Mohon tunggu...
Oki Solikhin
Oki Solikhin Mohon Tunggu... Guru - Hidup itu harus bermanfaat bagi orang lain.

Pemerhati dunia pendidikan dan IT. S2 Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Unnes.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Hidden Curriculum Versus Penilaian Sikap

18 November 2014   17:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:31 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Hari Sabtu, 15 Nopember 2014 sekolah kami mengadakan In House Training (IHT) dalam rangka implementasi kurikulum 2013. Banyak hal yang kami bahas, salah satunya tentang Penilaian Sikap. Diantara peserta IHT, ada salah satu peserta menyodorkan contoh penilaian sikap yang dibuat oleh salah satu Pengawas Bina kepada saya sebagai narasumber. Ketika saya tanyakan: ”Apakah format dan content komponen penilaian sikap harus begitu, patent seperti itu?”. Peserta menjawab: ”Ya, harus seperti itu, kalau tidak seperti itu, maka akan disalahkan oleh Pengawas Bina!”. Saya hanya bisa tersenyum.

Gambaran di atas membuktikan ternyata pada level Pengawas Bina masih rancu dalam memahami Penilaian Sikap kurikulum 2013. Bahkan berani mematenkan dan menyalahkan Guru jika content penilaian sikapnya berbeda dengan yang dimaui Pengawas Bina. Untuk itulah perlunya saya mengunggah artikel ini sebagai bahan komparasi dan menambah wawasan kita bersama.

Hidden Curriculum

Sebelum ke akar permasalahan, terlebih dahulu kita pahami tentang hidden curriculum. hidden curriculum atau lebih dikenal kurikulum tersembunyi /terselubung secara umum dapat dideskripsikan sebagai ”hasil (sampingan) dari pendidikan dalam latar sekolah atau luar sekolah, khususnya hasil yang dipelajari tetapi tidak secara tersurat dicantumkan sebagai tujuan”. Peserta didik memperoleh hidden curriculum baik langsung pada proses pembelajaran maupun di luar proses pembelajaran yang terjadi di berbagai lingkungan. Artinya, Segala bentuk pendidikan, termasuk aktivitas rekreasional dan sosial tradisional, yang dapat mengajarkan bahan-bahan pelajaran meskipun sebetulnya tidak sengaja karena bukan berhubungan dengan sekolah tetapi dapat membentuk pengalaman belajar dapat disebut sebagai hidden curriculum. Menurut Elizabeth Vallance, fungsi dari kurikulum tersembunyi mencakup "penanaman nilai, sosialisasi politis, pelatihan dalam kepatuhan, pengekalan struktur kelas tradisional, fungsi yang mempunyai karakteristik secara umum seperti kontrol sosial". Jadi hidden curriculum adalah penanaman nilai-nilai hidup yang dianggap baik oleh masyarakat yang tidak diajarkan langsung dalam proses pembelajaran.

Bagi Guru PPKn, istilah hidden curriculum bukan hal baru karena sejak dulu pembelajaran PPKn selalu menyertakan hidden curriculum ini dalam proses pembelajarannya. Misal, ketika mengajarkan topik ”Proklamasi Kemerdekaan” selalu disertakan hidden curriculum agar peserta didik dapat menghargai jasa para pahlawan, menghormati perbedaan, semangat cinta tanah air, rela berkorban, kerja sama , persatuan dan sebagainya.

Jika dalam kurikulum sebelumnya penilaian sikap tidak dimunculkan secara nyata atau masih tersembunyi seperti paparan di atas, maka dalam Kurikulum 2013 ini penilaian sikap dimunculkan secara nyata. Penilaiannya bisa dilakukan oleh guru, peserta didik, dan antar peserta didik.

Penilaian Sikap

Sejatinya penilaian sikap dalam kurikulum 2013 mengarah pada dua ranah seperti tertuang dalam Kompetensi Inti (KI), yaitu sikap piritual dan sikap sosial. Kedua ranah ini harus dimanifestasikan dalam penilaian terhadap peserta didik, dan dituangkan dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang dibuat oleh guru.

