Era Konvergensi media mendorong berkembangnya industri pers di dunia tidak terkecuali Indonesia, kita lihat perusahan-perusahaan media besar di Indonesia pada era sebelumnya dominan menggunakan media cetak dan media elektonik sebagai saluran pemberitaan dan wadah kegiatan bisnis perusahannya.
Era digital seperti sekarang ini membuka peluang baru bagi dunia media massa, saluran-saluran pemberitaan disebar luaskan secara digital melalui situs berita online yang dibuat sebagai pengganti media cetak, dan atau penyerta media cetak yang bisajadi oplahnya sudah lebih dibatasi karena perilaku pembaca sudah bergeser lebih cenderung membaca bertia melalui gawai / Hp yang lebih praktis dan bisa dibawa kemana saja.
Informasi yang disampaikan melalui portal berita resmi / situs resmi media massa dapat dinikmati secara serentak kepada semua orang yang terhubung dengan internet pada saat penayangan / pengunggahan satu konten berita, bahkan sebagai booster atau informasi awal bagi khalayak umum, situs-situs berita resmi menggunakan berbagai macam aplikasi sosial media sebagai pemberitahuan awal terhadap satu konten berita, biasanya pada sosial media (contoh antara lain, twitter, facebook, Instagram, Tiktok, Telegram dll) tim redaksi akan menuliskan head line dan cuplikan konten berita ter-update lalu kemudian pembaca akan diarahkan ke situs website resmi untuk mendapatkan berita secara rinci dan  lengkap.
Penggunaan sosial media sebagai saluran pemberitaan rupanya diikuti oleh banyak pihak yang sebenarnya tidak dalam kapasitasnya membuat laporan berita, bahkan banyak perorangan / pribadi yang kemudian membuat konten bermuatan "berita" dengan meniru/ mengikuti gaya khas penyampaian berita oleh para wartawan, kita sering menyebutnya dengan nitizen jurnalis.
Di Indonesia, kegiatan pemberitaan yang dilakukan oleh para wartawan sebagai pekerja jurnalistik telah diatur dalam pasal 1 angka 4 UU no. 40 Tahun 1999 tentang pers (UU Pers), dimana disebutkan bahwa wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Implementasi kegiatan jurnalisme yang dilakukan oleh para wartawan berdasar kaidah dan pedoman yang salah satunya adalah setiap berita harus melalui tahapan verifikasi. Profesi wartawan mendapat perlindungan hukum yang diatur pada pasal 8 UU Pers.
Hal ini menjadi kontra terhadap apa yang dilakukan oleh para nitizen jurnalis, yang sudah barang tentu para nitizen jurnalis bukanlah bagian dari apa yang dimaksudkan pada pasal 8 UU Pers. Produk-produk  berita yang dibuat oleh nitizen jurnalis seringkali tidak mengikuti kaidah jurnalistik dan bahkan seringkali melahirkan informasi yang tidak valid (hoaks) yang mampu menyesatkan pembaca, dan merugikan beberapa pihak.
Masih banyak diantara kita, warga Indonesia yang belum paham dan  menggunakan dalih kebebasan berekspresi, kebebasan bersuara dalam iklim demokrasi. Alasan tersebut menjadi tidak tepat ketika konteks yang kita kaji adalah sebuah "nilai berita" yang layak dan sesuai dengan kaidah jurnalistik.
Banyak sekali sudah contohnya, persoalan-peroalan hukum yang terjadi di sekitar kita yang bermula dari ulah nitizen jurnalis yang "sembrono" membuat dan menyebarkan berita melalui sosial media.
Lalu apakah prilaku yang dapat memicu kekacauan tersebut disama ratakan dan langsung dibumi hanguskan oleh negara?
Rupanya negara kita tidak ingin "memancing di air keruh" negara telah melakukan terobosan penegakan hukum dengan memberlakukan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) "Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."
Tindak pidana sebagaimana dimaksudkan pada UU ITE merupakan delik aduan, artinya hanya bisa diproses ketika ada pengaduan dari orang yang merasa dicemarkan nama baiknya. (atas satu konten pemberitaan, baik berupa tulisan, gambar, dll yang disebarluaskan secara digital).