Baik tertulis atau tidak, perempuan adalah makhluk sosial yang mempunyai hak yang sama dengan laki-laki. Dalam artian bahwa hak-hak perempuan harus dijunjung berbarengan dengan laki-laki, sehingga diskriminasi tidak lagi terjadi. Mengingat kedua jenis ini selalu bertentangan dalam mencari hidupnya masing-masing.
Banyak dalam undang-undang sudah menjelaskan mengenai hak-hak yang harus diperoleh oleh perempuan. Tapi tetap saja dalam reliitasnya perempuan tidak mempunyai “daya” untuk memperolehnya, baik ditentukan oleh dalam dirinya atau hambatan dari luar. Masyarakat Indonesia, yang sebagian masih memegang teguh pola hubungan patriarki, menjadi kultur yang bisa menghambat interaksi yang baik antara keduanya. Banyak ditemukannya kasus kekerasan terhadap peremupan merupakan salah satu contoh bahwa perempuan selalu berada ditemapa yang “salah”.
Ruang publik yang mejadi tempat aktivitas secara eksplisit mejelaskan ada batasan terhadap perempuan, baik penampilan dan bertingkah laku. Hal ini menjadi tidak wajar jika masih dirasakan sebagian perempuan di Indonesia. Reformasi yang dimulai dari tahun 1998 menjadi alamat baru utnuk perempuan, namun lagi-lagi penghambat untuk memperolehnya semakin kokoh.
Kebebasan perempuan yang yang sudah dimilikinya haruslah digunakan dengan bijak. Jangan sampai kemudian dengan kebebasan yang dimilikinya perempuan bertindak dengan semaunya. Karena hal ini juga merupakan terjadinya distorsi terhadap perempuan itu sendiri. Bagaimana tidak, negara demokrasi di Indonesia adalah negara yang semuanya mempunyai hak yang sama antara perempuan dan laki-laki.
Memang ada aturan yang harus dipenuhi keduanya sebagai acuan untuk saling menghormati, bukan saling melecehkan. Peristiwa akhir-akhir ini yakni pemerkosaan yang dilakukan 10 remaja terhadap perempuan berumur 14 tahun di Jakarta adalah contoh besar bagaimana perempuan tidak mempunyai tempat yang maksimal di publik.
Sebelum kasus tadi, perempuan yang melompat dari angkutan umum karena adanya indikasi pemerkosaan sebagi kasus penambah betapa takutnya perempuan terhadap status yang dia miliki sebagi perempuan. Dari sini , asumsi dasar perempuan sudah mengalami perlakuan tidak baik, entah itu berupa simbolik atau tindakan lansung.
Maraknya kasus marginalisasi terhadap perempuan, adalah bentuk kekerasan yang bisa saja menjadi budaya sehari-hari, karena lagi-lagi perempuan sebagai organ masyarakat di cap (label) sebagai tempat menumpahkan luapan sosial bahkan pribadi (napsu). Kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan seakan tidak pernah habis. Dari bidang politik, ekonomi, sosial sampai domestik, perempuan menjadi korban dari kekerasan tersebut.
Maka dari itu, penyadaran akan gender sangat diperlukan untuk membantu atau setidaknya menghindari kasus kekerasan terhadap perempuan yang sering terjadi. Selain itu, budaya patriarki yang masih terlalu kuat di masyarakat, harus memperhatikan kebebasan-kebesan terhadap perempuan. Penyadaran akan gender sudah dijelaskan oleh Kartini dengan sebuatan emansipasi, dari itulah emansipasi wanita terhadap biasnya gender harus dikuatkan untuk menolak segala bentuk kekerasan yang selalu dirasakannya agar pola interaksi yang baik bisa tercapai keduanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H