dengan ibukota Kabupaten. Dengan demikian, diharapkan angka putus sekolah dapat ditekan.
Pertimbangannya adalah, jika anak sudah dipindahkanke daerah yang lebih baik, akses mereka terhadap pendidikan juga akan semakin baik. Artinya, anak lulusan SD akan mudah mengakses pendidikan ke SLTP dan demikian pula selanjutnya.
Ketiga dengan memberikan pelatihan keterampilan kepada anak-anak yang benar-benar tidak mau sekolah lagi, namun tidak memiliki kegiatan apapun. Keterampilan yang diberikan disesuaikan dengan potensi daerah yang dimiliki. Misalnya, anak-anak di daerah pesisir diberikan keterampilan mengolah pangan dari bahan baku ikan, membuat kerajinan dari kerang, dan lain sebagainya.
Selain itu masih banyak strategi-strategi yang dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah sesuai dengan permasalahan dan karakter daerah masing-masing. Namun demikian, yang perlu diingat adalah pemetaan terhadap permasalahan anak-anak di daerah. Karena setiap kebijakan yang baik pasti selalu berawal dari data yang lengkap dan akurat pula.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H