Perlu kita dipahami, komponen penilaian sikap harus disesuaikan 3 (tiga) latar:

1.Lingkungan sekitar (masyarakat)

Sekolah yang lingkungan sekitarnya berdekatan dengan ”prostitusi”, maka penekanan (accentuation) penilaian sikapnya akan berbeda dengan sekolah yang di pinggir sawah. Penilaian sikap pada sekolah yang dekat dengan ”protitusi” lebih menitikberatkan pada sikap spiritual dalam mengantisipasi degradasi moral. Sedangkan sekolah di pinggir sawah cukup ditanamkan sikap spiritual menghargai ciptaan Tuhan.

2.Lingkungan sekolah

Sekolah dengan background keagamaan yang kuat (misal SDIT) akan berbeda penekanan (accentuation) penilaian sikapnya, dibanding sekolah-sekolah umum. Pada sekolah berbasis agama, sikap spiritual bisa saja sudah menjadi ”pembiasaan”, sehingga justru sikap sosial yang perlu ditekankan, misal: disiplin dan tanggung jawab. Beda lagi dengan sekolah yang berbasis kedisiplinan tinggi (semi militer), maka kedisiplinan sudah menjadi pembiasaan, justru sikap spiritualnya yang perlu ditekankan.

3.Karakteristik Mata pelajaran

Tiap-tiap mata pelajaran memiliki karakteristik yang berbeda-beda, maka penekakanpenilaian sikapnya juga berbeda. Jika mata pelajaran PPKn lebih menekankan sikap nasionalisme kebangsaan, maka akan berbeda dengan mata pelajaran IPA yang menekankan sikap ilmiah. Belum lagi harus disesuaikan dengan topik/subtopik yang kita ajarkan termasuk di dalamnya ada "tujuan pembelajaran". Artinya, pemilihan komponen penilaian sikap harus sesuai dengan topik pembelajaran waktu itu, dan tiap topik harus berbeda penekanan penilaian aspek sikapnya. Justru penekanan pada karakteristik mata pelajaran ini yang akan bersentuhan langsung dengan peserta didik sebagai tembok awal pembentukan karakter setelah penilaian sikap bukan lagi menjadi hidden curriculum.

Kesimpulan yang dapat kita tarik adalah: (1) Pelaksanaan penilaian sikap harus disesuikan dengan tingkat kebutuhan lingkungan sekitar, sekolah, dan mata pelajaran (termasuk topik/subtopik), maka tidak bisa digeneralisasi begitu saja. Tidak bisa digeneralisasikan kalau tiap sekolah komponen penilaian sikapnya harus sama, misal harus aspek: sikap spritual, tanggung-jawab, Gotong royong, Sikap santun, kejujuran, kedisiplinan, toleransi, dan percaya diri. Cara bijaknya adalah pihak sekolah hanya menentukan penilaian sikap spiritual dan sosial yang menjadi penekanan di sekolah itu apa, selebihnya biar guru mata pelajaran yang menambahinya sesuai karakteristik mata pelajaran yang diampunya.

(2) Aspek yang dinilai pada penilaian sikap dapat diubah sesuai kebutuhan (jangan tergantung pada Buku Guru, Pengawas Bina, atau lainnya), bisa ditambah atau dikurangi tergantung penekanannya (accentuation) pada aspek apa terutama harus disesuaikan topik/subtopik yang kita sampaikan. Guru mata pelajaranlah yang lebih memahami ini.

(3) Jika karena sebuah keterpaksaan sekolah membuat sendiri aspek yang dinilai dalam penilaian sikap, maka jangan salahkan guru yang membuat sendiri aspek penilaian sikap sesuai karakteristik mata pelajarannya.

Semoga memberi pencerahan dan bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun