Kinerja pemimpin yang menghasilkan banyak persoalan di negeri ini semakin merajalela tanpa ada titik henti. Penyelewengan-penyelewengan wewenang demi mengisi kantongnya sendiri atau pun kas kelompok bukan sesuatu yang mustahil yang berakibat rakyat terdistorsi. Terdistorsi dalam hal pendidikan, terdistorsi dalam ekonomi dan kesenjangan sosial mau pun agama.
Penggunaan wewenang sebagai pemimpin semakin tidak jelas arahnya. Bahkan arahnya menjadi berliku ketika didepannya terbentang cek pulahan milyar, seks ataupun kekuasaan. Semuanya tergadaikan, rakyat tidak lagi diperhatikan karena tidak menguntungkan. Rakyat semakin miskin dan tidak mendapatkan hak-hakya tapi kewajiban rakyat  untuk negara digembor-gemborkan, seperti membayar pajak.
Figur pemimpin dari posisi yang paling atas sampai bawah tidak lepas dari perilaku-perilaku negatif. Dari lembaga legislatif, yudikatif dan eksekutif  mencerminkan sikap nepotis serta koruptif yang berkepanjangan karena kenyamananya menggunakan wewenangya sebagai usaha tarik ulur kepentingan.
Keprihatinan juga muncul terhadap figur-figur masyarakat. Lazimnya guru-guru yang melakukan tindakan cabul terhadap muridnya sendiri. Guru yang sejatinya sebagai transformator keilmuan dengan wawasan yang menjunjung nilai-nilai budaya dan keharmonisan tidak terhamanifestasikan dengan semestinya. Murid menjadi korban yang tak terbantahkan, menerima kelakuan yang tidak layak dari seorang guru. Sedemikian banyak realita negatif dunia pendidikan yang kita lihat dan kita amati di lingkungan sekitar adalah potret yang sebagian besar disebabkan guru itu sendiri.
Tidak hanya politisi dan guru saja, kekeringan akan kesadaran untuk hidup dinamis dan sejahtera juga tercermin dalam figur-figur masyarakat. Polisi, selebritis, tokoh agama dan TNI , sering memperlihatkan perilaku yang tidak layak sebagai figur teladan dan panutan. Kehidupan-kehidupan yang penuh dengan kepalsuan dan cara instan, serta moral yang dikesampingkan menunjukan bahwa kekeringan akan kesadaran profetis memang sudah tidak dimiliki oleh figur atau pun pemimpin masyarakat.
Maka dari itu, kesadaran profetis harus dimiliki oleh setiap manusia, terutama yang menjadi figur di masyarakat. Demi terwujudnya sebuah dinamisasi kehidupan yang menjujung kesetaraan dan menuju perubahan yang lebih baik.
Figur Muhammad
Sebagai sosok yang diutus Tuhan untuk menyampaikan sebuah kebenaran di tanah Arab tentu bukan hal yang mudah. Mengingat keadaan historis dan sosial di Arab waktu itu dipenuhi dengan budaya kebodohan (jahilliyah). Bayi perempuan dibunuh, pertumpahan darah dimana-mana, judi, minum-minuman keras adalah keseharian dari sifat-sifat masyarakat Arab waktu itu.
Muhammad yang hadir di tengah-tengah masyarakat dengan keadaan sosial yang demikian sungguh menemukan cobaan yang benar-benar berat. Bagi Muhammad persoalan ini harus diselesaikan tanpa kekerasan dan penuh kecintaan. Sampai pada akhirnya Muhammad berhasil menyatukan masyarakat Arab tanpa dengki apalagi dendam (piagam Madinah).
Sebagai pemimpin, Muhammad mempunyai sifat-sifat yang rasanya jauh dengan pemimpin (Indonesia) hari ini, meskipun dimiliki itu pun hanya sebagian. Terbukti dengan potret keadaan bangsa yang karut-marut, demokrasi yang hanya bersifat prosedural, sehingga konflik yang tumbuh berakhir dengan tindak kekerasan dan diskriminasi.
Petama Shidiiq (benar), setiap perkataan yang diucapkan beliau selalu benar. Benar disini tidak hanya selesai dalam ucapan, tapi dimaterialkan dalam bentuk tindakan. Muhammad tidak pernah berkata tanpa tindakan.
Kedua amanah (dapat dipercaya), untuk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat bukan melalui membodohi rakyat. Terbukti dengan dinamika politik hari ini yang mengakibatkan partai politik mengalami degradasi kepercayaan dari masyarakat. Muhammad dipercayai karena sikapnya cang jujur dan tegas, tidak mencle-mencle seperti elit-elit partai.
Ketiga tabligh (menyampaikan), Muhammad selalu menyampaikan wahyu Tuhan tanpa reduksi makna. Saat ini, pemimpin sebagai penyampai kebenaran yang bersumber dari Tuhan dan rakyat berbading terbalik. Pemimpin bersikap apatis terhadap keadaan masyarakat yang membutuhkan pertolongan. Pemimpin cenderung memenuhi amanat (kepentingan) keolompoknya dari pada masyarakat seluruhnya.
Keempat fathanah (cerdas), cerdas bukan berarti pemimpin pintar. Tapi cerdas adalah refleksi dari sebuah fenomena yang menemukan sebuah solusi bermoral dan penuh toleransi. Fenomena penuntasan kemiskinan yang diukur dengan pertumbuhan ekonomi, bukanlah sosok pemimpin yang cerdas.
Keempat sifat yang dimiliki Muhammad seharusnya menjadi panutan para pemimpin atau pun figur untuk mengakomodir seluruh masyarakat. Dengan kompleksitas permasalahan yang terjadi di Indonesia membutuhkan solusi selain dari masyarakat itu sendiri, yakni melalui kewibawaan pemimpin serta ketegasan melalui tanggung jawabnya.
Pofetis Transformatif Kuntowijoyo
Pada perjalanannya, profetis tidak selayaknya terhenti dalam tataran kesadaran. Kesadaran profetis harus ditransformatifkan di masyarakat nyata. Sehingga ada keterkaitan antara wacana dan praksis. Misalnya dengan membangun birokrasi yang tidak menindas atau menguniversalkan. Penuntasan kemiskinan belum bisa dituntaskan keseluruhan diakibatkan adanya struktur yang timpang. Maka perlu adanya sistem birokrasi yang mengindikasikan adanya pembebasan (liberasi) sehingga terbentuk transformatisasi yang berdaulat dan mensejahterakan.
Profetis juga harus bersifat humanis. Pasalnya, kasus kekerasan (sosial dan agama) tidak lepas dari kesadaran manusia fanatik terhadap manusia lainnya. Kasus kekerasan seperti yang terjadi di LP Cebongan, baku hantam antar warga di Sulawesi antara aparat kepolisian dan masyarakat serta kasus pembudakan buruh di Tangerang menujjukan lemahnya sifat manusia untuk memanusiakan manusia (humanisasi).
Yang terakhir adalah profetis transformatif yang bersifat trasenden. Merebaknya kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah atau kekerasan antara syiah dan sunni di Sampang seperti di atas, menunjukkan adanya sikap transenden yang lemah. Kecenderungan pemeluk setiap aliran selalu membenarkan pihaknya. Transenden juga harus bersifat evaluatif terhadap Tuhan, tindakan sehari-hari direfleksikan melalui tindakan ritual agama, seperti dalam sholat.
Ketiga bentuk kesadaran profetis yang dipaparkan oleh Kuntowijoyo menjadi menarik jika dielaborasi dengan sifat-sifat Muhammad. Menarik disini memiliki arti sebagai upaya kajian komprehensif terkait kekeringan jiwa kepemimpinan para pemimpin. Kecenderungan pemipmpin yang mengandalkan hukum positif yang menghilangkan kesadaran profetis harus diintropeksi untuk menjawab permasalahan bangsa yang tak kunjung berakhir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H