"Melem Om, Dinda ada? Ini saya bawain martabak buat Om."
Percakapan di atas sering terjadi di sebuah ruang tamu di kala malam minggu. Ya, martabak memang sering hadir dalam acara ngapel ke rumah pacar. Sebuah bentuk upeti untuk meluluhkan hati calon mertua. Ehm, ayo ngaku, apakah kamu juga pernah memakai jurus itu?
Belum pernah ada penelitian yang membuktikan apakah martabak mampu meningkatkan keberhasilan meluluhkan hati calon mertua. Artinya, belum bisa dibuktikan, apakah jika mengganti martabak dengan jajanan lain, tingkat keberhasilan ngapel itu bisa turun atau justru naik. Namun, meski belum ada bukti ilmiah, tapi budaya ini sudah nyaris mengakar di tengah masyarakat. Buktinya 8 dari 10 pria mengatakan, bahwa mereka pernah membawa martabak saat ngapel ke rumah pacar. Entah itu martabak manis, asin atau yang model kekinian dengan toping yang beraneka rupa.
Nah pertanyaannya, sejak kapan dan siapa sih yang mengajarkan martabak sebagai sogokan ke calon mertua?
Sejarah mencatat, pada akhir abad ke 19, martabak hadir di Indonesia pertama kali di Pulau Bangka. Keturunan tionghoa Bangka Belitung (Hakka atau Kkek) membuat kue ini dan menyebutnya Hok Lo Pan, atau kue orang Hok Lo. Dulunya, toping martabak hanyalah gula atau wijen sangrai. Jajanan ini, kemudian kita kenal dengan nama martabak manis, terang bulan hingga kue bandung.
Kemudian pada tahun 1930, Ahmad bin Abdul Karim yang pindah ke Semarang dari Tegal, kemudian mengawali ide martabak dengan isian telur dan sayuran. Yang ternyata cocok di lidah masyarakat pulau Jawa kala itu. Yang kemudian dikenal dengan sebutan martabak asin atau martabak telor. Fakta ini disebutkan dalam buku 'Bangkitnya Bisnis Kuliner Tradisional' terbitan Elex Media Komputindo karangan Alamsyah.
Dari sejarah itu, diketahui martabak telah hadir lama di masyarakat. Dan jajanan satu ini digemari dari berbagai kalangan. Tua, muda, kaya, miskin, pasti kenal dengan penganan ini. Sebab harganya juga bervariasi. Ada yang murah khas lapak pinggiran, hingga standar trunkfood beken maupun cafe. Jajanan ini memang paling akrab di lidah dan bisa disesuaikan dengan kantong.
Tak heran, martabak adalah upeti paling universal yang bisa diajukan ke calon mertua. Kemungkinan bahwa martabak tidak digemari relatif kecil. Selain itu, martabak juga mampu menunjukkan kelasmu. Misalnya kamu beli martabak di rombong biasa dengan martabak yang lebih terkenal dan mahal, tentu jadi berbeda bobot sogokannya. Atau jika kamu membeli martabak kekinian bisnis anak Presiden, pun pasti lebih beda lagi.
Nah, itulah mengapa, martabak adalah upeti paling universal dan variatif ke calon mertua. Meskipun sifatnya tidak wajib, namun sogokan ini tetap lebih baik daripada dengan tangan hampa. Jadi gimana, sogokanmu berhasil membuat calon mertua luluh atau tetep galak?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H