Mohon tunggu...
Oki Titi Saputri
Oki Titi Saputri Mohon Tunggu... -

Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga 2012 Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Media dan Ladang Pencitraan

8 Januari 2014   07:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:02 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kegaduhan Demokrasi tahun 2013-2014 menjelaskan ketidakdewasaan berpolitik  sebagai instrumen kemajuan Indonesia. Seperti halnya yang kita saksikan sehari-sehari di media masa, pencitraan, konvensi, kampanye, money politik, dan pencarian caleg partai politik. Secara mengagetkan, di tengah kegaduhan demokrasi partai politik semakin mengendus-ngenduskan calon-calonnya yang berada “di luar” lingkungan politik, seperti artis.

Akhir-akhir ini secara tegas, Anang Hermansyah mencalonkan diri sebagai caleg di Jember dan Lumajang (Dapil IV) dari Partai Amanat Nasional (PAN). Secara primordial mungkin Anang Hermansyah dekat dengan masyarakat Jember dan Lumajang karena Anang lahir di Jember. Sehingga Anang mengerti akan seluk beluk kota yang akan dipimpinnya tersebut. Namun, secara kualitas (berpolitik), Anang (artis lain) masih diragukan kemampuannya untuk membawa perubahan yang lebih baik dari generasi politik sebelumnya.

Secara biografis, Anang Hermansyah bukanlah sosok yang mempunyai jiwa politis. Dari lahir, Anang sudah bernyawa “musik”. Pada perjalanannya, Anang terbukti menjadi penyayi dan musisi yang sukses di dunia musik Indonesia. Seperti album yang sudah dibuatnya dengan Krisdayanti (cinta), singlenya dengan Syahrini (jangan memilih aku), dengan Asyanti (jodohku).

Di tahun 2009, Anang harus memutuskan hubungannya dengan Krisdayanti, yang berawal dari keterlibatannya menggunakan obat terlarang yang pada akhirnya Krisdayanti menikah dengan konglomerat negara tetangga. Tentu bukan masalah ekstrem ketika artis cerai dari suaminya dan secara cepat menemukan penggatinya. Setelah cerai dengan Krisdayanti, Anang menemukan Syahrini sebagai duet barunya. Meskipun isu yang bergulir antara keduanya sudah menjalin asmara dan juga kandas pada akhirnya.

Tidak berjalan lama, Anang menemukan pengganti baru dalam dunia musiknya yang pada akhirnya menjadi isterinya. Pernikahan antara Anang dan Asyanti menunjukkan keseriuasan kehidupan keluarga mereka yang sampai hari ini masih bertahan.

Pembelajaran (terhadap) Media

Siaran televisi swasta yang menceritakan dunia artis (tayangan gosip) kini diwarnai oleh kasus keguguran Asyanti yang sebenarnya tidak diharapkan oleh Anang dan Asyanti. Tentunya ini menjadi pukulan yang berat terhadap keluarga mana pun karena kehilangan harapan yang sudah didambakan sejak lama.

Wajah sedih Anang yang setiap harinya terekspos di media masa, dengan raut yang menahan tangis, menunjukkan kalau Anang cukup berwibawa dalam memimpin keluarga dan bersabar mengahadapi cobaan. Lalu apa kaitannya dengan pemilu 2014?

Dalam teori Komunikasi , Hypodermic Needle Theory: dikatakan bahwa masyarakat dibuat tidak berdaya, dan media masa semakin perkasa. Sudah jelas, bahwa ada kecenderungan untuk “membutakan” masyarakat dalam melihat sebuah persoalan secara obejktif, sehingga kontruksi media menjadikan masyarakat harus berempati atau pun mengiyakan sebuah peristiwa. Seperti juga dengan ungkapan D.L Slaw (1972), media memberi tekanan pada suatu peristiwa, maka ia akan dianggap penting oleh masyarakat.

