Ketikan Pinggir 19 Oktober 2009.
Tak bisa dipungkiri, ketenaran makin lama makin diimpikan banyak orang. Ada yang ingin tenar menjadi penyanyi (lewat acara idol2an), ada yang ingin tenar menjadi artis sinetron (lewat syuting sinetron2an), tenar saat mencari jodoh (lewat acara reality show), tenar jadi pesulap (melalui 'the master'), dan lain sebagainya. Jika sudah tenar, rasanya mau ngapain juga enak. Uang serta merta datang, orang banyak pun rasanya makin mudah melakukan hal yang kita mau.
Tak jarang, perilaku orang untuk menjadi tenar pun mulai aneh-aneh. Kasus teranyar adalah yang menggegerkan Amerika beberapa hari lalu, 'Runaway Balon Hoax'. Keluarga Heene, melaporkan anak mereka secara tidak sengaja terbawa balon terbang yang mereka terbangkan. Polisi ditelepon, 911 dihubungi. Alhasil, semua pihak terkait berusaha mengejar balon tersebut. Mobil polisi, helikopter, ambulans, semua berusaha menyelamatkan si anak. Pengejaran ini pun ditayangkan LIVE di televisi nasional hingga menjadi perhatian publik.
Setelah balon tersebut melayang jauh dan mendarat, polisi menemukan bahwa tidak ada siapa-siapa di balon tersebut. Usut punya usut, si anak yang dilaporkan terbawa balon udara ternyata ada di loteng rumahnya, sedang bermain di tempat persembunyian rahasianya. Usai penyelidikan lebih jauh, polisi mengindikasikan adanya usaha penipuan dan kesengajaan yang dilakukan keluarga Heene. Mereka sengaja membuat sensasi untuk mencari perhatian masyarakat, untuk menjadi tenar.
GILA! Cuma demi ketenaran, mereka membuat repot polisi, tenaga paramedis, dan menipu warga amerika. Apa sebegitu hausnya mereka akan ketenaran? Ah, dahsyat sekali kalau begitu pengaruh budaya dewasa ini. Sampai-sampai semua orang ingin menjadi tenar. Tenar pun tak jarang diidentikkan dengan bahagia. Padahal, rasanya terlalu dangkal jika mengaitkan ketenaran dengan kebahagiaan.
Ketenaran itu sesuatu yang sifatnya temporer, mau tidak mau, suka tidak suka. Hampir tidak ada orang yang tenar sepanjang masa, dari lahir hingga mati. Ketenaran itu cuma sejumput kenikmatan yang lekang oleh waktu, terhempas oleh ingatan. Sedangkan kebahagiaan, sesuatu yang sifatnya lebih permanen, dan lebih cenderung ke proses. Ketika seseorang mencari cara untuk menjadi bahagia, saat itu pula ia membuktikan dirinya tidak bahagia. Tapi ketika seseorang benar-benar merasa bahagia, ia akan terus berproses secara spiral (bukan lingkaran yang berputar di tempat yang sama, melainkan spiral yang makin lama makin meninggi).
Tidak mudah memang menyadarkan banyak orang bahwa ketenaran itu tak harus menjadi prioritas. Media berlomba-lomba menyajikan cerita orang terkenal, dengan segala kemudahan dan keuntungannya. Menjadi teroris pun bisa tenar sekarang! Bisa membuat dalil-dalil sesat mereka makin tersebar luas, bisa membuat pengikut mereka bertambah. Nah, jika jadi teroris tenar saja banyak keuntungannya, mengapa tidak menjadi tenar-tenar yang lain yang sedikit lebih halal? hahaha..
Susah kan? Memang.
Jakarta, 19 Oktober 2009
Okki Sutanto.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H