Mohon tunggu...
Okki Sutanto
Okki Sutanto Mohon Tunggu... -

Sarjana Psikologi, 22 tahun, gemar menulis. Tulisan-tulisan saya lainnya bisa dinikmati di blog (http://okki-sutanto.com). Gabung di kompasiana untuk belajar, mencari teman, dan bersosialisasi. =)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bangsa Artifisial

11 Februari 2010   14:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:58 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketikan Pinggir Hari Ini.

Beberapa tahun belakangan, makin marak tayangan televisi yang mengusung konsep Reality Show. Ada yang mengarah ke investigasi, romantisme, hingga konseling perkara rumah tangga. Menarik memang, biasanya malah jika ada satu acara yang sukses (ratingnya), stasiun televisi lainnya ikut membuat acara serupa. Alhasil, makin banyak acara-acara Reality Show menghiasi layar kaca setiap harinya.

Jujur, saya amat jarang menonton televisi, jadi saya rasanya tidak memiliki kapasitas untuk mengomentari bibit-bebet-bobot berbagai tayangan tersebut. Yang menarik perhatian saya adalah isu di balik reality show tersebut. Diskusi di milis, forum, dan di berbagai pelosok mengajukan pertanyaan: "Benarkah apa yang ditayangkan di televisi benar-benar kenyataan?". Kerap kali orang sangsi, apa yang mereka saksikan adalah kenyataan. Mereka menduga bahwa berbagai tayangan tersebut tidaklah benar-benar terjadi, hanya sekedar rekayasa. Pernah suatu kali saya membaca tulisan yang dibuat oleh "orang-dalam" televisi, yang menyatakan bahwa memang apa yang ditayangkan itu tidak sepenuhnya realita. Memang ada kasus-kasusnya, tapi yang disajikan di televisi itu hanya reka ulang. Reka ulang pun kerap kali sudah dibumbui dengan dramatisasi yang berlebihan. Intinya: tayangan-tayangan tersebut sebatas artifisial, buatan.

Beralih ke tayangan televisi lainnya, yakni acara musik. Beberapa stasiun televisi menyajikan acara musik yang disiarkan langsung setiap pagi. Ada pembawa acara, ada band yang diundang, ada penonton yang memeriahkan acara. Ternyata, tayangan seperti ini pun hanyalah artifisial belaka. Band yang menyanyi hanya memutar rekaman yang sudah dibuat sebelumnya. Lebih parah lagi, penonton-penontonnya pun artifisial juga! Di salah satu surat kabar, saya pernah membaca liputan, bahwa orang-orang yang menonton acara televisi tersebut, memeriahi panggung, berteriak-teriak, semuanya bukan sungguhan. Mereka bukan fans dari band / penyanyi yang diundang, tapi mereka adalah penonton-penonton "bayaran", yang dari hari ke hari berpindah-pindah lokasi "syuting". Bahkan kegiatan mereka pun sudah terorganisir dengan baik, ada makelar / manager yang memberikan order. Makelar inilah yang dihubungi oleh penyelenggara acara. Mereka tinggal menerima telepon massa, lantas penonton pun berangkat ke lokasi "syuting".  Salah seorang makelar mengaku bisa menggerakkan 100-200 massa setiap harinya, dan memiliki "katalog" massa yang bisa disesuaikan dengan acaranya, mau yang muda, tua, rapih, rusuh, ada semua.

Nah, semalam di salah satu stasiun televisi, saya menyaksikan lagi bisnis makelar manusia. Kali ini, lingkupnya bukan penonton acara musik lagi. Kali ini adalah pendemo. Ya, pendemo! Yang melakukan aksi unjuk rasa, berteriak-teriak di bundaran H.I, di gedung MPR DPR, di sekitar Monas, dan lain sebagainya. Massa tersebut juga ternyata memiliki makelar yang mengkoordinir. Para "oknum" / "dalang" / "biang" yang memiliki kepentingan politis untuk mengadakan demonstrasi tinggal menghubungi makelar tersebut. Bayaran per pendemo  berkisar antara 10-15ribu. Bayaran ini bisa meningkat, tergantung tingkat aksi yang di-pesan. Jika aksi damai, bayaran murah. Jika aksi agak rusuh, seperti menggoyang-goyangkan pagar, lebih mahal. Mau aksi anarkis, bayaran paling mahal, bisa mencapai 50ribu per pendemo. Salah seorang makelar mengaku bisa menggerakkan ratusan hingga ribuan massa. Dalam sekali aksi, mereka mendapatkan bayaran 30-50juta, belum termasuk biaya akomodasi bagi pendemo. Keuntungan sang makelar per event kurang lebih hanya 10-15% saja.  Sisanya untuk membiayai aksi demo.

Menilik berbagai uraian di atas, menarik bukan tren kehidupan artifisial di Indonesia? Entah sejak kapan, makin banyak hal-hal yang tidak asli, hanya tiruan saja, di negeri ini. Entah sampai kapan, bangsa ini mau menjadi bangsa artifisial. Menonton televisi, isinya reality show "buatan". Mau nonton konser musik, isinya penonton "buatan". Melihat demo di jalanan, ternyata pendemonya pun "buatan. Wah, makin lama makin susah membedakan mana yang asli dan mana yang palsu. Jangan-jangan, presiden saya juga buatan doang? Hahahaha.. Semoga tidak.

Jakarta, 11 Februari 2010 Okki Sutanto (mulai ragu otak-nya buatan atau aseli)

disajikan juga di http://octovary.wordpress.com/2010/02/11/bangsa-artifisial/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun