Hegemoni (Antonio Gramsci) adalah konsep penguasaan atau dominasi suatu kelompok terhadap kelompok lain melalui gagasan/ide dan kekerasan (Koersif). Ketidak berdayaan sebuah kelompok yang dikuasai merupakan hasil maksimal yang diperoleh. Hegemoni pada hakikatnya lebih menitikberatkan sebuah kekuasaan melalui persetujuan. Namun, kedua langkah untuk memperoleh hasil dari sebuah hegemonisasi terhadap kelompok lain tidak bisa kita abaikan. Itulah kira-kira hegemoni yang terjadi di Indonesia saat ini, yakni melalui tindakan koersif.
Masyarakat sudah bisa melihat dan menyadari betapa lemahnya hukum konstitusi Indonesia. Main hakim sendiri, tarik-ulur kepentingan, dan korupsi adalah sebagian kecil problematika yang terjadi dibangsa tercinta kita. Di luar contoh tadi, masih banyak kasus yang tersembunyi di sendi-sendi masyarakat, misalnya kasus G30S PKI yang merenggut hak-hak asasi manusia yang belum tertuntaskan.
Kekerasan yang terjadi kahir-akhir ini, seolah sudah tidak bisa terkontrol oleh hukum itu sendiri. Pencarian keadilan yang diyakini akan tercapai melalui kekerasan, menjadi bibit lama yang tumbuh kembali yang bisa mencelakakan kontitusi. Sikap dendam, rendahnya sikap toleransi, dan minimnya kesadaran hidup dalam keberanekaragaman (etnis, ras, agama, daerah ) menujukkan bahwa interkasi masyarakat bersifat monologi. Kasus yang berkedok kekerasan. seperti kasus kekerasan di Sampang yang mengakibatkan terbakarnya 35 rumah warga. Kasus Lapas Cebongan yang mengakibatkan pembunuhan yang dilakukan oleh oknum “keamanan1” yang diharapkan mampu menjaga keamanan dan stabilitas masyarakat. Dan yang terakhir ini adalah kasus penembakan yang dilakukan oleh oknum “keamanan2” terhadap kepala Rumah Sakit Bhayangkara, Makasar.
Menyedihkan, itulah ungkapan yang patut dilontarkan oleh sebagian masyarakat terhadap keadaan bangsa ini. Bagaimana tidak? Segala anomali masyarakat yang seharusnya tidak terjadi, seperti api yang membakar hutan. Susah untuk dipadamkan, apabila berhasil dipadamkan pun, yang tejadi adalah kerusakan hutan. Publik resah disertai lemahnya hukum untuk ditegagkan melarutkan kesedihan yang seakan tidak akan pernah ada habisnya.
Kasus di atas sudah menciderai instrumen pancasila, yakni menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Hak asasi manusia yang menjadi peolopor utama untuk mewujudkan kesejahteraan bangsa, sudah tidak bisa lagi dipedulikan. Malah hak asasi manusia dijadikan jalan licin untuk melakukan kekerasan tanpa memperdulikan hak asasi manusia yang lain. Maka dari itulah, kekerasan haruslah disadari bahwa bukan satu-satunya jalan untuk mencapai keadilan. Kekerasan bukan budaya Indonesia warisan nenek moyang. Kekerasan bukan lagi milik pancasila, bukan lagi dijadikan untuk menguasai orang lain. Tapi kekerasan adalah dinamika sosial yang tidak pernah di harapkan.
Jas Merah
Jas Merah adalah sebuah perkataan tegas yang bersifat simbolik. Perkataan Soekarno. Presiden pertama Bangsa Indonesia, sudah menjelaskan betapa pentingnya untuk mengetahui sejarah bangsa kita. Konteks mengetahui di sini tidak hanya untuk mengetahui apa yang terjadi di masa lalu, tetapi mengetahui bagaimana peristiwa itu terjadi, atau mengapa peristiwa itu bisa terjadi. Dengan berpikir yang kritis lah kita bisa mengetahui semua itu, bersikap jujur dan objektif dalam menilai sebuah peristiwa. Karena tidak bisa kita abaikan, bahwa sejarah mempunyai peran penting untuk membangun sebuah bangsa ke depan.
Sebelum kemerdekaan, kekerasan adalah jalan yang digunakan oleh para pejuang bangsa kita waktu itu untuk mengusir penjajahan. Memang sebuah keharusan untuk melakukan kekerasan karena tidak berhasilnya diplomasi dan seringkali diingkarinya janji-janji yang sudah disepakati. Sehingga memunculkan jalan terkahir yaitu perang. Melaui perang kemudian seluruh masayarakat Indonesia bersatu memperoleh kemenangan(1945). Sebuah hari yang ditunggu selama kurang lebih 3,5 abad oleh bangsa Indonesia. Sebuah nuansa baru yang mampu untuk mewujudkan masyarakat tanpa kemiskinan, pemerasan dan ketakutan. Namun, Presiden Soekarno yang mengantarakan kemenangan mengusir penjajahan tidak bertahan lama memerinta, karena dinilai oleh sebagian masyarakat (tentunya yang berkepentingan) tidak mampu mensejahterakan rakyat karena sikapnya yang otoriter.
Zaman pemerintahan Soekarno dinamakan Orde Lama. Kemudian masuklah sebuah era baru, yakni Orde Baru yang didalangi oleh Soeharto. Segala kebijakan pada zaman ini di pegang oleh Soeharto sebagai pemimpin resmi Indonesia. Angkuhnya pemerintahan di zaman Orde Baru, yang didukung oleh kerabat keluarga, cendikiawan, politisi bahkan tokoh agamapun mengakibatkan terjadinya ketimpangan. Ideologi Pancasila dibengkokkan, kekayaan pribadi menjadi berhala, dan kekerasan (TNI) menjadi tembok pertahanan yang paling kokoh . Kekerasan yang tidak akan pernah terlupakan adalah kekerasan Gerakan 30 September (G30SPKI). PKI divonis sebagai musuh bersama karena dianggap akan mengkudeta pemerintahan yang resmi, dan juga bersifat ateis yang mebahayakan agama karena dianggap mengajarkan anti Tuhan. Pembunuhan massal yang dituding menjadi pengikut PKI secara tidak manusiawi dimusnahkan. Kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru tidak lain adalah mencari “keadilan” untuk melanggengkan status quo. Kekerasan demi kekerasan semakin terjadi di zaman ini, sehingga masyarakat terkoordinir dan menyatukan satu sikap untuk sebuah reformasi.
Maksimalisasi Hukum
Menjadi sangat jelas peristiwa kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini muncul karena bibit ideoogi zaman sebelumnya masih membekas dalam kesadaran masyarakat. Ada sebuah romantisme sejarah, kerinduan menegakkan keadilan melalui kekerasan yang dilakukan oleh beberapa elemen negara. Maka dari itu, Indonesia sebagai negara hukum, harus mampu menciptakan hukum yang seadil-adilnya. Sebuah hukum yang mendahulukan interaksi dialogis, bukan monologis dan hukum yang mendahulukan kemaslahatan. Selain kekerasan yang harus diselesaikan melalui hukum yang adil dan tidak main hakim seenaknya, korupsi dan problematika bangsa lainnya harus benar-benar diberantas melalui hukum yang jujur dan objektif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H