Sudah dijelaskan sebelumnya, cobaan seperti pendarahan adalah cobaan yang bersifat kekeluargaan tanpa adanya sesuatu yang berbau politis. Namun, yang perlu dipahami masayarakat adalah bahwa tidak ada keuntungannya pula masyarakat bersimpati secara politis dengan sikap Anang yang berwibawa dan sabar.

Kekuasaan media yang perkasa memang menjadi wadah tertentu untuk menunjukkan kepopulerannya. Sebuah keinginan untuk mengenalkan tentang sosok dan peristiwa yang wajib disimak oleh masyarakat. Sehingga masyarakat menjadi takluk dan pada akhirnya berpihak. Hal inilah yang tidak di inginkan dalam menentukan pemimpin di tahun 2014 mendatang.

Pilihan yang tidak memiliki landasan kesadaran akan berpolitik bisa menjerumuskan kepemimpinan kedalam bidik-bidik beku. Bidik-bidik yang di dalamnya penuh intervensi karena pada dasarnya pemimpin sudah terpilih bukan karena kapabilitas dan kredibilas yang dimilkinya. Melainkan kuasa media yang mempertontonkan kepopulerannya dengan menyisipkan kehidupannya yang penuh kesabaran di tengah cobaan yang ia hadapi.

Di atas juga sudah dijelaskan, kepribadian Anang adalah sosok musisi, bukan politisi. Namun, masyarakat juga punya analisis yang lebih relevan terkait pilihan pemimpin yang benar-benar diharapkan. Begitu pula, dengan calon-calon artis lainnya, seperti Irwansyah misalnya. Irwansyah juga memliki point penting dalam kasus penggunaan obat terlarang bersama Raffi Ahmad.

Sebagai artis yang “keluar” dari kasus tersebut, tentu bukan satu alasan bagaimana Irwansyah layak dipilih. Tapi melalui kesadaran masyarakat yang benar-benar relevan dengan keadaan politiklah Irwansyah menjadi layak dievaluasi. Sehingga tidak ada kebuntuan politik yang pada akhirnya mengancam kehidupan masyarakat, karena terpilih hanya sebatas kepopulerannya.

Dalam tulisan ini, tidak ada niat menyudutkan artis karena di dalam demokrasi siapaun bisa angkat badan untuk menyumbangkan gagasannya terkait kemajuan negara. Tapi yang perlu digaris bawahi, bukan bingkai kepopuleran yang terus menjinakkan masyarakat untuk memlih. Justru masyarakat dituntut untuk sadar dalam pemilihan pemilu besok agar demokrasi tetap terjaga sebagaiaman mestinya.

Saat Media (televisi) Berpihak

Media yang kita harapkan tentunya adalah media yang independent tanpa keberpihakan terhadap kelompok atau subjek tertentu yang bisa menarasikan sebuah peristiwa secara objektif dan realistis. Tapi bagaimana jika media sudah berpihak dan bersifat konstruktif? Jawabannya sederhana; ada keinginan untuk memperlihatkan tontonan yang baik dan menyembunyikan yang buruk.

Seperti ungakapan Fleur, bahwa media mempunyai peran sentral seperti pembawa perubahan di tengah masyarakat. Namun pada faktanya media hanya sebatas melakukakan keperpihakan yang tidak selayaknya lagi media dikatakan independent.

Perubahan yang terjadi hanyalah perubahan cara berpikir penikmat yang sudah diinginkan oleh media terkait. sehingga tidak ada kekuatan untuk masyarakat  melakukan daya kritis terhadap suatu peristiwa. Media yang dibelakangnya adalah orang-orang yang mempunyai kepentingan politis, hanyalah sebatas pencitraan pemilik media semata. Kasus lumpur Lapindo misalnya yang salah satu media menggembor-gemborkan “kekurangan”pertanggung jawabannya, sementara salah satunya mempertontonkan “hampir selesai” permasalahan dan tanggung jawabnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun