Segala bentuk mediasi sampai demonstransi sudah dilakukan berbagai Organisasi Masyarakat (Ormas) untuk menolak RUU Ormas dengan berbagai pertimbangan dan gagasan yang matang demi menjaga kestabilan kehidupan bermasyarakat. Dianggapnya RUU Ormas akan menghalangi segala bentuk tindakan dan anspirasi yang ingin disampaikan oleh Ormas sebagai salah satu wadah penampung suara dan hak untuk berkumpul atau pun berserikat.
RUU Ormas memang sangat kontroversial. Satu sisi RUU Oramas juga membayang-bayangi Rezim Orde baru akan terulang kembali, di satu sisi diadakannya RUU Ormas adalah untuk mengembalikan “Pancasila” sebagai asas negara Indonesia
Traumatisme
Rezim otoriter Orde Baru merupakan cerminan betapa suramnya penegakan hukum Indonesia di bawah pimpinan Presiden Kedua, Soeharto. Segala bentuk tindakan jika dianggap melanggar hukum “Soeharto” harus diamankan bahkan dibunuh. Di rezim inilah Indonesia mengalami paceklik hukum yang benar-benar adil.
Keotoriteran Soeharto melalui tangan kanannya, yakni TNI untuk mengeksekusi segala bentuk ketidak aturan menjadi salah satu ketakutan bersama karena dapat merampas kebebasan manusia sebagai makhluk hidup yang mempunyai hak untuk menikmati kebebasan itu sendiri. Tidak ada hukum kontitusi yang menjamin kenyamanan kehidupan bermasyarakat waktu itu. Hukum tunggal harus menjadi satu acuan tiap individu untuk bertindak.
Sejarah rezim Orde Baru mungkin tidak akan pernah hilang dari ingatan masyarakat waktu itu dan juga sampai sekarang. Apalagi bagi Organisasi Masyarakat yang sama sekali tidak mempunyai ruang untuk bebrgerak dan meneriakkan pendapat. Oligarki politik, korupsi, kekerasan, nepotisme adalah ciri-ciri rezim ini terlaksana.
Selama 32 tahun rezim ini berkuasa, sampai pada puncaknya masyarakat bersatu untuk menumbangkan Soeharto dan mengaharapkan nuansa baru. Reformasi pun digalangkan meskipun sampai sekarang tidak semuanya menikmati. Bekas perampasan hak asasi manusia pada Rezim Orde Baru masih melekat di tubuh masyarakat. Pemberantasan PKI dan banyaknya aktivis yang hilang dan juga meninggal belum juga terselesaikan dengan tuntas sampai sekarang.
Bukan tidak masuk akal jika banyak Ormas menolak secara tegas RUU Ormas. Berawal dari rasa takut dan sikap trauma terhadap rezim Orde Baru yang masih menghantui masyarakat. Perjuangan mendapatkan reformasi adalah harga mati yang harus tetap diutamakan. Nah, sekarang RUU Ormas menjadi salah satu catatan kecil yang sama halnya dengan mengembalikan rezim Orde Baru di tengah masyarakat hari ini. Dan perjuangan itu harus terenggut dan dikembalikan lagi pada aturan-aturan yang otoriter. Segala kebebasan untuk menyampaikan anspirasi akan menjadi terhambat. Masyarakat tidak leluasa untuk mengontrol sistem pemerintahan. Dan yang lebih buruk masyarakat akan menjadi tumbal kebobrokan kepemerintahan yang otoriter.
Penolakan terhadap RUU Ormas tidak berangkat dari ruang hampa. Berangkat dari sejarah kelam selama 32 tahun memang menjadi hantu yang menakutkan. Bayangkan jikalau semua pikiran hanya boleh mengarah ke satu ideologi (ideologi penguasa) maka universalisasi budaya, akses hukum, politik, ekonomi, agama akan menjadi keabsolutan penguasa. Penegakan hukum melalui cara kekerasan dan pembunuhan menjadi yang utama untuk memperoleh keadilan sepihak.
Ormas tidak akan punya taring lagi untuk menyampaikan anspirasi bahkan kritik terhadap pemerintahan. Segala ide dan tindakan Organisasi Masyarakat akan diatur sedemikian rupa agar “diam”. Tidak berlebihan jika RUU Ormas dibilang sebagai romantisme para penguasa birokrasi untuk tetap eksis dan langgeng dalam menjalankan kekuasaannya.
Masyarakat akan tetap menjaga segala kebebasan yang ia miliki sekarang sampai kapan pun. Perlu digarisbawahi, sebenarnya asas Pancasila adalah kewajiban utama yang harus dilaksanakan karena siapapun yang lahir di Indonesia, individu atau kelompok, mempunyai tanggung jawab untuk mentaatinya. Maka sangat menjadi aneh jika RUU Ormas masih sibuk mengurusi asas dalam berorganisasi. Selain traumatisme, RUU Ormas tidak lain adalah produk politisi untuk mengamnkan posisinya.
Di tengah zaman reformasi, masyarakat ingin menjadi individu atau kelompok yang diakui oleh hukum. Peraturan jangan lagi mengekang, tapi harus tegas dan adil tidak memihak.
Kenyamanan Otoritas
Carut marut sistem pemerintahan Indonesia yang saat ini terjadi menjadi potret betapa tidak bijakknya para birokrat untuk menjalankan wewenag yang telah diamanatkan. Realitas seperti ini tidak lain disebabkan oleh mereka sendiri. Ketidakseriusan dan keegoisan untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya kekuasaan sehingga rakyat menjadi tersingkir sebagai penguasa tertinggi di era reformasi.
Semakin marakanya sikap-sikap birokrat yang tidak adil terhadap rakyat, menjadikan rakyat semakin sadar untuk melawan dan menginginkan perubahan. Tapi, dengan segala kenyamanan yang dimiliki oleh birokrat segala hal pun juga dilakukan untuk tetap pada jabatannya.
Munculnya RUU Ormas sebenarnya adalah produk para birokrat untuk tetap bertahan. Ormas sebagai jembatan untuk menyampaikan pendapat dianggap berbahaya. Maka dari itu pembatasan ruang terhadap Ormas wajib ditetapkan.
Istana yang dimiliki dengan bertaburan kekuasaan menjadi sangat layak untuk tetap dalam genggamnnya. Tidak hanya kekuasaan yang besifat materi, namun segala bentuk aturan atau norma juga bisa di sahkan atau tidak asalkan sesuai dengan keadilan untuk dirinya. Sehingga dengan bisa membuat aturan, semakin leluasa untuk berdiri di tengah kenyamanan otoritas yang dimilikinya.
Mengatasnamakan pancasila sebagai asas negara maka semuanya harus pancasilais. Dengan alasan yang seperti itu segala bentuk Ormas yang dianggap melenceng dari Pancasila sebagai asasnya harus diluruskan. Sungguh mulia jika cita-cita ini menjadi hal yang paling utama, namun seperti yang dikatakan Hobbes, bahwa hasrat utama manusia adalah kekuasaan. Dalam artian, RUU Ormas hanyalah proyek politis untuk melanggengkan kekuasaannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H